Sewaktu terjadi pemberontakan PKI di Madiun, Herman Sarens Sudiro baru berusia 18 tahun. Dia tergabung dalam Tentara Pelajar Siliwangi sebagai komandan Kompi Banjar. Bersama pasukan kompinya, Herman Sarens turut hijrah dari Jawa Barat ke Yogyakarta pada 1948. Pada saat itulah, pasukan Divisi Siliwangi dikerahkan untuk menumpas orang-orang PKI pimpinan Musso.
“Orang-orang PKI menggedor bank. Nah, ketika kita menyerbu orang-orang PKI itu, mereka pada mati, banyak yang membawa besek, bawa berlian, emas, ya kita rampas,” kenang Herman setelah purnawirawan dalam Majalah Tiara, No. 63, 11-24 Oktober 1992.
Menurut Herman, harta rampasan itu dipergunakan pasukannya sebagai bekal perjalanan pulang dari Jawa Tengah ke Jawa Barat. Kalau di tengah perjalanan mereka menemui penjual makanan, berlian, cincin, dan perhiasan yang dirampas dari orang-orang PKI itu dibarter dengan makanan. Tidak ayal, pasukan Herman tidak pernah kekurangan makanan selama perjalanan pulang. Selain menukar dengan makanan, harta rampasan PKI Musso itu, seperti jati, gula, dan tapioka dijual ke perbatasan demarkasi Belanda. Hasil penjualan itu digunakan untuk membeli senjata.
“Di Lamongan dan Jombang pernah sampai 50 dan 100 gerbong rampasan perang. Pasukan saya tidak pernah kekurangan duit karenanya. Sampai di Jawa Barat habis. Itu tahun 1948,” tuturnya.
Baca juga: Herman Sarens Sudiro, Nasib Mujur si Perwira Tempur
Di Sumatra Utara, ceritanya hampir mirip. Namun, yang dirampas adalah logistik perbekalan tentara Belanda. Aksi penjarahan ini dialami anak buah Mayor Djamin Gintings, komandan Resimen IV Divisi X, di Kampung Penampen, Tanah Karo.
Kampung Penampen terletak di dataran tinggi. Tanahnya berbukit-bukit. Pasukan Djamin Gintings tiba di Kampung Penampen pada 16 Mei 1949. Di tempat ini pula berkumpul seluruh kesatuan dari batalion XV Resimen IV serta unit-unit pasukan dari Markas Resimen IV yang dipimpin Djamin Gintings. Direncanakan dari Kampung Penampen, mereka akan melancarkan serangan kepada basis Belanda di Kutabuluh Sibayak.
Dalam persiapan penyerangan, tampak kesibukan yang begitu luar biasa di antara pasukan. Namun, dalam sekelabatan waktu, aktivitas mereka diheningkan oleh suara deru pesawat terbang menuju Kampung Penampen. Semua mata memandang ke langit. Anehnya, makin lama mata memandang, badan pesawat kian hilang dari tatapan, tapi suaranya masih terdengar. Ternyata ada satu pesawat angkut jenis Dakota dikawal oleh dua pesawat tempur jenis Mustang. Iring-iringan pesawat Belanda itu terbang menuju Kutabuluh Sibayak untuk menjatuhkan perbekalan.
“Kapal terbang itu bukan di atas kita, tetapi terbang di bawah kita. Demikianlah tingginya kampung Penampen yang terletak di atas sebuah bukit yang tinggi,” catat Djamin Gintings dalam buku hariannya yang diterbitkan berjudul Bukit Kadir.
Baca juga: Djamin Gintings, Pahlawan Nasional dari Tanah Karo
Setelah iringan pesawat Belanda itu menghilang, seorang letnan setempat melapor kepada Djamin. Dia mengatakan pesawat Dakota Belanda sebelumnya tidak pernah dikawal oleh Mustang. Bilamana Dakota melintas di Kampung Penampen untuk mendrop logistik, maka pasukan TNI segera menerjangnya dengan tembakan bertubi-tubi dari bawah. Terkadang, pesawat Dakota Belanda salah mendrop logistiknya, meleset dari titik pendaratan. Itulah sebabnya, pesawat Dakota Belanda selalu dikawal oleh Pesawat Mustang. Demikian laporan si letnan.
“Pernahkah pasukan kita mendapat barang-barang yang kesasar jatuhnya?” tanya Djamin Ginting.
Si letnan enggan berbohong kepada komandannya itu. “Pernah satu kali,” jawabnya.
“Let, saya tanyakan demikian, sebabnya saya belum pernah mendapat laporan yang begitu,” kata Djamin Gintings.
“Kami cuma mendapat barang-barang makanan saja, lalu pada waktu itu kami berpesta menghabiskannya bersama kawan-kawan,” jawab si letnan apa adanya.
“Bagus,” kata Djamin. Saya cuma mau laporannya.
Baca juga: Djamin Gintings Nyaris Dibunuh
Setelah bermalam di Kampung Penampen, pasukan Djamin Gintings kemudian berangkat untuk menyerang Belanda di Kutabuluh Sibayak. Operasi dilancarkan pada 17 Mei 1949. Sayang sekali serangan ini berakhir dengan kegagalan.
Tentara Belanda menerapkan pertahanan yang ketat. Mereka tidak mau beranjak dari lubang-lubang perlindungan. Sementara itu, pasukan TNI gagal menembus benteng pertahanan Belanda. Dalam pertempuran ini, pasukan TNI kalah karena kekurangan peluru dan mortir, serta tidak mempunyai pengukur jarak.
Demikianlah pengalaman Djamin Gintings dan Herman Sarens Sudiro yang pernah berurusan dengan jarahan dalam perang kemerdekaan. Bertahun-tahun kemudian, mereka berkolega sebagai atasan dan bawahan di jajaran Staf Umum Angkatan Darat (SUAD) II Mabes TNI. Pada 1962, Djamin Gintings diangkat sebagai Asisten II/Operasi Menpangad. Sementara itu, Herman Sarens menjadi staf Djamin Gintings sebagai perwira menengah menengah yang diperbantukan di bidang operasi.
Baca juga: Pertempuran Berdarah di Bukit Mardinding