Malam baru saja menghabiskan seperempat waktunya. Kota Kalabakan ada dalam kegelapan, ketika beberapa bayangan melintas di sebuah bukit dalam gerakan sigap dan cepat. Sementara itu, Mohamed Salleh tengah dalam perjalanan menuju sebuah bukit lainnya. Anggota Sabah Rangers (bagian dari Royal Malaysian Rangers) itu nyaris saja berhadapan dengan kelompok bersenjata itu jika tidak cepat menghindar ke semak belukar.
Sekira limat menit kemudian, terdengar suara ledakan dasyat dari arah bukit yang ditempati kawan-kawannya. Berbarengan dengan situasi tersebut, terdengar langkah para penyerbu menuju dirinya. Salleh cepat menghindar. Dia membeku di balik semak belukar sambil tetap siap menarik picu senjata. Jantungnya berdegup kencang.
Baca juga:
Galang Dana Dwikora ala Sukarno
“Kalau saja mereka melihat saya, mau tidak mau saya harus terlibat pertempuran dengan mereka. Untunglah mereka tidak melihat saya dan cepat pergi,” ungkap Salleh alias Mat Congo dalam bukunya Peristiwa Berdarah Kalabakan 29 Desember 1963.
Menurut buku Korps Komando AL: Dari Tahun ke Tahun yang ditulis oleh Bagian Sejarah KKO AL, penyebuan ke Kalabakan dilakukan oleh Peleton X Batalyon I Korps Komando Angkatan Laut (KKO AL) pimpinan Sersan Rebani. Rupanya sejak 16 Desember, mereka sudah melakukan pengintaian dan menemukan kenyatan bahwa Pos Sabah Rangers merupakan pangkalan yang kuat dan dilengkapi oleh sebuah helikopter.
Rebani memutuskan untuk menyerang Kalabakan pada malam hari jam 21.00 (versi militer Indonesia itu dilakukan pada 30 Desember 1963). Guna lebih rinci lagi mempelajari pertahanan musuh, diperlukan waktu dua hari untuk mengokohkan posisi dengan cara bersembunyi di hutan yang berdekatan dengan pos militer tersebut.
“Pasukan lantas dibagi menjadi dua yang secara bersamaan melakukan gerakan mendekati sasaran dari masing-masing arah yang berlainan,” ungkap buku tersebut.
Para anggota Sabah Rangers yang berada di pos sama sekali tidak menyangka akan terjadi penyerbuan. Bisa jadi mereka berpikir tidak mungkin pasukan Indonesia masuk sampai ke Kalabakan yang terletak jauh di pelosok Sabah. Ketika tembakan pertama diarahkan kelompok pertama dari Peleton X ke atas bukit, para prajurit Sabah Rangers membalasnya dengan gencar. Dalam situasi baku tembak yang seru, diam-diam kelompok dua Peleton X merayap ke atas bukit dan langsung menghujani pos dengan lemparan granat serta peluru hingga menimbulkan pertumpahan darah.
“Pasukan ini bahkan sempat naik ke rumah yang dijadikan posko lawan dan menyaksikan dengan mata kepala sendiri hasil serangan yang menewaskan delapan personel musuh termasuk komandan kompinya yang berpangkat mayor,” tulis Supoduto Citrawijaya dalam Kompi X di Rimba Siglayan: Konfrontasi dengan Malaysia.
Baca juga:
Soal korban tewas itu diakui secara jujur oleh pihak Malaysia. Dalam monumen peringatan pertempuran di Kalabakan termaktub delapan nama itu, termasuk sang komandan kompi yang bernama Mayor Zainol Abidin Yaakob. Selain korban tewas, 38 prajurit Sabah Rangers mengalami luka-luka dalam penyerbuan tersebut. Mereka pun harus kehilangan satu pucuk bren BAG standar NATO, tujuh pucuk senapan otomatis ringan (SOR) FN, sepuluh pucuk sten-gun dan satu pucuk pistol. Namun soal kehilangan senjata itu ditampik oleh pihak Malaysia.
“Penyerang sendiri kehilangan seorang anggotanya yakni Prako Gabriel yang gugur dalam serangan tersebut,” ungkap Citrawijaya yang juga eks anggota KKO AL dan pernah bertempur di palagan Kalimantan semasa Operasi Dwikora.
Begitu mengetahui Posko Sabah Rangers di Kalabakan hancur lebur, pihak militer Inggris kemudian mengirimkan pasukan pemburu untuk mengejar para penyerang.
“(Usai penyerbuan itu) para sukarelawan Indonesia mundur namun terus diburu oleh pasukan dari unit Gurkha, tentara Australia dan tentara Malaysia lainnya hingga hanya menyisakan 12 orang yang berhasil melarikan diri,” ungkap Salleh kepada Durie Rainer Fong dari freemalaysiatoday.com.
Kendati mengakui bahwa sejumlah prajuritnya tidak pernah kembali setelah penyerangan itu, pihak militer Indonesia tidak pernah mengakui mereka tewas karena ditembak oleh pasukan pemburu Malaysia, Inggris dan Australia.
“Ada beberapa yang berhasil kembali ke pangkalan dengan selamat sedang yang lain meninggal karena kelaparan, beberapa lagi ada kemungkinan masih tinggal di daerah lawan,” ungkap buku resmi terbitan KKO AL tersebut.
Sersan Rebani sendiri secara resmi diakui telah tewas karena kekurangan makanan dan terjebak dalam keganasan medan Kalimantan yang begitu berat. Atas jasa dan keberaniannya yang luar biasa, dia lantas dinaikan pangkatnya secara anumerta menjadi sersan mayor sekaligus diganjar Bintang Sakti oleh pemerintah Republik Indonesia.
Baca juga:
Mengapa Baret Marinir Berwarna Ungu?