KOLEKSI seni Pita Maha merupakan satu di antara sejumlah koleksi artefak bersejarah yang ditampilkan dalam Pameran Repatriasi 2024 yang diselenggarakan di Museum Nasional Indonesia sejak 15 Oktober lalu. Koleksi yang terdiri dari 132 items, mulai dari lukisan hingga patung kayu, itu sebelumnya masuk dalam daftar benda-benda cagar budaya Indonesia yang dikembalikan dari Belanda pada tahun lalu. Setelah kembali ke tanah air, sebanyak 84 items dari 132 karya seni yang termasuk dalam koleksi Pita Maha dapat dilihat langsung oleh publik di pameran repatriasi.
Bagi sebagian orang, Pita Maha dipandang sebagai nama koleksi karya seni yang ditampilkan dalam pameran repatriasi. Namun, Pita Maha sesungguhnya merupakan sebuah nama kelompok seni yang didirikan di Bali pada tahun 1930-an.
Sabila Duhita Drijono, salah satu anggota tim kurator untuk koleksi Pita Maha dalam Pameran Repatriasi 2024, menjelaskan bahwa nama Pita Maha berasal dari bahasa Kawi yang memiliki arti Leluhur Agung. Nama ini diasosiasikan dengan dewa Brahma yang dikenal sebagai simbol penciptaan.
Baca juga:
Koleksi Pita Maha Kembali ke Pangkuan Ibu Pertiwi
Kelompok seni yang berdiri pada 29 Januari 1936 di Ubud itu diinisiasi oleh empat orang yang terdiri dari dua pelukis asing, yakni Walter Spies dari Jerman dan Rudolf Bonnet asal Belanda. Sementara itu, dua penduduk lokal yang ikut ambil bagian dalam proses pembentukan asosiasi seni ini adalah seorang seniman senior Bali bernama I Gusti Nyoman dan Tjokorda Gde Agung Sukawati yang dikenal sebagai salah satu anggota Puri Ubud.
“Jika dilihat, keempat orang ini memiliki latar belakang yang menarik untuk ditelusuri. Selain melukis, Walter Spies juga dikenal sebagai musisi dan penulis. Rudolf Bonnet pun seniman tetapi sebelum ia menetap di Indonesia, ia pernah belajar di sekolah seni sehingga ia sudah terbiasa dengan pakem-pakem seni rupa Barat. Di sisi lain sebelum menjadi seniman yang menggambar dan melukis, I Gusti Nyoman Lempad merupakan seorang undagi yang aktif membuat bangunan-bangunan tradisional di Bali. Ia juga pernah bekerja di Puri Ubud. Sementara Tjokorda Gde Agung Sukawati merupakan bangsawan yang memiliki hubungan baik dengan seniman lokal maupun asing,” jelas Sabila.
Cerita di balik pembentukan Pita Maha juga menarik untuk dikaji. Sebab, sebelum asosiasi seni itu berdiri, berbagai karya yang dibuat para seniman Bali umumnya lebih mengutamakan nilai fungsional atau kegunaannya.
‘’Di Bali, pada tahun-tahun sebelum kemunculan Pita Maha, orang berkesenian itu biasanya ada fungsinya, misalnya untuk membuat bangunan-bangunan tradisional, memproduksi perlengkapan upacara, atau untuk membuat gambar-gambar di lontar. Jadi karya yang dibuat itu pasti ada fungsi adat atau fungsi religinya,” ungkap Sabila.
Alih-alih mengikuti arus, Pita Maha justru hadir untuk menjadi jembatan penghubung bagi kesenian lokal dengan teknik serta gagasan seni rupa Barat. Tak heran bila kemudian asosiasi seni ini kerap dianggap sebagai salah satu pembaharu dalam seni rupa Bali.
Pita Maha menaungi sekitar 150 seniman dari berbagai desa di Pulau Dewata, di antaranya Peliatan, Padangtegal, Pengosekan, Mas, Nyuh Kuning, Tampaksiring, Batuan, Sanur, Klungkung (Kamasan), dan Celuk. Anggota kelompok seni ini terdiri dari berbagai seniman dengan beragam keahlian, mulai dari melukis, membuat patung kayu, perajin perak, dan masih banyak lagi. Banyaknya seniman yang bergabung dengan Pita Maha membuat kelompok seni ini memiliki seorang ketua wilayah di setiap daerah yang dikenal dengan nama klian.
Baca juga:
Walter Spies dan Renaisans Bali
‘’Para klian mengoordinir para perupa di area mereka masing-masing. Menurut sumber, para pengurus dan seniman Pita Maha berkumpul seminggu sekali untuk presentasi karya, apresiasi karya, dan seleksi karya, serta merencanakan kegiatan pameran,” jelas Sabila.
Sebagai salah satu kelompok seni yang cukup populer di Pulau Dewata, bahkan Hindia Belanda, Pita Maha telah melangsungkan berbagai pameran di sejumlah daerah. Tak hanya Bali, asosiasi seni ini juga pernah menyelenggarakan pameran di Batavia, Yogyakarta, hingga Bandung.
Interaksi antara seniman yang tergabung dalam kelompok seni Pita Maha dengan seniman asing seperti Walter Spies dan Rudolf Bonnet membawa pengaruh secara tidak langsung dalam teknik dan gaya para seniman lokal. Pengaruh ini tercermin dalam penggunaan medium baru seperti kertas, papan kayu, dan kanvas. Tak hanya itu, interaksi dunia Barat dan Timur yang terjadi di dalam Pita Maha juga terlihat pada pergeseran dalam palet warna. Para perupa tidak hanya menggunakan pewarna alami tradisional Bali, tetapi juga mengeksplorasi tinta cina, pensil warna, dan cat tempera.
