Asal-Usul Stigmatisasi Komunis di Indonesia
Stempel negatif untuk kaum komunis dan tuduhan yang bersifat pukul rata sudah dimulai sejak zaman kolonial. Menyasar kepada mereka yang kritis terhadap kekuasaan.
Bandung, 4 Juli 1927, delapan orang berkumpul di sebuah rumah Regentsweg No. 22. Tujuh orang di antaranya bersepakat mendirikan sebuah partai baru: Partai Nasional Indonesia (PNI). Seorang di antaranya, yang paling tua, menolak ikut masuk ke dalam susunan pendiri partai. Dia cemas kalau partai baru tersebut bakal dituduh sebagai partai komunis kelanjutan PKI dan akan kembali dibubarkan oleh pemerintah kolonial.
Cerita tersebut dikisahkan oleh Iskaq Tjokrohadisurjo dalam memoarnya, Alumni Desa Bersemangat Banteng. Orang tua yang keberatan dengan pendirian partai itu adalah Tjipto Mangoenkoesoemo, politikus antikolonial yang sedang menjalani masa pembuangannya di Bandung. Sebagaimana dikutip Iskaq dari Sunario dalam biografinya, PNI dan Perjuangannya, pemerintah kolonial menangkap Tjipto atas tuduhan membantu PKI. Tjipto tak pernah tercatat sebagai anggota aktif partai tersebut.
Kecemasan Tjipto menunjukkan dampak serius dari reaksi keras pemerintah kolonial terhadap PKI. Hanya terpaut kurang setahun sebelum pertemuan di Regentsweg itu terjadi, PKI melancarkan perlawanan di Banten, 12 November 1926, dan Silungkang, Sumatra Barat pada Januari 1927.
Merujuk kepada Petrus Blumberger dalam De Communistische Beweging in Nederlandsch-Indie, 13 ribu orang ditangkap atas tuduhan keterlibatan mereka dalam pemberontakan tersebut, sebagian dibebaskan. Tiga ribu orang ditahan di Jawa Barat, dua ribu lainnya ditahan di Sumatra Barat, dan lebih dari 4.500 orang dijatuhi hukuman penjara, beberapa pemimpinnya seperti Egom, Dirdja, Hasan Bakri dari Ciamis dan Haji Sukri dari Pandeglang dijatuhi hukuman mati.
Gubernur Jenderal Hindia Belanda memberlakukan larangan terhadap PKI dan onderbouw-nya, Sarekat Rakyat, di seluruh wilayah Hindia Belanda. Setiap orang yang memiliki hubungan dengan organisasi tersebut dan terbukti terlibat dalam kekerasan dan gangguan ketertiban umum, akan dijatuhi hukuman penjara serendah-rendahnya enam tahun.
Baca juga: Kisah Budisucitro, Buangan Digul Nomor 1
Dengan menggunakan hak exorbitante rechten, berdasarkan konstitusi Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie Staatregeling) pasal 37, Gubernur Jenderal, atas persetujuan Raad van Nederlandsch-Indie, berhak mengasingkan orang-orang yang dianggap membahayakan ketertiban umum. Atas dasar tersebut pada akhir 1927 Gubernur Jenderal Hindia Belanda A.C.D. de Graeff menjadikan Boven Digul, Nieuw Guinea (sekarang Papua) sebagai area pembuangan tahanan politik yang terlibat peristiwa 1926.
Sekitar 1.300 orang komunis diasingkan ke kamp yang terkenal sebagai wilayah endemik malaria hitam yang mematikan itu. Sejak tahun yang sama pemerintah kolonial juga mengetatkan pengawasan terhadap “bahaya merah” yang sejak awal 1920 melancarkan agitasi dan propaganda melawan pemerintah kolonial.
Stigmatisasi komunis mulai terlihat sejak meletusnya peristiwa pemberontakan PKI 1926. Laporan-laporan kepolisian kolonial menunjukkan adanya pengawasan ekstra kepada mereka yang diduga memiliki hubungan dengan PKI maupun gerakan antipemerintah lain kendati tak berlatar belakang komunisme.
Baca juga: Polisi Zaman Kumpeni
Sejarawan Marieke Bloembergen dalam bukunya Polisi Zaman Hindia Belanda: Dari Kepedulian dan Ketakutan mengungkapkan adanya kecemasan yang menjalar di kalangan warga kulit putih di Hindia Belanda atas aktivitas kaum komunis tersebut. Dari koran Bataviaasch Nieuwsblad, 6 Desember 1926, sebagaimana juga dikutip oleh Marieke, menyebutkan adanya kekhawatiran terhadap serangan kaum komunis.
Koran konservatif itu juga melancarkan kritik terhadap pemerintah yang dianggap kurang sigap dalam menghadapi teror komunis. Dalam laporan-laporan arsip polisi yang dikutip Marieke terungkap fakta klasifikasi gerakan politik yang dianggap berbahaya oleh polisi kolonial. “Pertama adalah ‘komunisme dan ekstremisme’, sejak akhir 1926 dinyatakan terlarang; dan kedua, ‘gerakan nasionalis’ yang terlepas dari sejumlah aksi represif 1933 tampaknya dibiarkan dan ditenggang,” tulis Marieke dalam bukunya halaman 351.
