ALKISAH hiduplah sepasang pengantin yang baru menikah. Keduanya saling mencintai satu sama lain. Yang laki-laki bernama Gajahpara. Yang perempuan namanya Ken Endok.
Suatu hari, Ken Endok pergi ke sawah untuk mengantar makanan bagi suaminya. Sementara itu, di angkasa Dewa Brahma tengah melihat-lihat siapa yang akan dijadikan temannya bersetubuh. Melihat Ken Endok, turunlah sang dewa. Lalu disetubuhilah istri Gajahpara itu.
“Janganlah engkau bersetubuh dengan suamimu lagi. Jika engkau bersetubuh dengan suamimu, suamimu meninggal, karena kecampuran dengan anakku,” kata Dewa Brahma.
Ken Endok pun bercerai dengan suaminya. Bahkan, beberapa hari kemudian, Gajahpara mati tapi tak diketahui penyebabnya.
Begitulah awal mula Ken Angrok lahir menurut Serat Pararaton. Banyak peneliti yang menafsirkan ayah Angrok yang disebut Dewa Brahma adalah perumpamaan untuk seseorang yang punya jabatan tinggi. Tandanya, pamor sang ayah sangatlah kuat.
Baca juga: Ken Angrok bukan rakyat jelata
Sebelumnya, Boechari dalam artikelnya “Ken Angrok: Bastard Son of Tunggul Ametung?" (1975), menyebut Dewa Brahma adalah penguasa yang bisa lepas dari jangakauan hukum. Bahkan punya kekuasaan untuk menyingkirkan suami seorang perempuan yang diinginkannya.
Namun, apakah semua pejabat kerajaan pada masa Jawa Kuno mempunyai kekebalan hukum semacam itu?
Dalam tata pemerintahan kerajaan masa Jawa Kuno terdapat sekumpulan kitab perundang-undangan agama. Tujuannya mengatur tata kehidupan pemerintahan dan masyarakat. Secara umum, kata sejarawan Malang, Suwardono, undang-undang itu diambil dari kitab Manawa dan kitab Kutara.
Untuk kasus ayah Ken Angrok, dalam teks undang-undang agama diatur oleh bab mengenai paradara. Terdapat 17 pasal tentang Paradara, yaitu pasal 198-214. Secara harfiah, paradara berarti istri orang lain atau perbuatan serong. Dalam bab ini menyebutkan berbagai jenis hukuman dan denda yang dikenakan kepada laki-laki yang mengganggu perempuan.
Pasal paradara begitu keras. Pun sebenarnya tak ada kekebalan bagi siapa saja yang melakukan pelanggaran termasuk pendeta sekalipun. “Dalam melakukan kejahatan, tak ada pandang bulu antara golongan tinggi dan golongan rendah,” jelas Suwardono.
Hal itu, kata Slamet Muljana dalam Perundang-undangan Madjapahit, ditegaskan lewat pasal 11 undang-undang agama: “Siapapun, guru, anak-anak, orang yang telah lanjut usianya, brahmana, cendikiawan, dan semua orang yang dipandang pendeta seperti kata orang banyak, jika ia melakukan tatayi (kejahatan), kemudian perbuatannya itu terbukti, maka ia akan dikenakan hukuman mati.”
Sementara Suwardono dalam bukunya Tafsir Baru Kesejarahan Ken Angrok menjabarkan. perbuatan yang masuk ke dalam tatayi, adalah membakar rumah orang, terutama rumah raja yang berkuasa. Lalu meracuni sesama manusia, menenung sesama manusia, mengamuk, memfitnah raja yang berkuasa, dan merusak kehormatan perempuan.
“Siapa yang melakukan salah satu dari enam kejahatan di atas, tidak layak diampuni oleh raja yang berkuasa,” kata dia.
Jika kesalahannya terbukti, dia harus dijatuhi pidana mati tanpa proses apapun. Menjatuhi hukuman bagi yang bersalah ini bahkan bisa dihitung sebagai dharma seorang raja yang tak boleh dihindarkan.
“Ditinjau dari pasal Astadusta dan Paradara tuan pejabat yang menghamili Ken Endok hingga menghasilkan anak dijerat banyak pasal. Dia harus menjalani hukuman mati, atau minimal denda sangat berat,” jelas Suwardono.
Baca juga: Hukuman bagi penjahat pada zaman kuno
Lalu bagaimana dia bisa kebal hukum? Rupanya, pada masa Jawa Kuno ada beberapa pejabat yang memang diberikan hak istimewa semacam itu.
Ada beberapa prasasti yang mengindikasikan kalau ada pejabat yang diberi hak istimewa. Mereka biasanya punya jasa terhadap raja. Beberapa prasasti yang menyebutkan soal anugerah raja, misalnya dari masa Tamwlang-Kahuripan: Prasasti Waharu IV (931 M), Prasasti Sobhamerta (939 M), dan Prasasti Kakurugan (1023 M).
Dari masa Singhasari misalnya Sarwwadharma (1269 M). Sedangkan dari masa Majapahit: Tuhanaru (1323 M), Waringin Pitu (1447 M), Pamitihan (1437 M), dan Trilokyapuri I (1486 M). Prasasti lainnya yang tak berangka tahun: Waharu III, Leran, Biluluk IV, dan Trilokyapuri III.
Prasasti-prasasti itu di dalamnya menyertakan pemberian berbagai jenis kewenangan kepada seseorang atau kelompok yang dianugrahi. Namun, di antara itu hanya sedikit yang menyebutkan soal pejabat yang diberikan pengecualian dalam penegakkan aturan tertentu.
Prasasti Waharu IV (931 M) berisi pemberian hadiah Raja Sindok kepada warga Waharu. Itu terutama kepada yang bernama buyut Manggali. Ia diberikan hak untuk berhubungan badan dengan seorang gadis yang sudah diikat lamaran atau dengan perempuan yang telah bersuami.
Dalam Prasasti Kakurugan (1023 M) dari zaman Raja Airlangga disebut pejabat bernama Dyah Kakingadulengen berhak mendatangi atau memperoleh seorang gadis yang sudah diikat lamaran atau seorang perempuan yang sudah bersuami.
Dua prasasti itu juga menyebutkan alasan mengapa orang-orang tadi mendapatkan hak istimewa. Yang bersangkutan rupanya rela berkorban mempertaruhkan jiwa dan raganya dalam membela sang raja ketika perang.
Namun, selain itu, tak diketahui jelas apa indikator seseorang bisa mendapat kekebalan hukum. Yang jelas hak itu muncul sebagai suatu ketetapan istimewa masa Jawa Kuno.
“Dari hasil perbincangan singkat dengan beberapa sarjana epigrafi, sementara dugaan mengarah kepada pemberian hak paradara itu hanya dilakukan terhadap seseorang yang memiliki syahwat seksual tinggi,” jelas Suwardono.
Baca juga: Hukuman bagi pelaku pelecehan seksual di Majapahit