Pengaruh perupa asing juga membawa perubahan dalam sudut pandang berkarya, terutama adopsi perspektif naturalistik yang menggambarkan peristiwa seolah-olah sedang berlangsung, seperti dilihat dari mata pengamat. Perupa Pita Maha mulai mengenal perspektif naturalistik, namun pendekatan ini tidak sepenuhnya diterapkan dan tidak hanya di Batuan saja. Banyak dari mereka tetap memadukannya dengan elemen seni rupa tradisional Bali, seperti simbolisme-simbolisme dan narasi multi-sudut pandang -seperti ada banyak kejadian dengan perspektif beragam di dalam lukisan- yang mencerminkan nilai-nilai budaya dan spiritual setempat.
Meski setiap perupa Pita Maha memiliki gaya tersendiri, ada kesamaan dalam pandangan estetika mereka. Secara tematik, kendati objek dalam karya seni masih tampak religius, makna sakralnya mulai memudar dan diperlakukan dengan lebih bebas, memungkinkan penafsiran ulang terhadap ikonografi lama. Alam, termasuk tumbuhan, hewan, dan cerita fabel juga mulai mendapat perhatian.
“Yang menarik, selain mengadopsi teknik ala Barat dan penggunaan medium baru seperti kertas, papan kayu maupun kanvas, pengaruh interaksi dengan seniman asing juga terlihat pada munculnya kebiasaan mencantumkan nama perupa di karya seninya. Meski tidak semua mencantumkan nama pada karyanya, tapi secara umum sudah ada individuasi dalam pembuatan karya seni. Di masa lalu hal seperti ini mungkin terlihat tidak umum karena berkarya kerap dipandang sebagai sesuatu yang kolektif. Tetapi dalam kelompok Pita Maha, kesadaran ini mulai muncul seiring dengan pemahaman bahwa mereka berkesenian sebagai seorang seniman,” jelas Sabila.
Kelompok seni yang aktif berkarya di tahun 1930-an ini mendorong para seniman yang menjadi anggotanya untuk mengeksplorasi banyak tema dan subyek baru pada karya mereka. Sayangnya, aktivitas Pita Maha terhenti karena Perang Dunia II dan pendudukan Jepang di Indonesia pada 1942. Kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 tak membuat aktivitas kelompok seni ini kembali hidup. Meski begitu, beberapa seniman yang tergabung dalam asosiasi seni ini masih terus berkarya secara individu.
Baca juga:
Sejarah Perkembangan Repatriasi dari Belanda ke Indonesia
Kendati aktivitas kelompok seni Pita Maha terhenti, koleksinya tersebar di Bali hingga lahirnya Negara Indonesia Timur (NIT). Pada 1946, Bonnet dibantu menteri perekonomian NIT mengurasi karya seni Pita Maha yang masih berada di Bali. Karya seni yang telah dikurasi itu kemudian dipamerkan di Bali bulan Desember 1947, di Makassar pada Januari 1948, dan Belanda pada 1948-1950. Di Belanda, koleksi dipamerkan di Indisch Instituut Amsterdam, Museum voor Land-en Volkenkunde Rotterdam, museum seni di Middelburg, Waag di Nijmegen, balaikota di Heerlen, Van Abbemuseum di Eindhoven, pusat seni di Apeldoorn, sekolah seni di Arnhem, pameran luar ruangan di Assen, dan Rijksmuseum voor Volkenkunde di Leiden.
Meski pameran di New York dan London tidak terwujud, koleksi Pita Maha tetap berada di Belanda hingga Negara Indonesia Timur melebur ke dalam Republik Indonesia pada tahun 1950. Ketika Ide Anak Agung Gde Agung diangkat sebagai Duta Besar Indonesia untuk Belgia, ia membawa koleksi ini untuk dipamerkan di Palais des Beaux-Arts, Brussels pada 1952. Setelah dirinya kembali ke Indonesia, Ide Anak Agung Gde Agung meminta agar koleksi tetap disimpan di Belanda –di mana pada tahun 1965 koleksi Pita Maha secara resmi terdaftar sebagai bagian dari Tropenmuseum- namun bukan sebagai hadiah permanen. Dengan demikian, jika suatu saat pemerintah Indonesia meminta pengembalian koleksi Pita Maha, maka Belanda wajib menyerahkannya kembali. Setelah puluhan tahun berada di luar negeri, ratusan karya seni yang dibuat oleh seniman kelompok Pita Maha akhirnya kembali ke tanah air pada 2023.
Beragam karya seni yang termasuk dalam koleksi Pita Maha kini dapat disaksikan dalam Pameran Repatriasi 2024 di Museum Nasional Indonesia, Jakarta. Selain menampilkan berbagai koleksi Pita Maha, pameran ini juga memamerkan benda-benda cagar budaya lain hasil repatrasi dari masa awal kemerdekaan hingga tahun ini, di antaranya koleksi Pangeran Diponegoro, Koleksi eks-Museum Nusantara Delft, Koleksi Ekspedisi Lombok, dan Koleksi Arca Singhasari. Pameran repatriasi berlangsung sejak 15 Oktober hingga 30 Desember 2024 mendatang.