ADA yang dikelabang, ada pula yang dikuncir, tapi kebanyakan sekadar dibiarkan terurai rambutnya. Lalu ada yang tersenyum lebar, sedikit simpul senyum, tapi mayoritas ekspresi wajah mereka hanya diam entah karena malu ataupun bingung. Itulah ekspresi gadis-gadis cilik murid Sekolah Jerman yang ada di Sarangan, Jawa Timur. Bocah-bocah lugu yang tak tahu apa-apa soal politik itu hanyalah korban dari situasi perang yang melanda hampir setiap penjuru bumi alias Perang Dunia II.
Kesialan melanda orang-orang Jerman di bekas Hindia Belanda setelah tentara Jerman menduduki Negeri Belanda pada 10 Mei 1940. Sebelum Jepang –sekutu Jerman dalam Perang Dunia II– datang pada 1942, banyak orang Jerman ditangkapi. Ada yang dikenai tahanan rumah. Bahkan ada orang Jerman yang hendak ditahan ke India. Penahanan-penahanan itu yang pasti memisahkan suami dari istri dan anak-anaknya.
Setelah 1942, orang Jerman bisa sedikit bernafas lega meski perang belum berakhir. Pasalnya, tentara Jepang telah menduduki Hindia Belanda.
“Ketika kemudian wilayah Indonesia diduduki oleh pasukan Jepang, para interniran tersebut menjadi orang bebas,” tulis Julius Pour dalam Laksamana Sudomo Mengatasi Gelombang Kehidupan.
Meski begitu, perang membuat sekolah seluruh anak-anak yang dibawa para ibu Jerman mereka terganggu. Untuk itulah setelah 1943 penguasa militer Jepang mengusahakan sekolah untuk anak-anak Jerman di dalam satu lingkungan terpadu meskipun banyak orang tua tak rela anaknya masuk ke sekolah.
“Akhirnya akomodasi yang cocok ditemukan di Sarangan, sebuah resort peristirahatan di Lawu, 1500 meter di atas permukaan laut dan sekitar 60 km dari Madiun,” catat Hanns Hachgenei dalam Sarangan.
Baca juga: Bekas Kampung Jerman di Sarangan
Sekolah tersebut menampung anak-anak Jerman yang sebelumnya tinggal di kota-kota lain di Jawa seperti Bogor, Jakarta, dan Yogyakarta. Mereka diberangkatkan menggunakan kereta api dalam rombongan-rombongan bersama ibu mereka meski ada pula yang tanpa ibu, namun sedikit yang bersama ayah mereka. Dari kota-kota tadi, semua rombongan harus singgah di Madiun.
“Dari Madiun kami naik bus lewat Magetan ke Ngerong dan dari sana jalan kaki, naik kuda atau tandu ke Sarangan. Sekarang kami telah menjadi kelompok yang cukup besar. Kami tiba di Sarangan dengan kelelahan dan kesal karena perjalanan panjang. Di Hotel Berzight (Nenek Petsch) kami diterima oleh Tuan Bier,” catat Hanns Hachgenei.
Mereka lalu menuju Arendshest. Orang-orang Jerman itu tinggal di sana dan mulai memasak sendiri.
Sejumlah anak perempuan belajar di sekolah darurat yang diadakan di Hotel Lawoe, yang pada zaman Jepang disebut Hotel Fujiya. Sementara anak-anak laki-laki belajar di Hotel Beau Site. Anak-anak Jerman itu dibagi ke dalam sembilan kelas.
Baca juga: Dari Kalibakung ke Sarangan lalu Mabes TNI AL
“Pada tanggal 20 April 1943 sekolah dibuka. Selain Tuan Mewes, perwakilan Jerman di Jakarta, banyak pejabat Jepang yang menghadiri pembukaan. Nyonya Bode menjadi kepala sekolah yang berdedikasi,” sambung Hanns Hachgenei.
Sekolah yang dibuka tepat pada hari ulang tahun Adolf Hitler itu dijalankan seorang guru laki-kaki dan 15 guru perempuan. Para murid diajari bahasa Jerman, ilmu bumi, ilmu hitung, sejarah, pengetahuan alam, dan olahraga.
Mereka bersekolah enam hari dalam seminggu, jam belajarnya pagi. Sorenya, mereka berolahraga atau ikut kerja bakti di kebun-kebun yang menyediakan makanan untuk mereka. Mulai dari menyiram tanaman, menggali lubang untuk tanaman, memotong tanaman pengganggu, hingga memanen tanaman semua mereka ikuti.
Baca juga: Petualangan Interniran Jerman di Pulau Nias
Sarangan relatif sepi dari Perang Pasifik. Hanns Hachgenei merasa terlindungi. Selain itu, Sarangan relatif subur untuk ditanami bahan makanan dan sayur-sayuran.
“Kami tidak benar-benar harus kelaparan,” aku Hanns Hachgenei.
Sekolah Sarangan eksis dari 1943 hingga Desember 1948. Dalam kurun waktu itu, 173 siswa (92 laki-laki dan 81 perempuan) belajar di sana. Selain 173 siswa sekolah dasar menengah itu, ada 12 siswa taman kanak-kanak.
Anak-anak Jerman itu masih bersekolah di Sarangan setelah Indonesia merdeka. Lokasi sekitar sekolah mereka menjadi tempat pelatihan bagi perwira-perwira tentara Republik Indonesia yang belum mapan.
Baca juga: Latihan Melawan Belanda di Sarangan
Pihak republik cukup beruntung dengan kehadiran orang Jerman di sana. Dalam Akademi Militer Yogya dalam Perjuangan Fisik, 1945-1949, Moehkardi menyebut orang-orang Jerman menjadi guru dalam Sekolah Olahraga (SORA) di Sarangan yang ikut melatih olahraga taruna akademi militer Yogyakarta. Basic Special Operation pun mengikutsertakan pelatih-pelatih yang orang Jerman.
Namun, kesialan kembali menghampiri orang-orang Jerman itu. Setelah tentara Belanda menduduki Yogyakarta pada Desember 1948, daerah Sarangan juga diduduki tentara Belanda. Orang-orang Jerman itu kembali jadi tahanan. Hanns Hachgenei termasuk orang Jerman yang dideportasi ke Jerman.*