KASIM masih berusia 16 tahun ketika 10 pemuda Maluku berseragam loreng mengepungnya di bilangan Matraman, Jakarta pada awal 1946. Tak ada jalan lagi untuk berlari, kecuali dia harus pasrah saja saat hantaman bogem mentah melayang ke tubuhnya. Sekujur tubuh Kasim lebam, pakaian menjadi compang-camping karena salah seorang dari prajurit KNIL itu merobek lencana merah putih di dadanya.
“Dia lalu menyuruh saya menelan lencana yang terbuat dari kain itu,” kenang mantan pejuang kemerdekaan asal Jakarta tersebut.
Baca juga: Kembali ke Jakarta
Sejarah mencatat, para prajurit KNIL yang mengeroyok Kasim adalah bagian dari Batalyon X. Itu terkonfirmasi dari keterangan Robert B. Cribb dalam Gangster and Revolutionaries, The Jakarta Peoples Militia and The Indonesian Revolution 1945-1949.
“Mereka dengan gembira memukul atau membunuh setiap rakyat Indonesia yang menunjukan atribut Republik di tempat-tempat umum,”ungkap Cribb.
Kebengisan Batalyon X menuai kebencian yang tak terhingga dari orang-orang Indonesia. Mereka kemudian menyebut para bekas kaum internir Jepang tersebut sebagai “andjing” NICA (Pemerintah Sipil Hindia Belanda) kreasi H.J. van Mook. Alih-alih merasa terasa terhina, ejekan itu justru dijadikan kebanggaan.
“Dalam setiap pertempuran, para ekstrimis (kaum Republiken) meneriaki kami sebagai “andjing NICA”, yang kemudian secara resmi kami jadikan nama batalyon,” tulis S.A. Lapre dalam Het Andjing NICA Batalijon (KNIL) in Nederlands-Indie, 1945-1950.
Batalyon X Andjing NICA kemudian dimasukan ke Brigade V Divisi B. Kendati masih menggunakan nama “Andjing NICA”, namun nomor batalyon berubah, dari X menjadi V. Selain orang-orang Maluku, Andjing NICA pun kemudian diperkuat oleh orang Manado, Sangir, Jawa, Sunda, Timor, Indo dan Belanda. Sebagai komandan batalyon ditunjuk seorang perwira KNIL eks penghuni kamp internir. Namanya Letnan Kolonel Adrianus van Zanten.
Pertengahan 1946, Andjing NICA ditugaskan ke front Bandung. Begitu tiba di ibu kota Jawa Barat itu, pada Juli 1946 mereka langsung terlibat pertempuran hebat dengan pasukan lasykar Hizbullah. Dalam bentrok yang terjadi di wilayah Buahbatu tersebut, Andjing NICA sukses membantai puluhan pejuang.
Baca juga: Heboh Pemuda Peuyeumbol
“Persenjataan musuh jauh lebih lengkap dan modern. Sedangkan pihak Hizbullah hanya bermodalkan beberapa senapan, pistol, golok serta bambu runcing,” ujar Kolonel (Purn) R.J. Rusady W dalam otobiografinya, Tiada Berita dari Bandung Timur 1945-1947.
Selanjutnya aksi mereka semakin menggila. Dalam pertempuran di Cipamokolan, mereka berhasil membunuh 21 prajurit dari Batalyon Kohar (TRI). Jumlah korban yang sama juga dialami oleh Pasukan Istimewa dan pasukan KRIS (Kebaktian Rakjat Indonesia Sulawesi) saat berhadapan dengan Andjing NICA di Pangaritan dan Gedebage.
Karena strategi utama militer Belanda adalah merintis jalan ke Jawa Tengah dan Yogyakarta, maka Andjing NICA yang dianggap lebih mengenal wilayah itu kemudian dikirimkan ke front Bandung Timur. Di sana mereka harus berhadapan dengan lawan yang sepadan: Batalyon Pelopor.
Dikisahkan oleh S.A. Lapre, saat berbasis di wilayah Ujungberung (front Bandung Timur), Andjing NICA pada suatu malam diteror dengan tembakan mortier kaliber 8 dan granat. Pabrik beras yang menjadi pos mereka seolah diguncang gempa sekaligus diserang peluru musuh yang bagaikan ribuan tawon mengamuk.
“Di dalam bangunan yang besar itu tidak pernah saya merasa begitu ketakutan seperti pada malam itu ketika granat-granat mortir berjatuhan di sekeliling kami,” kenang Letnan Satu H.R. Toorop, Komandan Kompi Staf Batalyon Infanteri V Andjing NICA.
Horor pertempuran juga dikisahkan oleh anggota Andjing NICA yang lain bernama Kopral Butselaar. Ketika mereka sedang bergerak ke arah pegunungan di utara Ujungberung, mereka bertemu dengan pasukan musuh kurang lebih berjarak 100 meter. Alih-alih bersiaga, seorang sersan bernama Keereweer malah berlaku sombong dengan berteriak-teriak menantang gerilyawan-gerilyawan TRI untuk menghadapinya.
“Teriakan Sersan Keereweer malah disambut dengan semburan peluru-peluru senapan mesin Hotskis, yang membuat kami ketakutan hingga merasa ingin berak di celana,” kenang Butselaar.
Karena tembakan senapan mesin musuh tak mau berhenti, lewat radio mereka lantas meminta bantuan tembakan mortir dari pasukan Belanda yang sedang berada di Gunung Bogkor. Entah karena salah menyebut titik koordinat atau pelayan mortir kurang ahli, alih-alih membungkam senapan mesin musuh, peluru-peluru mortir justru jatuh di wilayah pertahanan para prajurit Andjing NICA.
“Bayangkan dari depan kami dihantam senapan mesin Hotskis sedang dari belakang kami dijatuhi peluru mortir dari kawan kami sendiri,” ujar Butselaar.
Panik melanda peleton Andjing NICA itu. Komandan peleton berteriak-teriak histeris seperti orang gila, memerintahkan agar pelayan radio menyuruh sang penembak mortir di Gunung Bongkor menghentikan tembakannya. Suatu permintaan yang sia-sia, karena sang pelayan radio sudah tewas tertembus peluru, menyusul kemudian Sersan Keereweer. Pertempuran pun berakhir dengan nyaris habisnya seluruh anggota peleton tersebut.
Bandung Timur memang mimpi buruk untuk Andjing NICA. Hampir setiap malam, mereka harus bertahan dalam ketakutan di pos-pos. Begitu gentarnya, hingga peluru cahaya hampir tiap 5 menit ditembakan ke udara. Kepanikan dan putus asa melanda. Moril pasukan kerap turun ke titk nadir. Puncaknya terjadi, saat markas pusat mendatangkan penyanyi Tom van Der Stap dan kelompok musik De Witte Raven ke markas mereka di Arjasari, seorang anggota Andjing NICA malah lebih memilih menghabisi nyawanya sendiri dengan satu tembakan ke kepala daripada menikmati hiburan Tom dan kawan-kawan.
Baca juga: Perburuan Desersi Princen