Masuk Daftar
My Getplus

Jenderal Gebrak Meja

Tak terima dituduh memiliki ambisi politik jadi presiden, Jenderal M. Jusuf gebrak meja di hadapan Presiden Soeharto.

Oleh: Hendri F. Isnaeni | 06 Sep 2023
Mayjen TNI Soeharto dan Brigjen TNI M. Jusuf seusai rapat pimpinan ABRI di Bogor. (Perpusnas RI).

PASANGAN capres-cawapres Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar hadir di acara Mata Najwa. Anies blak-blakan menceritakan di balik pertemuan yang menggagalkan Agus Harimurti Yudhoyono, ketua umum Partai Demokrat, sebagai calon presiden.

“Nama itu tidak ditolak tetapi tidak dideklarasikan sekarang. Dicoba dicari penjembatan sampai akhirnya tidak ketemu,” kata Anies.

Puncaknya pada hari Selasa sore. Pertemuan berakhir dengan Demokrat dipersilakan bila mau melakukan opsi-opsi lain. Sudah selesai tidak ada kesepakatan. “Di situ Tim 8 terjadi perbedaan pandangan yang sangat keras bahkan sampai gebrak meja,” kata Anies.

Advertising
Advertising

Politik memang keras hingga gebrak meja. Karena intrik politik pula seorang jenderal pernah menggebrak meja di hadapan presiden.

Baca juga: M. Jusuf Kerjai Solichin GP Saat Tertidur

Ketika diangkat menjadi Menhankam/Panglima ABRI pada 1978, Jenderal TNI M. Jusuf mendapat perintah dari Presiden Soeharto agar “memperkuat dan membangkitkan kemanunggalan ABRI dan rakyat.” Kata “kemanunggalan” asing bagi Jusuf yang bukan orang Jawa. Manunggal artinya menjadi satu dalam sikap dan tingkah laku; berpadu sehingga tidak terpisahkan. Jadi, Soeharto menginginkan agar Jusuf mempadukan ABRI dan rakyat.

Untuk menjalankan perintah tersebut, Jusuf kerap berkeliling menemui para prajurit untuk membangkitkan moril dan mempererat kemanunggalan TNI dan rakyat. Karena begitu intensif, Jusuf pun menjadi terkenal di kalangan prajurit dan rakyat. Popularitas Jusuf mengundang intrik politik di kalangan pembantu dekat Presiden Soeharto. Jusuf diisukan memiliki agenda politik tersendiri yang mengancam Soeharto.

Baca juga: Panglima ABRI M. Jusuf Sidak Polisi Koboi

Tjipta Lesmana dalam Dari Soekarno Sampai SBY: Intrik dan Lobi Politik Para Penguasa menyebut semua orang tahu bahwa Soeharto paling tidak suka jika ada pembantunya yang populer apalagi lebih populer dari dirinya. “Dalam kultur Jawa, raja memang tidak boleh disaingi atau tersaingi oleh siapa pun. Dalam kepemimpinan Jawa, penguasa hanya satu orang. Yang lain-lainnya hanya pembantu yang harus bekerja dengan penuh loyalitas,” tulis Tjipta Lesmana.

Menurut Atmadji Sumarkidjo dalam biografi Jenderal M. Jusuf Panglima Para Prajurit, banyak laporan masuk ke presiden bahwa Menhankam/Pangab sedang berusaha mencari dukungan masyarakat untuk tujuan atau ambisi politik tertentu. “Sebagaimana banyak intrik politik di Indonesia, sumber informasi dan bisik-bisik itu tidak pernah diketahui dengan jelas, tetapi celakanya, justru masuk langsung ke presiden sendiri,” tulis Atmadji.

Akhirnya sampai pada suatu malam, Soeharto mengumpulkan sejumlah pejabat tinggi di kediamannya di Jalan Cendana No. 8, Menteng, Jakarta Pusat. Yang hadir antara lain Mensesneg Letjen TNI (Purn.) Soedharmono, Sekkab Moerdiono, Asintel Hankam Letjen TNI L.B. Moerdani, Mendagri Jenderal TNI (Purn.) Amirmachmud, dan Menhankam/Pangab Jenderal TNI M. Jusuf.

Baca juga: Amirmachmud Larang PKI Ikut Pemilu

Amirmachmud yang berbicara pertama menyampaikan adanya suara-suara yang mengatakan semakin populernya Jusuf selaku Menhankam/Pangab diduga ada ambisi tertentu, perlu ditanyakan kepada yang bersangkutan.

