PELAJARAN sejarah menyebutkan, Sriwijaya merupakan kerajaan maritim besar yang pernah ada di Nusantara. Wilayahnya membentang luas hingga Malaysia dan Thailand.
Namun, hal itu tak berlaku bagi Bambang Budi Utomo, peneliti dari Pusat Penilitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas). Menurutnya, wilayah Sriwijaya hanya sepanjang Selat Malaka hingga pantai timur Sumatera. Hal itu dibuktikan dari temuan Prasasti Karangjati, Kedukan Bukit, dan Telaga Batu. Ketiganya menunjukkan wilayah inti kekuasaan Sriwijaya.
Prasasti Kedukan Bukit (605 Saka) di kaki Bukit Siguntang, misalnya, berisi tentang perjalanan Raja Dapunta Hyang dari Koying untuk menemukan tempat baru sampai membangun kota di Kaki Bukit Siguntang, Palembang. Kota baru ini ditata menurut konsep ajaran Budha. Titik utara dirancang sebagai Gunung Meru, tempat tinggal dewa, dan selatan Jambu Dwipa yang letaknya di sebelah utara Sungai Musi. Para penduduk tinggal di wilayah Jambu Dwipa di tepian Sungai Musi.
“Ada sisa bangunan keagamaan berupa fondasi bata ditemukan di dekat Rumah Sakit Caritas, Bukit Siguntang,” kata Bambang dalam diskusi buku Kebangkitan dan Kejayaan Sriwijaya Abad III-VII di Museum Nasional, Jumat (17/11/2017).
Setelah berhasil membangun kota, Sriwijaya membangun taman pada 606 Saka. Berdasarkan Prasasti Talang Tuo, Sriwijaya membangun Taman Sriksreta di Bukit Siguntang. Temuan menarik yang diteliti Puslit Arkenas, serbuk sari yang ditemukan di sekitar situs sesuai dengan nama tanaman yang disebutkan di Prasasti Talang Tuo. Menurut Bambang, daerah di sekitar Bukit Siguntang memang memungkinkan untuk dibuat taman karena terdapat lembah dan sungai yang mengalir ke Kedukan Bukit.
Prasasti Telaga Batu semakin menguatkan argumen bahwa Palembang merupakan ibukota Sriwijaya. Prasasti ini berisi sumpah seluruh penduduk kota untuk setia kepada raja karena sebelumnya ada kekhawatiran mereka akan mencelakai raja. “Mulai dari putra mahkota hingga tukang cuci disumpah,” kata Bambang. Pasalnya, merekalah orang-orang paling dekat dengan raja.
Sebagai kerajaan maritim dan non-ekspansif, Sriwijaya hanya menguasai daerah-daerah strategis yang menguntungkan secara ekonomis. Dengan menguasai Selat Malaka, Sriwijaya bisa menguasai perdagangan dan pajak di wilayah tersebut.
Terdapat aturan perdagangan di wilayah Selat Malaka bahwa barangsiapa yang ingin berdagang melalui Selat Malaka atau di wilayah teritori Sriwijaya, harus menyewa kapal dari Sriwijaya dan membayar pajak. Aturan ini mengakibatkan seringnya terjadi pemindahan muatan dari kapal asing ke kapal Sriwijaya. Kapal Sriwijaya cirinya bisa dilihat dari teknik papan ikat. Jenis ini banyak ditemukan di perairan Cirebon. Beberapa bangkai kapal yang ditemukan, membawa barang dari India, Cina, Sriwijaya dan lain-lain dalam satu kapal.
Hal itu tak membuktikan bahwa kekuasaan Sriwijaya membentang sampai perairan Cirebon. Sebaliknya, itu membuktikan bahwa pada masa Sriwijaya ada singgungan dengan berbagai bangsa untuk tujuan dagang. “Sriwijaya itu fokus ke perdagangan. Mungkin kalau Sriwijaya asal dapat uang dari pajak perairan dan dagang, cukup. Dengan menguasai Selat Malaka ia bisa menguasai lain-lain. Jadi tidak harus sampai ke Madagaskar untuk menyebarkan pengaruhnya,” kata Bambang.
Meski ada rasasti yang menyebutkan nama Sriwijaya sampai di Thailand, bukan berarti Thailand adalah wilayah yang pernah dikuasai Sriwijaya. Prasasti Ligor (775 Saka) menyebutkan, Rakai Panangkaran membangun Trisamaya Chaitya (tiga bangunan suci) di Thailand. Pembangunan tiga bangunan suci di Thailand tersebut rupanya bukan wujud kekuasaan Sriwijaya melainkan bantuan pembangunan. Menurut Bambang, alasan Sriwijaya mau membantu pembangunan kuil adalah untuk mengamalkan dharma sesuai ajaran Budha.
Selain memberi bantuan ke Thailand, pada abad ke-12 Sriwijaya membantu pembangunan kuil di Kanton. “Arca dari Sriwijaya ada di Bidor, Malaysia (sejumlah) satu, di Thailand ada 2. Itu bukan berarti wilayah Sriwijaya sampai situ, tapi di situ ditemukan Prasasti Sriwijaya,” kata Bambang. Lebih lanjut dia mengatakan, meski ada penemuan prasasti Sriwijaya, juga harus memperhatikan isi prasasti agar tidak salah menafsirkan daerah kekuasaan.