Di tengah kesibukannya mempersiapkan Kongres Indonesia Muda (IM) VI di Surabaya, Desember 1936, Roeslan Abdulgani dikagetkan oleh kunjungan seorang pemuda. Roeslan, pejabat Ketua Pengurus Besar IM yang dipilih untuk menggantikan Ketua Sukarni yang menghilang setelah digerebek oleh PID pada 19 Juni 1936, tak menyangka pemuda yang mendatanginya itu adalah Sukarni yang selama ini dicari-cari.
“Dia datang naik perahu dan berpakaian hitam-hitam ala orang Madura. Perahunya berhenti malam-malam di pinggir Sungai Kalimas, sekitar daerah Kampung Plampitan, dekat rumah saya,” kata Roeslan dalam testimoni “Pejuang Kemerdekaan yang Merakyat” yang termuat di buku Sukarni Dalam Kenangan Teman-Temannya suntingan Sumono Mustoffa.
Oleh Roeslan dan kawan-kawannya, Sukarni pun langsung disembunyikan. Sukarni, yang sudah kehilangan jabatan di IM, dalam kunjungan rahasia itu hanya ingin memesankan kepada rekan-rekannya agar IM tetap berjiwa radikal-revolusioner meski situasi yang dibuat pemerintah kolonial sudah amat membahayakan gerakan nasionalisme.
Sejak pemberontakan PKI meletus di Banten (1926) dan Silungkang (1927), pemerintah mengetatkan pengawasan terhadap gerakan-gerakan nasionalisme dan komunisme. “Laporan-laporan kepolisian kolonial menunjukkan adanya pengawasan ekstra kepada mereka yang diduga memiliki hubungan dengan PKI maupun gerakan antipemerintah lain kendati tak berlatar belakang komunisme,” tulis Bonnie Triyana dalam artikelnya di historia.id bertajuk “Asal-Usul Stigmatisasi Komunis di Indonesia”.
Kontrol ketat aparat kolonial itulah yang membuat Sukarni dan para pemuda pergerakan lain mesti panjang akal dan pandai menyamar. Sebagaimana sang “mentor”, Tan Malaka, Sukarni pun panjang akal dan lihai menyamar. Itu membuatnya berhasil melarikan diri saat kantor PB IM digeruduk aparat kolonial dan semua pengurus yang ada di sana, termasuk Pandu Kartawiguna, ditangkapi.
Baca juga: Indonesia dalam Mimpi Tan Malaka
Sukarni akhirnya bisa mencapai Surabaya dan menemui Roeslan beserta kawan-kawan. Sesaat di Surabaya, Sukarni lalu ke Malang dan kemudian Batu. “Sebab pernah saya terima kartu pos bergambar dari Bung Karni dengan stempel pos Batu. Sesudah itu hilang lagi jejak Bung Karni. Sesudah itu tak ada hubungan lagi. Mungkin setelah di Batu itu, Bung Karni terus mengembara ke Balikpapan,” kata Roeslan.
Sama dengan Roeslan, Pandu pun tak tahu lagi nasib Sukarni setelah penggerebekan kantor PB IM. Yang pasti Pandu dibuat bingung ketika suatu siang di bulan September tahun 1941 diberitahu oleh rekannya, Abdul Hakim, bahwa ada seorang pemuda mencari. Hakim dan Pandu dibuat bingung oleh tingkah sang tamu ketika dipersilakan masuk sementara Hakim memanggilkan Pandu.
“Pemuda itu menolak dan bahkan mundur beberapa langkah ke belakang, ke pojok, yang agak tersembunyi, sambil berkata secara pelan-pelan, ‘Tolong usahakan Saudara Pandu saja keluar dan katakan ada teman lama ingin bertemu,’” kata Hakim dalam testimoninya di buku yang sama, “Perjuangan Sukarni Tempo Dulu”.
Informasi Hakim itu membuat Pandu bergegas menemui tamunya. Dia langsung kaget bercampur senang begitu tahu tamunya adalah Sukarni sahabat seperjuangannya. Keduanya langsung berpelukan dan tertawa, lalu mengobrol lama di belakang kantor.
Saat Pandu mengantar Sukarni pamit, dia memperkenalkannya kepada Hakim. “Kim, kau ingat berita yang belum lama berselang termuat dalam surat-surat kabar, yang menyatakan bahwa di pedalaman Kalimantan oleh pemerintahan Hindia Belanda telah ditangkap seorang pegawai Dinas Topografi, yang segera akan diangkat ke Jakarta? Inilah orangnya, Sukarni,” kata Pandu, dikutip Hakim.
Baca juga: Sukarni Takut Kenpeitai
“Sekarang giliran saya yang terkesima. Meskipun belum mengenal orangnya, saya tahu betul, bahwa Sukarni yang merupakan sahabat karib Pandu dalam perjuangan adalah bekas ketua Pengurus Besar Indonesia Muda,” kata Hakim.
Sukarni lalu menuju kantor Seksi III Kepolisian di Pasar Baru. Di sanalah Sukarni ditahan setelah ditangkap di Balikpapan saat menyamar dengan menjadi pegawai Dinas Topografi. Pengakuannya kepada Hakim dan Pandu bahwa selama ditahan di Pasar Baru dia mendapat perlakuan amat baik, di mana dia dibebaskan keluar pada siang hari, menimbulkan tanda tanya besar yang tak pernah bisa dijawab.
“Jawaban yang mungkin terhadap teka-teki ini ialah, Belanda mulai saat itu akan menjalankan politik ‘mengambil hati’, berhubung dengan situasi yang sudah sangat gawat dan genting pada masa itu,” kata Hakim menjelaskan situasi Hindia Belanda yang diambang pendudukan Jepang.
Baca juga: Antara Sukarni dan Sukarno
Apapun alasannya, yang pasti Sukarni lihai menyamar. Setelah pertemuannya dengan Roeslan dan kawan-kawan IM di Surabaya dia ke Malang lalu Batu. Dari sana, tanpa diketahui siapapun Sukarni melanjutkan perjalanan ke arah barat. Dia lalu menyamar sebagai pedagang tembakau keliling di pesisir Jawa Barat. Mengenakan baju Tionghoa berwarna sama dengan destar di kepala dan celana hitam sebetis, saban hari dia berkeliling mengangkat keranjang berisi tembakau dan menjajakannya kepada awak perahu-perahu layar.
Dari penyamaran itu Sukarni akhirnya berhasil mengambil hati seorang juragan perahu Bugis. Juragan itulah yang kemudian dengan sukarela mewujudkan mimpi Sukarni, yakni dengan mengizinkan Sukarni menumpang kapalnya ke Banjarmasin. Di Banjarmasin, Sukarni kembali menyamar. Kali ini dia menjadi pedagang soto. Selain untuk menghindari dikenal orang, profesi ini dipilihnya juga untuk membiayai hidup.
Suatu kali, Sukarni yang sedang menunggui dagangannya kedatangan seorang gadis yang hendak membeli sotonya. Alih-alih langsung membuatkan soto, Sukarni justru lari meninggalkan dagangannya ketika si gadis telah di hadapannya, membuat teman-teman peadagangnya mengurus dagangannya.
“Gadis tadi ternyata teman sekolah Sukarni di Jakarta. ia melarikan diri karena takut dikenali, di samping mungkin merasa malu jika ketahuan menjadi penjual soto,” kata Hakim yang mendapat cerita itu dari Sukarni.