Masuk Daftar
My Getplus

Artefak Tumbuhan Tertua di Dunia

Artefak berusia sekitar 50.000 tahun ditemukan di Raja Ampat. Merupakan artefak tumbuhan tertua yang dibuat oleh spesies kita di luar Afrika. Membuktikan rute perjalanan nenek moyang manusia menuju Australia.

Oleh: Prihandini Anisa | 15 Agt 2024
Penggalian di Gua Mololo di Pulau Waigeo, Raja Ampat. (Tristan Russell, The Raja Ampat Archaeological Project).

TEKA-TEKI penyebaran manusia di bumi terus menjadi topik yang menarik. Baru-baru ini para arkeolog menemukan artefak resin tertua di Raja Ampat yang bisa menjadi petunjuk penting bagaimana nenek moyang manusia bisa sampai ke benua Australia.

Temuan itu didapatkan oleh tim arkeologi dari Universitas Oxford, Universitas Gadjah Mada, dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dalam penggalian di Gua Mololo di Pulau Waigeo, Raja Ampat. Temuan tersebut dipublikasikan di jurnal Antiquity, 13 Agustus 2024.

Artefak resin tersebut berbentuk persegi, berukuran sekitar 1.35 cm di setiap sisinya, dan memiliki tebal 5 milimeter. Penanggalan radiokarbon menunjukkan usianya berkisar 55.000 hingga 50.000 tahun. Hal ini menjadikannya sebagai artefak dari tumbuhan tertua yang pernah ditemukan di luar benua Afrika. Selain itu, memberikan bukti pergerakan populasi global menuju Pasifik lebih dari 50.000 tahun lalu.

Advertising
Advertising

“Memetakan penyebaran paling awal manusia ke Papua Barat sangat penting karena wilayah tersebut terletak di pintu gerbang menuju Pasifik, dan membantu kita memahami asal-usul nenek moyang wilayah yang lebih luas –termasuk Australia, Aotearoa/Selandia Baru, dan Hawaii– serta bagaimana mereka beradaptasi untuk hidup di pulau-pulau yang baru dan asing ini,” kata penulis utama Dylan Gaffney, arkeolog dari University of Oxford yang memimpin penelitian di Raja Ampat, dikutip laman Sekolah Arkeologi Universitas Oxford.

Baca juga: Penemuan Kota yang Hilang

Dua rute yang mungkin diambil oleh nenek moyang manusia untuk mencapai Australia. (Dylan Gaffney, The Raja Ampat Archaeological Project).

Diekstraksi dari Pohon

Resin adalah getah yang dihasilkan oleh beberapa jenis tumbuhan, terutama pohon runjung atau konifer, seperti pinus, damar, dan cemara. Namun, berdasarkan analisis molekuler, getah yang membentuk artefak tersebut berasal dari pohon atau semak berbunga. Para peneliti cukup yakin bahwa artefak resin yang ditemukan di Pulau Waigeo bukanlah sebuah karya seni, melainkan alat untuk membuat api.

“Resin ini sangat mudah terbakar dan bisa menjadi sumber cahaya yang baik di gua,” kata Gaffney.

Baca juga: Penemuan Mosaik Satir Yunani Kuno

Selain sebagai sumber api, ada kemungkinan penggunaannya sebagai pewangi atau lem untuk membuat tombak dan alat dari batu. Apa pun kegunaan sebenarnya dari resin tersebut, Gaffney meyakini artefak tersebut membuktikan bahwa manusia telah berada di Waigeo sejak sekitar 55.000 tahun lalu.

Para peneliti juga yakin artefak tersebut diproduksi dalam proses bertahap dengan memotong kulit pohon penghasil resin, membiarkannya mengeras, lalu mematahkannya hingga berbentuk.

“Penggunaan pemrosesan tanaman yang rumit menunjukkan bahwa manusia ini canggih, sangat mobile, dan mampu merancang solusi kreatif untuk hidup di pulau-pulau tropis kecil,” ujar Daud Tanudirjo dari Universitas Gadjah Mada, salah satu direktur penelitian tersebut.

Ilustrasi resin modern yang bisa digunakan untuk menyalakan api. Resin yang ditemukan di Pulau Waigeo diduga memiliki fungsi yang sama. (Dylan Gaffney, The Raja Ampat Archaeological Project).

Rute Penyebaran

Selama ini para ilmuwan belum dapat memastikan kapan dan di mana manusia purba melakukan perjalanan dari Afrika ke Asia lalu menuju wilayah Pasifik. Saat itu bumi berada dalam Zaman Es, ketika Papua dan Australia dihubungkan oleh jembatan darat yang membentuk benua yang oleh para arkeolog disebut Paparan Sahul.

Ada dua rute yang kemungkinan ditempuh. Rute selatan melalui Pulau Jawa, Bali, Flores, Timor, hingga sampai ke Australia. Rute utara melewati Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua Barat, hingga dan kemudian menuju Australia.

Mengenai rute mana yang dipilih dan kapan itu terjadi, para peneliti belum mencapai mufakat. Namun, menurut Kasih Norman dari Universitas Griffith, penemuan artefak resin menyumbang poin untuk jalur utara sebagai rute yang dilalui oleh manusia untuk menuju Australia.

Baca juga: Dua Rute Migrasi Leluhur Nusantara

Secara geografis, rute utara menuju Australia dianggap lebih memungkinkan karena jalur penyeberangan yang lebih mudah. “Ada banyak perairan yang harus diseberangi di sepanjang rute utara, tetapi penyeberangannya lebih pendek,” ujar Norman, dilansir dari New Scientist.

Namun, menurut Norman, sejak dulu penggalian yang dilakukan para arkeolog lebih fokus pada rute selatan. Baru beberapa tahun belakangan, para peneliti mulai tertarik melakukan eksplorasi terhadap rute utara.

Salah satu penemuan penting yang mendukung perjalanan via rute utara ini adalah lukisan cadas babi kutil berusia 50.000 tahun yang ditemukan di gua kapur Leang Tedongnge, Sulawesi Selatan, tahun 2021. Penelitian lain pada Mei 2024 mengemukakan bahwa Pulau Timor baru dihuni manusia sejak 44.000 tahun lalu, yang artinya jalur selatan baru digunakan setelah periode tersebut.*

TAG

arkeologi

ARTIKEL TERKAIT

Penemuan Mosaik Satir Yunani Kuno Penemuan Kota yang Hilang Berpulangnya Mundardjito, Bapak Metodologi Arkeologi Indonesia Penemuan Kota Emas yang Hilang Mengungkap Lokasi Pertempuran al-Qadisiyyah Seputar Prasasti Pucangan Liangan Bukan Permukiman Gersang Satu Rumpun Bahasa Susunan Pemerintahan VOC Cerita di Balik Repatriasi Arca Brahma