Mendengar perkataan itu, Jenderal Jusuf naik pitam dan menggebrak meja. Dengan suara keras, Jusuf berkata, “Bohong! Itu tidak benar semua! Saya ini diminta untuk jadi Menhankam/Pangab karena perintah Bapak Presiden. Saya ini orang Bugis. Jadi, saya sendiri tidak tahu arti kata kemanunggalan yang bahasa Jawa itu. Tapi saya laksanakan perintah itu sebaik-baiknya tanpa tujuan apa-apa!”

Semua hadirin terkejut lalu terdiam. “Belum pernah ada orang yang berani menggebrak meja di hadapan Presiden Soeharto dalam kondisi apa pun,” tulis Atmadji.

Soeharto kemudian mencairkan suasana. “Sudah, sudah! Karena suasana tidak memungkinkan lagi, rapat kita akhiri sampai sekian saja. Nanti pada waktu yang tepat kita akan panggil lagi,” kata Soeharto.

Kiri-kanan: Mayjen TNI Basoeki Rachmat, Brigjen TNI M. Jusuf, dan Brigjen TNI Amirmachmud bertemu Presiden Sukarno di Istana Bogor pada 11 Maret 1966 kemudian memberikan Supersemar kepada Mayjen TNI Soeharto. (Repro 50 Tahun Indonesia Merdeka 1965-1995). 

Pertemuan di Cendana malam itu hanya berlangsung beberapa menit. Semua ke luar ruangan lalu meninggalkan kediaman presiden, kecuali Jusuf yang minta waktu untuk berbicara dengan Soeharto. Mungkin ia ingin menjelaskan dan meminta maaf. Namun, Soeharto mengelak. “Pak Jusuf, kita bicarakan hal-hal itu lain kali saja,” kata Soeharto sambil mengatar Jusuf ke luar ruangan.

Tjipta Lesmana menyebut mungkin itulah kali pertama Soeharto mendapatkan salah satu pembantunya gusar bukan kepalang di depannya sampai menggebrak meja. Memang, Jusuf bukan sedang melampiaskan amarahnya kepada Soeharto, tetapi kepada Amirmachmud yang sangat dekat dengan Soeharto.

Baca juga: Kedekatan Jenderal M. Jusuf dan Para Wartawan

Sejarah mencatat, Jusuf dan Amirmachmud serta Basoeki Rachmat adalah tiga jenderal Angkatan Darat yang menemui Presiden Sukarno di Istana Bogor pada 11 Maret 1966. Mereka kembali dengan membawa Supersemar (Surat Perintah 11 Maret) yang digunakan oleh Soeharto untuk memegang kekuasaan.

Sementara itu, Atmadji menyebut peristiwa gebrak meja itu menjadi titik rendah hubungan Jusuf dan Soeharto. Setelah itu, Jusuf tidak pernah mau menghadiri rapat kabinet di Gedung Bina Graha. Ia diwakili panglima Kopkamtib yang juga wakil Pangab. Ia juga tidak pernah menghadap sesering sebelumnya, di mana setiap kali hendak melakukan kunjungan ke daerah selalu melapor terlebih dahulu kepada Soeharto.

Baca juga: Gebrakan Anti Korupsi Ala Jenderal M. Jusuf

Pada Januari 1983, Soeharto memberi tahu Jusuf bahwa jabatan Menhankam/Pangab berakhir sekitar April 1983. Ia sudah menyiapkan penggantinya, L.B. Moerdani. Soeharto masih menginginkan Jusuf sebagai Menhankam dan Benny Moerdani sebagai Pangab, namun ia menolak.

Menurut Tjipta Lesmana, tampaknya Jusuf sudah patah arang dengan intrik-intrik politik tingkat tinggi sekaligus kecewa kepada Soeharto yang dinilainya mudah digosok oleh pembantu-pembantu dekatnya. Namun, setelah situasi tenang, Jusuf menerima tawaran Soeharto untuk menjadi ketua Badan Pemeriksa Keuangan.

“Soeharto sendiri tampaknya tidak mau meminggirkan Jusuf secara total sebab ia menyadari betapa besar pengaruhnya di kalangan ABRI kala itu,” tulis Tjipta Lesmana. Dengan kata lain, Jusuf berhasil melaksanakan perintah Soeharto untuk memperkuat kemanunggalan ABRI dan rakyat.*

TAG

m jusuf soeharto

ARTIKEL TERKAIT

Daripada Soeharto, Ramadhan Pilih Anak Eks Pemilih PKI Pilih Golkar Ledakan di Selatan Jakarta Supersemar Supersamar Sudharmono Bukan PKI Dianggap PKI, Marsudi Dibui Dulu Rice Estate Kini Food Estate Dari Petrus ke Kedung Ombo Soeharto Nomor Tiga, Mendagri Murka pada Lembaga Survei Soeharto Nomor Tiga, Lembaga Survei Ditutup