Masuk Daftar
My Getplus

Di Balik Mistik Keris

Kesaktian keris bisa jadi hanya kiasan. Mistik keris terletak pada bahan dan proses pembuatannya.

Oleh: Risa Herdahita Putri | 20 Mar 2020
Pandai besi sedang membuat keris. (Leolintang/Shutterstock).

Panembahan Purbaya mengacungkan keris pusakanya. Api berkobar-kobar di kiri dan kanan jalan. Tujuannya satu, meremukkan benteng Belanda di Batavia. Pasukan Kompeni yang menyadari kedatangan rombongan Kesultanan Mataram itu langsung memberondongkan peluru dari atas benteng.

“Heee Belanda! Sungguh terlalu tingkahmu yang hanya menakut-nakuti!” seru Panembahan Purbaya.

Ia pun menudingkan keris pusakanya ke arah benteng, di mana banyak pasukan Belanda berkumpul. Benteng itu pun seketika tembus berlubang seluas empat meter persegi.

Advertising
Advertising

Demikianlah kesaktian keris dikisahkan dalam buku Serat Tembung Andhupara karya R.Ng. Suradipura. Ada juga kisah Mpu Gandring yang terkenal dengan keris buatannya yang sangat sakti dalam Serat Pararaton. Konon, tak ada orang yang dapat melawan kekuatan keris bikinannya. Jika dipakai menusuk pasti berhasil.

Baca juga: Enam Korban Keris Mpu Gandring

Bahkan sekalipun belum selesai, keris yang Mpu Gandring ciptakan untuk Ken Angrok, sudah menunjukkan kekuatannya. Ketika Ken Angrok memukulkan keris itu ke lumpang batu tempat pengumpulan bekas-bekas gosokan, lumpang itu langsung pecah jadi dua. Lalu ia pukulkan lagi keris itu pada tempaan Mpu Gandring, pecah juga jadi dua.

Keris buatan Mpu Gandring yang dipesan khusus ini pada gilirannya memakan banyak korban, termasuk tokoh-tokoh pemimpin kerajaan. Mulai dari penciptanya Mpu Gandring, Tunggul Ametung, Kebo Ijo, Ken Angrok, seorang pengalasan dari Batil, hingga Anusapati.

Baca juga: Kudeta Ken Angrok

Lalu ada lagi kisah dalam Babad Tanah Jawi. Kali ini kesaktian keris dihubungkan dengan wali. Ceritanya, Sunan Giri diganggu oleh para kafir saat sedang menyusun tulisan keagamaan. Ia lalu melemparkan kalamnya yang sedang ia pakai ke arah para pengganggu itu. Sambil berputar-putar, pena itu kemudian berubah menjadi keris gaib yang menyerang dengan sengit. Keris sakti itu kemudian dikenal dengan nama Kalam Munyeng, salah satu pusaka Sunan Giri.

Kisah-kisah kemagisan keris ini muncul dalam banyak cerita tradisi. Namun, bukan berarti sejak awal keris dianggap sebagai benda bernuansa mistik. Waktu itu keris lebih berfungsi praktis. Dalam beberapa prasasti abad ke-9 sampai ke-10 disebutkan keris bersama benda-benda fungsional lainnya belum dianggap sebagai pusaka. Rupanya ada sebab awal hingga keris mendapatkan label kesaktian.

Hanya Kiasan

Kepercayaan akan kesaktian keris mulai berkembang berkat kisah-kisah legenda mengenainya. Misalnya, kisah Mpu Gandring dan kerisnya dalam Serat Pararaton, menurut pengajar sejarah Universitas Negeri Malang, Dwi Cahyono, hanyalah penyederhanaan dari peristiwa besar yang mungkin pernah terjadi. Permintaan Ken Angrok kepada Mpu Gandring untuk dibuatkan keris adalah petunjuk tentang kudeta yang diprakarsai Ken Angrok kepada penguasa Tumapel yang berada di bawah cengkraman Kadiri. Pararaton hanya menyederhanakan kejadian sebenarnya, bahwa yang dipesan Ken Angrok bukan hanya sebuah keris melainkan sejumlah persenjataan.