Dalam rangka menghadapi ancaman komunis terhadap otoritas kolonial, kurikulum pendidikan polisi kolonial pun ditambah pengajaran khusus tentang komunisme. Mengutip laporan arsip kepolisian, 1 Januari 1927, Marieke menulis, “Tercakup ke dalamnya kemampuan untuk mengenali ajaran dan organisasi komunisme, serta cara-cara penyidikan dan pemberantasan komunisme.”
Baca juga: PID Mengawasi Kaum Pergerakan
Alarm kewaspadaan terhadap gerakan komunis di Hindia Belanda terlihat diberlakukan secara sistematis. Mulai dari pendidikan kepolisian, pengawasan dinas reserse maupun Dinas Pengawasan Politik (Politieke Inlichtingendienst, PID) terhadap aktivitas politik antikolonial, hingga kewaspadaan di kalangan pangreh praja meningkat setelah peristiwa 1926.
Satu hal yang menarik diperhatikan adalah refleksi seorang pejabat pribumi dalam pemerintahan kolonial, Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat, yang saat kejadian menjabat bupati Batavia. Menurutnya pemberontakan terjadi karena rakyat dihasut PKI melawan pemerintah kolonial. Dalam memoarnya P.A.A. Djajadiningrat menulis banyak rakyat di wilayah tanah partikelir Tangerang yang terpaksa bekerja serabutan, mulai jadi pedagang kecil-kecilan sampai kuli untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
“Hal ini yang menyebabkan banyak penduduk sering bolak balik ke Batavia, di mana mereka berhubungan dengan orang-orang yang menyebut diri mereka komunis,” tulis Djajadiningrat dalam Memoar Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat halaman 411.
Baca juga: Palu Arit Selalu Bikin Sengit
Pandangan Djajadiningrat mencerminkan bagaimana pemerintah kolonial berkepentingan untuk mencegah laju “si merah” yang menghasut rakyat ketimbang melihat kondisi obyektif kehidupan masyarakat. Kepentingan untuk menjaga situasi “rust en orde” (ketenangan dan ketertiban) mengabaikan kenyataan mulai munculnya benih-benih kesadaran merdeka di kalangan rakyat.
“Semboyan mereka adalah memaksakan ‘kamerdikaan’, apa yang mereka maksudkan dengan sebenarnya, dari penyidikan sementara tidak jelas, juga dari siapa atau apa ‘kamerdikaan’ tersebut harus dipaksakan,” kata Djajadiningrat.
Keinginan menciptakan stabilitas negeri koloni dan kecurigaan terhadap gerakan komunis membuat pemerintah kolonial menyasar semua gerakan antikolonial yang berkembang sejak awal 1920-an. Sejarawan M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern menyebutkan pada era tersebut sebagai “tahapan sejarahnya yang bersifat paling menindas pada abad XX” dari rezim kolonial Belanda di Indonesia.
Baca juga: Ricklefs yang Tak Sempat Saya Temui
Pengawasan terhadap gerakan antikolonial semakin meningkat. Agen rahasia PID dan petugas reserse polisi selalu hadir dalam setiap pertemuan politik. Sasaran pertama pengawasan adalah para tahanan politik Boven Digoel, kerap disebut “Digoelis” yang telah dibebaskan dan menyatakan ‘verzoenlijk’ (mau berdamai). Sejarawan Marieke Bloembergen menilai tindakan tersebut sebagai upaya stigmatisasi terhadap orang-orang komunis di era 1930-an.
Penggunaan istilah “bahaya laten” komunisme mulai dikenali melalui media massa zaman kolonial, seperti tersua dalam Het Nieuws Van Den Dag, edisi 13 Februari 1928. Istilah itu dikutip dari Bupati Bandung yang mengatakan “unsur-unsur kriminal yang membawa propaganda (komunis, red.)” yang berada di luar jangkauan hukum akan tetap menjadi “bahaya laten” (latent gevaar).
Baca juga: Bahaya Laten PKI hanya Halusinasi
Koran beraliran konservatif itu memberitakan adanya perkumpulan komunis di Cimahi merencanakan pemberontakan bersenjata sekitar bulan puasa atau usai Lebaran 1928. Koran yang sama juga melaporkan kabar berdirinya asosiasi komunis Cina di Bandung dan perkumpulan komunis yang didirikan oleh warga Arab di Batavia.
Sejak 1927 terjadi penangkapan-penangkapan terhadap tokoh pergerakan. Komunis atau bukan tidak lagi jadi soal sepanjang mereka menunjukkan tanda-tanda melawan pemerintah kolonial. Sukarno ditangkap di Yogyakarta pada 29 Desember 1929, tak lama kemudian PNI dinyatakan sebagai perhimpunan yang bertujuan menjalankan kejahatan menurut undang-undang hukum pidana Hindia Belanda pasal 169. Kecemasan Tjipto terbukti benar.
