Masuk Daftar
My Getplus

Posisi Pandai Besi dalam Sejarah Nusantara

Ia dipandang sebagai candala (tukang) dan empu.

Oleh: Hendaru Tri Hanggoro | 21 Jun 2012
Sumber: Repro Buku Keris Antik Wangkingan Kebo Hijau. Ilustrasi: Micha Rainer Pali.

ANN Dunham, antropolog Amerika Serikat dan ibu Presiden Amerika Barack Obama, terpaku heran melihat dua pembesar desa menunjukan sikap takzim pada perajin keris, Pak Djeno. Mereka berbicara dengan nada yang direndahkan. Kepala mereka seringkali menunduk ketika mendengar Pak Djeno berbicara. Tak seperti yang Ann kenal, sikap mereka berbeda; tak ada kelakar dan tawa dari mereka sebagaimana biasa. Dua pembesar itu menemani Ann yang sedang menyusun disertasi mengenai pandai besi di Indonesia. Pada 1988, Ann menyambangi desa di Sleman, Yogyakarta, untuk menambah bahan-bahan penulisan.

Sebelumnya, Ann tak tahu bahwa pandai besi memiliki posisi yang tinggi meski secara kelas sosial wong cilik. Dia baru tahu saat menatap rajah silsilah di dinding rumah Pak Djeno. Rajah itu menunjukan Pak Djeno sebagai generasi keempatbelas keturunan pandai besi Kerajaan Mataram di Jawa Tengah. Ann terkesiap. Di tengah rasa kejutnya, Ann disodorkan beberapa keris oleh Pak Djeno. Dia memutuskan membeli salah satunya. Sikap dua pembesar desa terhadap Ann pun berubah. Kejadian ini dia tuangkan dalam disertasinya yang telah dibukukan, Pendekar-Pendekar Besi Nusantara.

Pandai besi telah ada sejak berpuluh abad lampau. Menurut arkeolog Titi Surti Nastiti dalam Pasar di Jawa Masa Mataram Kuna, cukup banyak prasasti yang menyebut keberadaan mereka. Kala itu, mereka dikenal sebagai pandai wsi (besi).

Advertising
Advertising

Beberapa desa di Jawa Tengah seperti Tanggung dan Kedok dikenal sebagai asal pandai besi sedari abad ke-8. Mereka mengolah bijih besi yang terdapat di dekat tempat tinggalnya, terutama wilayah perbukitan. Dari sini terbentuk jejala industri besi rumah tangga. Di pasar, mereka menjual karyanya berupa pisau, parut, loyang, cetakan kue, dan alat-alat pertanian.

Waktu itu, masyarakat Jawa menempatkan pandai besi pada posisi unik. Ada yang menganggap keahlian mereka tak lebih dari tukang sehingga status dan kelas sosialnya rendah. “Dalam beberapa naskah kesusastraan seperti Slokantara (abad ke-14) dan Agama Adigama, kelompok pandai dimasukkan ke dalam kelompok candala, yaitu kelompok masyarakat yang kedudukannya paling rendah,” tulis Titi.

Naskah Tantri Kamandaka, yang ceritanya diabadikan dalam relief Candi Jago (abad ke-13) di Malang Jawa Timur, memuat hal-ihwal musabab masuknya pandai besi ke kelompok candala. Mulanya, seorang pandai besi terlibat pencurian. Seorang brahmana lalu menolongnya. Namun pandai besi itu bukannya berterimakasih, malah menimpakan tuduhan pencurian ke brahmana. Raja marah dan menghukum brahmana ke penjara. Beberapa lama, barulah raja tahu kisah sebenarnya. Brahmana dibebaskan dan pandai besi dijatuhi hukuman mati.

Di sisi lain, menurut Titi, pandai besi memiliki kedudukan penting dalam masyarakat. Keterangan itu antara lain tersua dalam salah satu prasasti masa Sindok (abad ke-9). Termaktub pula di dalamnya sebutan bagi mereka, ‘mpu’. Gelar ini tak mungkin disematkan jika mereka hanya menjadi kelompok rendahan.

Indolog CF Winter mengemukakan, kedudukan pandai besi dapat terlihat dalam penamaan Candi Prambanan. Dia menduga kata Prambanan berasal dari Parambanan atau Poerambanan, yang berarti empu Rombo atau Rombo sang pandai besi. Karena itu, dia berpendapat pandai besi berkedudukan tinggi. “Namun Winter tidak membahas hubungan yang barangkali cuma kebetulan belaka antara seorang pandai besi semacam itu dan candi dimaksud,” tulis Roy Joordan, “Candi Prambanan Sebuah Pendahuluan Mutakhir,” termuat dalam Memuji Prambanan.

Sementara itu, menurut sejarawan Anthony Reid, keahlian mengolah besi dapat menjadi sarana penciptaan kekuasaan. “Pengerjaan barang-barang dari logam merupakan penciptaan kekuasaan, sebab alat-alat dari logam pertama-tama diperlukan untuk perang, baru sesudahnya untuk pertanian,” tulis Reid dalam Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga. Reid mencontohkan, cerita Ciung Wanara yang menyertakan pandai besi, dengan kekuatan magisnya, sebagai tokoh penting dalam perebutan tahta Kerajaan Galuh (abad ke-7-8).

Logam, khasnya besi, kerapkali dipandang sebagai simbol keteguhan dan kekuatan. Untuk mengolah besi, seseorang tak cukup hanya mempunyai keahlian kasar, tapi juga kehalusan batin agar besi tertempa sempurna. Tak heran, sebagian masyarakat kala itu menilai pandai besi menyimpan aura suci. Pada masa Majapahit, mereka dikumpulkan di ibukota untuk menjamin kekuatan perang balatentara Majapahit. Mereka dilindungi raja dan dijamin kesejahteraannya.

Ketika Majapahit perlahan runtuh, sebagian pandai besi memilih bertahan dan menurunkan keahliannya. Kelak, Kesultanan Demak dan Mataram menggunakan jasa mereka untuk memperkuat persenjataannya. Tak sedikit pula pandai besi yang menyebar ke wilayah pedesaan. Dua yang terkenal adalah kakak-adik, Empu Supo dan Empu Suro. Bersama pelarian lainnya, mereka menuju ke selatan lalu berhenti di sebuah hutan tak berpenghuni yang dirasa aman. Bangunan untuk tempat tinggal pun didirikan hingga tempat itu menjadi desa.

Empu Supo dan Empu Suro meneruskan usahanya membuat aneka pusaka besi seperti keris dan tombak. Pesanan mulai berdatangan. Penasaran, sejumlah orang segera mendatangi tempat itu yang kemudian disebut Kampung Pandean. Nama itu bertahan hingga sekarang untuk menyebut sebuah desa kecil di Umbulharjo, Yogyakarta. Keahlian mengolah besi pun lestari hingga kini pada segelintir penduduk. Beberapa di antaranya menisbatkan diri sebagai keturunan pandai besi zaman Majapahit. Status yang meninggikan mereka meski pekerjaannya dianggap kasar.

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Lika-liku Sejarah Pipa Bukan Belanda yang Kristenkan Sumatra Utara, Tetapi Jerman Antara Lenin dan Stalin (Bagian I) Situs Cagar Budaya di Banten Lama Pemusnah Frambusia yang Dikenal Dunia Perupa Pita Maha yang Karyanya Disukai Sukarno Musik Rock pada Masa Orde Lama dan Orde Baru Pasukan Kelima, Kombatan Batak dalam Pesindo Tertipu Paranormal Palsu Poorwo Soedarmo Sebelum Jadi “Bapak Gizi”