“Seakan Mpu Gandring bikin satu keris dan tak selesai, lalu dibunuh. Maksudnya, Mpu Gandring tak bisa memenuhi pesanan jumlah senjata pada waktu yang diinginkan,” jelas Dwi.

Baca juga: Enam Korban Keris Mpu Gandring

Ken Angrok tak peduli Mpu Gandring tak menyanggupi permintaannya untuk menyelesaikan keris sesegera mungkin. Ketika itu ia begitu tergesa-gesa. Serangan ke Tunggul Ametung harus segera dilakukan atau gagal.

Konsultan keris, Toni Junus, dalam bukunya Tafsir Keris, menjelaskan cerita Panembahan Purbaya dan pasukan Mataram menyerang VOC di Batavia dalam Serat Tembung Andhupara. Menurutnya keris sakti Panembahan Purbaya hanya kiasan penggambaran rakyat yang bangkit kembali dengan semangat berkobar.

“Mereka berbodong-bondong berbaris memadati kiri dan kanan jalan untuk menyambut serta mengelu-elukan rombongan Purbaya,” jelas Toni.

Baca juga: Sebelum Keris Berfungsi Magis

Juga pada bagian yang mengisahkan benteng Belanda tembus berlubang ketika keris itu diacungkan. Menurut Toni sebenarnya ini hanya menggambarkan bahwa setelah kematian Gubernur Jenderal VOC Jan Pieters Zoon Coen, Belanda kawalahan. Mereka kemudian memilih untuk membuka pintu gerbang, menyambut rombongan Panembahan Purbaya dan berunding.

“Artinya benteng itu dibuka pintunya untuk menyambut kedatangan juru runding Mataram, yaitu Panembahan Purbaya,” kata Toni.

Gaya penulisan semacam ini banyak ditemui khususnya dalam kesusastraan Jawa pada masa kedatangan Belanda. Menurut Toni, sastra kiasan seperti ini sengaja dibuat untuk menyembunyikan makna sebenarnya. Biasanya ia mengandung kerahasiaan untuk mengelabui Belanda agar bisa disebarluaskan kepada masyarakat.

“Tulisan ini memiliki andil terbentuknya ‘fenomena mistik’ pada keris karena secara tersurat dipahami sebagai peristiwa nyata,” ujar Toni. Berkat kisah ini, masih banyak orang Jawa yang percaya keris bisa memadamkan api.

Keistimewaan Bijih Besi

Jauh sebelum itu, masyarakat Jawa kuno telah memandang logam penuh dengan makna simbolik. Menurut Guru Besar Arkeologi UGM, Timbul Haryono dalam “Keris dalam Sistem Budaya Masyarakat Jawa Tradisional Ditinjau dari Pendekatan Arkeologi”, termuat di Keris dalam Perspektif Keilmuan, itu terjadi ketika kebudayaan Jawa mendapat pengaruh India. Menurut tradisi India masing-masing logam punya kedudukan yang berbeda dari yang tinggi sampai yang rendah, yaitu suvarna (emas), rupya (perak), loha (besi), tamra (tembaga), trapu (timah putih), vangaja (seng), sisaka (timah hitam), dan riti (kuningan).

Sementara tradisi lain, menurut Timbul, menyatakan ada delapan logam yang penting, istilahnya astalohamaya, yaitu suvarna (emas), rajata (perak), tamra (tembaga), paittala (kuningan), kamsya (perunggu), ayasa (besi), saisaka (timah hitam), dan trapusa (timah putih).

Baca juga: Posisi Pandai Besi dalam Sejarah Nusantara

Dalam tradisi dari India ini, emas adalah simbol dari semua yang dianggap superior. “Emas memiliki warna yang indah (su-varna) sekaligus bersifat kesurgaan (svar),” jelas Timbul.

Sementara perak mempunyai nilai simbolik meningkatkan kesucian. Adapun tembaga dianggap mempunyai daya magis.

Di Nusantara, besi mendapat kedudukan yang berbeda. Penggunaan besi di wilayah ini sudah ada sejak lama. Para ahli prasejarah, khususnya H.R. van Heekeren, membuktikan kalau besi telah dikenal di Nusantara bersamaan dengan perunggu, yaitu pada abad terakhir menjelang Masehi.

Namun, menurut sejarawan Danys Lombard dalam Nusa Jawa II: Jaringan Asia, Nusantara miskin bijih besi kecuali di wilayah-wilayah tertentu, seperti bagian utara Filipina, bagian tenggara Kalimantan, bagian tengah Sulawesi, daerah pedalaman Sumatra dan Sumbawa.

“Di Jawa sama sekali tak ada bijih besi,” jelas Lombard. “Dapat dibayangkan di Jawa, konteks ritual dan magisnya lebih terasa karena kelangkaan logam itu.”

Baca juga: Desa Pandai Besi yang Hilang

Karenanya, berbeda dengan metalurgi lainnya yang sudah kehilangan makna keramat, pekerjaan menempa besi khususnya pembuatan keris masih dikaitkan dengan kegaiban. Seperti diungkapkan oleh Timbul Haryono bahwa di Jawa pada umumnya masyarakat mengelompokkan keris ke dalam tosan aji atau wesi aji. Artinya besi yang bernilai tinggi atau dimuliakan.

“Itulah sebabnya maka dalam lingkungan budaya kerajaan Jawa, penyebutan keris sebagai pusaka keraton selalu diberi kata sandang Kiai atau Kanjeng Kyai,” jelas Timbul.

Soal ini tak bisa dilepaskan pula dari sosok si pandai besi, yaitu mpu yang menciptakan keris. Ia berpuasa dan bertapa sebelum tangannya meraih martil. Sepanjang masa prakolonial, hak mengerjakan besi dianggap melekat pada sekelompok perajin yang dianggap memiliki kekuatan gaib. Di mana pun di Nusantara pandai besi dipandang sebagai mpu yang memiliki kekuatan magis.

Baca juga: Dhapur dan Penamaan Keris yang Berbeda Itu Biasa

“Di dalam alam pikiran masyarakat Jawa dipercayai bahwa mistik keris terjadi karena pembuatan keris selalu disertai dengan upacara dan pembacaan mantra-mantra,” jelas Toni.  

Sehingga, pada masa Jawa Kuno, seorang mpu pembuat keris, mempunyai kedudukan tersendiri dalam masyarakat. Seperti dikisahkan dalam Pararaton, tuah keris Mpu Gandring seakan bergantung pada tingkat kesaktian pembuatnya, yang dapat memasukkan daya sakti itu ke dalam keris yang dibuatnya.

“Para pembuat keris dianggap mempunyai kekuatan magis karena artefak yang dihasilkan dapat mematikan manusia,” jelas Timbul.

TAG

keris diponegoro

ARTIKEL TERKAIT

Menyibak Warisan Pangeran Diponegoro di Pameran Repatriasi Dedikasi Peter Carey Meneliti Pangeran Diponegoro Ke Mana Perginya Barisan Sentot Pengikut Diponegoro? Jenderal "Jago Perang" Belanda Meregang Nyawa di Pulau Dewata Tongkat Kiai Cokro Diponegoro Revolusi Sosial, Artikel Sneevliet, dan Surat Pangeran Hendrik Detik-detik Menegangkan Saat Belanda Menjebak Diponegoro Sang Penangkap Diponegoro Pulangnya Keris Pusaka Warisan Puputan Klungkung Tongkat Kiai Cokro, Pusaka Pangeran Diponegoro untuk Perjalanan Spiritual