Setelah sempat dipenjara di Sukamiskin, Sukarno diasingkan ke Ende, Flores. Menyusul berikutnya penangkapan Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir pada 1932. Mereka berdua diasingkan ke Boven Digoel, bersama ribuan tahanan komunis yang telah terlebih dahulu diasingkan ke sana. Sejak 1933 penghuni Boven Digoel pun semakin beragam, mulai dari aktivis PKI, PNI, Partindo, Perhimpunan Muslimin Indonesia (Permi) sampai dengan Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) dengan tokohnya Muhammad Lutfi dan Ilyas Yakub dari Minangkabau.
Pengasingan, label kejahatan, bahkan stempel kriminal yang dilekatkan kepada mereka yang ditangkap setelah peristiwa pemberontakan PKI 1926 membuktikan adanya stigmatisasi terhadap kaum komunis. Hal itu kemudian menyasar secara luas kepada mereka yang melancarkan perlawanan terhadap otoritas kolonial, dengan acuan kewaspadaan atas bahaya “si merah”. Marieke Bloembergen menyebut situasi ini sebagai “kebijakan” polisional yang menjadikan “warna merah sebagai penanda” sehingga akhirnya “menyasar semua yang bernuansa merah” berdasarkan sudut pandang penguasa kolonial.
Mengacu pada pengertian sosiolog Erving Goffman dalam bukunya Stigma: Notes on Management of Spoiled Identity (1963), stigma adalah atribut yang sangat merendahkan (attribute that is deeply discrediting). Stigma membuat orang-orang yang diberi atribut, baik secara ras, warna kulit, penyakit, agama dan dalam hal ini ideologi, tersingkir dari masyarakat, terasingkan karena dianggap remeh atau malah dituduh membahayakan.
Dalam kasus stigma komunis era kolonial, atribut yang memojokkan itu diciptakan oleh penguasa kolonial. Acapkali stigma yang terlanjur dilekatkan pada orang-orang dari kelompok tertentu tak sepenuhnya mencerminkan kebenaran faktual pada level individual. Misalnya label yang bersifat pukul rata bahwa orang komunis sudah pasti ateis.
Dalam kasus peristiwa 1926, kejanggalan itu terungkap dalam surat Sutan Sjahrir kepada istrinya Maria Duchateau. Pada surat yang dikirim dari Tanahmerah, Boven Digoel, 10 September 1935 itu Sjahrir menyampaikan keheranannya tentang orang-orang komunis yang ada di Digoel yang menurutnya bukan orang komunis sebagaimana yang ditemuinya di Eropa. “Aku belum ketemu dengan orang komunis di Tanahmerah yang sesuai dengan maksud kata komunis di Eropa,” kata Sjahrir.
Menurutnya, orang-orang komunis yang berada di pembuangan bersamanya itu tak lebih dari sekumpulan orang-orang yang ingin melawan pemerintah kolonial. Tidak semua dari mereka memahami apa arti menjadi seorang komunis, bahkan sebagian dari mereka menurut Sjahrir lebih tampak sebagai orang-orang yang terdorong melawan karena semangat keagamaan atau gerakan mistik yang dipimpin seorang Ratu Adil.
Baca juga: Penelitian: Pelabelan PKI, Stigmatisasi Paling Kejam
“…menurutku, sebagian besar dari orang yang dibuang ke sini, walaupun mereka bukan orang komunis, mereka memang benar-benar ingin memberontak…Gejala-gejala yang mereka alami juga sama dengan rakyat kita. Orang di sini bukan luar biasa, walaupun mereka disebut komunis atau pemberontak. Terutama mereka orang Indonesia, maksudnya orang Jawa, orang Minangkabau, orang Banten, orang Sunda. Dan kalau orang ingin mengerti mereka, orang harus mengerti mereka sebagai orang Jawa, orang Minangkabau, d.l.l., baru setelah itu kita juga bisa menilai komunisme yang mereka anut. Dan karena itu, komunisme mereka adalah yang aneh, penuh mistik, diwarnai Hindu Jawa atau Islam Minangkabau atau juga Islam Banten, maksudnya di dalam tiga-tiganya terdapat elemen animisme,” tulis Sjahrir.
Stigma yang sama juga diberlakukan terhadap mereka yang dituduh terlibat dalam peristiwa Gestok 1965. Dalam beberapa hal malah jauh lebih berdampak luas ketimbang masa kolonial. Karena stigma tak hanya dilabelkan kepada anggota dan simpatisan PKI atau mereka yang teridentifikasi sebagai pendukung Sukarno garis keras (PNI atau golongan “Sukarno Sentris”, SS) melainkan pula pada sanak keluarga terdekat mereka.
Kebijakan yang diskriminatif yang tercermin dalam beberapa produk hukum di era Orde Baru, seperti label “Eks Tapol” pada KTP, larangan hak dipilih dan memilih dalam Pemilu, memang sudah dihapuskan, namun stigmatisasi negatif komunis masih berlangsung hingga kini. Bahkan cap komunis digunakan sebagai cara mereduksi peran sosial seseorang atau kelompok politik tertentu, sampai dengan membungkam atau membunuh karakter seseorang dalam ajang pertarungan politik dan kehidupan sosialnya.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar