Kisah Budisucitro, Buangan Digul Nomor 1
Seorang pemimpin PKI yang berhasil dijinakkan Belanda. Hidupnya berakhir tragis.
Pada Januari 1926, tiga orang pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI) diburu pemerintah kolonial Belanda. Mereka menghilang dan kemudian diketahui melarikan diri ke Singapura. Ketiga pemimpin itu adalah Musso, Soegono, dan Budisucitro. Nama terakhir kemudian ditangkap pasca gagalnya pemberontakan PKI. Dia dibuang ke Boven Digul dengan nomor deportasi 1.
Di kamp Tanah Merah, selain terkenal sebagai buangan nomor 1, Budisucitro juga cukup terhormat. Bersama Aliarcham, ia seringkali menjadi perwakilan para tahanan dalam berbagai persoalan. Misalnya ketika tunjangan 30 sen perhari hendak dicabut, Budisucitro, Aliarcham, dan Said Ali, dikirim untuk menanyakan keputusan itu. Adu debat dengan kontrolir membuahkan hasil, tunjangan tidak jadi dicabut.
Peran Budisucitro berlanjut. Pada 24 hingga 27 Januari 1928, diadakan kongres untuk membentuk Centrale Raad Digoel (CRD) atau Dewan Pusat Digul. CRD berisi 21 anggota yang mendapat suara terbanyak dalam pemilihan langsung. Pemilihan tersebut baru rampung pada 27 Februari 1928. Budisucitro berada di urutan kedua dengan mendapat 462 suara, sedangkan urutan pertama dipegang oleh Aliarcham dengan 515 suara.
Baca juga: Menikah di Tanah Merah
CRD kemudian membentuk komisi, sebuah tim yang akan menyusun Anggaran Dasar CRD. "Terpilih Aliarcham, Soenarjo dan Budisucitro," tulis Mas Marco Kartodikromo dalam Pergaulan Orang Buangan di Boven Digoel.
Sejak awal masa pembuangan, telah terjadi perpecahan karena perdebatan tentang siapa yang bertanggungjawab terhadap gagalnya pemberontakan. Perpecahan membelah kaum buangan menjadi dua. Mereka yang tetap "keras" terhadap kolonialisme dan mereka yang mulai "jinak".
Sebagai mantan pemimpin PKI, Budisucitro tentu saja mengambil sikap tegas terhadap kolonial. Bersama Mas Marco Kartodikromo, Thomas Najoan dan pemimpin PKI yang lain, ia dipindahkan ke Gudang Arang, lalu ke Tanah Tinggi.
"Ketika pada suatu saat pertentangan hebat merobek-robek Tanah Merah, pemerintah Belanda memandang Budisucitro menjadi ancaman, maka ia pun dibuang ke Tanah Tinggi di hulu," tulis Molly Bondan dalam Spanning The Revolution.
Gudang Arang letaknya beberapa puluh kilometer di hulu Sungai Digul. Sementara Tanah Tinggi juga terletak di tepi Sungai Digul. Dibuang ke Tanah Tinggi berarti menjalani kehidupan yang lebih berat dan lebih sepi dari kamp Tanah Merah. Tempat ini ternyata berhasil membuat para pembangkang menyerah.
"Di Tanah Tinggi, Budisucitro tanpa disangka-sangka menyerah dan pulang ke Tanah Merah. Begitu pula dengan Najoan dan Marco. Padahal, Budisucitro, Najoan, dan Marco termasuk pimpinan PKI yang keras," tulis Soe Hok Gie dalam Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan.
Begitu kembali dari Tanah Tinggi, Budisucitro diangkat menjadi kepala kampung. Jabatan barunya mengubah penampilannya pula. Ia terlihat memakai jas putih, celana putih, lengkap dengan lars dan helm. Sejak itu pula ia mulai tidak disukai sebagian besar orang buangan. Musababnya, pajak pendapatan mulai ditarik dari para tahanan.
"Kamu tidak akan pernah dipulangkan jika tidak mau membayar," kata Budisucitro untuk menakut-nakuti tahanan yang enggan membayar. Mereka yang berkeinginan dipulangkan ke kampung halaman kemudian akan berusaha mencari uang dan membayar kepada Budisucitro. Budisucitro kemudian menyerahkan sen demi sen kepada pemerintah kolonial. Padahal, ia tidak mendapat bayaran sepeser pun atas pekerjaannya itu.
Baca juga: Sepakbola di Tanah Buangan
Semakin hari Budisucitro menjadi pembicaraan dan cemoohan karena dianggap telah berkhianat terhadap partainya dahulu. Bahkan, mereka menjulukinya "Stalin Setalen" yang artinya Stalin 25 sen.
Rumah Budisucitro berada di lokasi yang strategis, di sisi persimpangan jalan, tempat bertemunya jalan dari dermaga dengan jalan yang membelah Kampung B dan Kampung C. Di sebelah kirinya adalah rumah yang diberikan kepada Bung Hatta ketika Bung Hatta dibuang ke Digul pada 1935.
"Barangkali inilah alasannya, mengapa rumah itu disediakan untuk Bung Hatta; cocok bagi penguasa yang mau memata-matainya," tulis Molly Bondan.
Di Digul, Kadirun, mertua M.H. Lukman, mendirikan Malay-English School, sekolah bagi anak-anak Digul. Sekolah ini kemudian dimatai-matai oleh Budisucitro.
Budisucitro mengumpulkan laporan tentang kejadian-kejadian kecil hingga pertemuan-pertemuan sambil lalu. Ia kemudian menyusun laporan sebagai bukti bahwa beberapa tahanan tengah merencanakan pemberontakan. Budisucitro bahkan mendesak pemerintah untuk membuang mereka ke Tanah Tinggi.
Budisucitro tampaknya telah benar-benar berubah. Tindakannya menunjukan bahwa ia telah berhasil dijinakkan dan bahkan mengabdi pada pemerintah kolonial. Perubahan sikapnya itu akhirnya membuahkan hasil bagi dirinya sendiri. Buangan nomor 1 itu dipulangkan ke Jawa dengan kapal Albatros pada 19 Maret 1938.
Baca juga: Kecil di Digul Muda di Buru
"Sesudah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Budisucitro masuk Partai Sosialis Amir Sjarifuddin, barangkali ia takut masuk Partai Komunis baru karena para anggotanya yang lama tentu masih ingat pada pengkhiatannya ketika di Digul," sebut Molly Bondan.
Pada 1948, menurut surat kabar yang dibaca Mohammad Bondan, suami Molly, Budisucitro ditembak mati oleh Tentara Nasional Indonesia di daerah Pati, Jawa Tengah. Saat itu diduga Budisucitro hendak meloloskan diri dari Madiun, di mana ia terlibat pemberontakan.
Menurut Koesalah Soebagyo Toer dalam Tanah Merah yang Merah, Budisucitro sempat menjadi anggota Badan Eksekutif Keresidenan Pati, dengan Residen Milono. Peristiwa Madiun membuatnya dipenjara di Blora hingga kemudian ditembak mati oleh Polisi Istimewa di utara markas kepolisian.
"Ia ditembak di kepala hingga batok kepalanya tersingkap. Korban-korban penembakan waktu itu diketahui sebelumnya oleh penghuni penjara, karena pembuat nisan dengan namanya adalah mereka," tulis Koesalah berdasarkan wawancara dengan Sarmidi, seorang mantan pejuang kemerdekaan.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar