Masuk Daftar
My Getplus

Disepelekan Tentara Belanda

Kisah lucu mengenai persiapan perundingan antara militer Belanda dan Indonesia. Pasukan Belanda memandang remeh tentara Indonesia karena dinilai sebagai sekelompok anak ingusan semata.

Oleh: Martin Sitompul | 22 Mei 2020
Ilustrasi tentara Indonesia berhadapan dengan pasukan Belanda. Ilustrator: Betaria/Historia.

Pada 1946, Kapten Soegih Arto diperintahkan pergi ke pos militer Belanda. Yang memberi perintah ialah Kolonel Hidayat Martaatmadja, wakil panglima Divisi Siliwangi. Hidayat menugaskan Soegih Arto mengantarkan surat tentang persiapan pertemuan antara Tentara Repoeblik Indonesia (TRI) dengan militer Belanda terkait batas demarkasi.

“Pada waktu itu saya menjadi komandan batalyon di Ciparay, Bandung Selatan,” tutur Soegih Arto dalam Sanul Daca: Pengalaman Pribadi Letjen (Pur) Soegih Arto.

Menurut pihak Belanda, Soegih Arto hanya boleh membawa 10 pengawal bersenjata. Tempat pertemuan ditentukan dekat jembatan Citarum, Dayeuhkolot. Di sana, Soegih Arto akan bertemu dengan seorang kapten Belanda. Dalam tugas tersebut, Soegih Arto memilih prajurit yang pendek-pendek dan wajahnya imut-imut. Mereka dipersenjatai dengan senapan Jepang yang panjang-panjang dan senapan mesin ringan Jepang. Bisa dibayangkan bagaimana anak buah Soegih Arto yang cungkring-cungkring itu menenteng senjata laras panjang.

Advertising
Advertising

Baca juga: 

Pengalaman Pasukan Kelaparan

Ketika tiba di tempat yang ditentukan, Soegih Arto dan anak buahnya menyaksikan para prajurit Belanda (sebagian besar totok)  sudah siap dengan mengenakan pakaian loreng-loreng. Kapten Belanda mengajak Soegih Arto bicara dalam bahasa Belanda. Soegih Arto hanya menggeleng-geleng. Isyarat bahwa dirinya tidak berbahasa Belanda. Mengetahui perwira paling senior di pihak TRI tidak dapat berbahasa Belanda, pasukan Belanda jadi meremehkan TRI. Padahal sejatinya Soegih Arto mengerti bahasa Belanda.

Menurut Soegih Arto, pasukan Belanda jadi bebas berkomentar menilai keadaan para anak buahnya. Kadang-kadang komentar itu bernada lucu sehingga Soegih Arto sukar menahan tawa. Pasukan Belanda memandang sebelah mata tentara Indonesia seperti tentara ingusan. Memang ada beberapa prajurit yang tidak bersepatu.

Hebben wij tegen deze snotneuzen noeten vech zen? Ah, te erg, zeg! (Masa kita harus berkelahi melawan anak-anak ingusan ini? Ah, keterlalun!),” demikian kata pasukan Belanda ditirukan Soegih Arto.

Meski disepelakan, Soegih Arto menjalankan tugasnya dengan baik. Beberapa hari kemudian terjadilah perundingan antara TNI dengan Belanda di Dayeuhkolot. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Kolonel Hidayat dan seorang anggotanya Letnan Kolonel Soetoko. Adapun Soegih Arto berposisi sebagai pengawal. Sementara itu, delegasi Belanda dipimpin oleh seorang mayor bernama Bayetto.

Baca juga: 

Diburu Kapten Westerling

Ketika Kolonel Hidayat mengulurkan tangannya untuk bersalaman, Mayor Bayetto pura-pura tidak melihat. Sang mayor kemudian mempersilakan delegasi Indonesia duduk. Soegih Arto mengingat betul sambutan dingin Mayor Bayetto. Bertahun-tahun kemudian, setelah pengakuan kedaulatan mereka bersua kembali.

Pada 1952, Soegih Arto ditugaskan bersekolah di Belanda. Menuntu ilmu di Hogere Krigsschool Den Haag itu, Soegih Arto merasa tidak asing dengan salah satu pengajarnya. Memorinya kembali pada perundingan di Dayeuhkolot tahun 6 tahun silam.  

“Kebetulan sekali mayor yang tidak mau bersalaman dan berkulit hitam itu ternyata guru sejarah di Hogere Krigsschool Den Haag,” kenang Soegih Arto.

 

 

 

 

TAG

perundingan revolusi indonesia

ARTIKEL TERKAIT

Ketika Rosihan Anwar Mendampingi Diplomat Inggris Peran Australia dalam Perundingan Renville Pesan Damai di Hari Natal Daripada Soeharto, Ramadhan Pilih Anak Kisah Mata Hari Merah yang Bikin Repot Amerika Hukuman Penculik Anak Gadis Pengawal Raja Charles Masuk KNIL Masa Kecil Sesepuh Potlot Cerita Tak Biasa Mata-mata Nazi Kriminalitas Kecil-kecilan Sekitar Serangan Umum 1 Maret