Pelabelan PKI, Stigmatisasi Paling Kejam
Ada banyak pelabelan di negeri ini. Tapi, label PKI paling kejam.
DARI sekian banyak stigmatisasi di Indonesia, pelabelan PKI merupakan pelabelan paling kejam. Hal ini memiliki efek negatif yang jauh kedalam korban yang dilabeli.
Hal tersebut dikemukakan oleh psikolog sosial Universitas Persada Indonesia Idhamsyah Eka Putra dalam simposium nasional “Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan” di Hotel Aryaduta, Jakarta, 19 April 2016.
Menurut Eka, dibandingkan stigma-stigma lain seperti “Cina atau orang cacat’, label PKI lebih dahsyat. “Kalau sudah dilabeli PKI, maka bisa dikucilkan, dijauhi, dilecehkan. Padahal kalau sudah dilabeli stigma, nggak ada urusannya sama ideologi,” kata Eka.
Menurut Eka, efek negatif stigma PKI dan kriminal tidak berbeda. Untuk mengetahui dampak label PKI, Eka melakukan beberapa kali riset. Misalnya, dia meneliti seberapa jauh efek negatif label PKI terhadap anak sekolah dasar. Salah seorang yang dia jadikan sampel adalah murid berprestasi yang sering mewakili sekolah dalam berbagai lomba. “Guru-gurunya bangga berhasil mendidik dia,” kata Eka.
Baca juga: Simposium 1965 Tanpa Kata Maaf
Persepsi langsung berubah menjadi negatif setelah diinformasikan bahwa anak itu keturunan PKI. “Efeknya luar biasa. Gurunya yang tadinya bangga bilang: ‘setelah saya tahu, tiba-tiba rasa bangga saya drop’,” kata Eka. Dari sini kita bisa pelajari ternyata pelabelan sebagai anak PKI, itu luar biasa sekali.
“Stigma dicap anak PKI pada saat itu lebih nista daripada anak haram jadah,” kata Witaryono Reksoprodjo, anak Setiadi Reksoprodjo, mantan menteri listrik dan ketenagaan yang ditahan oleh Jenderal Soeharto. 15 menteri yang ditahan juga dilabeli “tidak beretika dan tidak beritikad baik.”
“Pelabelan tidak beretika dan tidak beritikad baik bagian dari narasi yang dibangun pada waktu itu untuk menjatuhkan pemerintahan Sukarno,” kata Witaryono.
Pelabelan itu, lanjut Witaryono, tidak hanya kepada bidang profesionalnya tetapi kepada pribadi-pribadinya. Misalnya, menteri Imam Syafii di-bully dengan lelucon disebut menteri copet. Padahal, sejatinya Imam Syafii adalah pahlawan yang mempertahankan Jakarta ketika ibu kota dipindahkan ke Yogyakarta dengan mengerahkan copet dan pelacur.
Baca juga: Gabungan Ormas Siapkan Simposium Tandingan
Menurut Eka, karena pelabelan PKI sangat berdampak jahat, maka pada waktu pemilihan presiden, Jokowi pun disebut anak PKI. Namun, Jokowi selamat. Akan tetapi, tidak dengan orang-orang yang dicap PKI pada masa lalu.
“Pada Pemilu lalu Jokowi difitnah sebagai anak PKI. Ada yang memainkan isu itu. Pasti ada alasan kenapa memainkan label PKI itu. Efeknya ingin menjatuhkan Jokowi,” kata Eka.
Eka pun membuktikan dalam penelitiannya, ketika seseorang yang memiliki berbagai kualifikasi ideal akan dicalonkan sebagai presiden, respons masyarakat terhadapnya pada awalnya positif. Namun, ketika masyarakat tahu calon presiden itu merupakan keturunan PKI grafik respons yang ditunjukan pun menurun.
“Ketika orang diketahui dekat dengan PKI nilai orang itu turun. Tapi ketika dia ditambahkan info soal kedekatannya dengan PKI langsung drop, dari penilaian positif jadi negatif,” paparnya.
Baca juga: Seruan Jihad dari Simposium Anti-PKI
Menurutnya studi ini membuktikan, label PKI memang memberikan efek luar biasa pada siapa pun. Bahkan anak kecil yang tidak paham sama sekali soal ideologi komunis.
Namun, ada cara untuk setidaknya meredam stigma negatif. Dalam studi berikutnya Idamsyah pun menambahkan pemikiran kepada para responden; semua manusia pada dasarnya baik. Hasilnya, meski kecil respons negatif dari para responden tidak seburuk sebelumnya. “Kebanyakan orang mengamini manusia itu baik. Dalam studi efeknya luar biasa terhadap persepsi positif. Penekanan itu bisa meredam prasangka dan stigma,” lanjut dia.
Namun, menurut Eka, terkait dengan upaya permintaan maaf selalu gagal. Hal ini karena kebanyakan persepsinya mengembalikan pada apa yang korban lakukan sebelum dibunuh; efeknya lari dari sanksi sosial. Yang kedua, ada rasa penyesalan tapi dikembalikan kembali kepada korban semasa hidup. Ketiga, mengakui kesalahan tapi takut publik tahu.
Empat Kelompok Terkait 1965
Adapun Direktur Center for South East Asian Studies (CSAS), Yosep Djakababa menilai saat ini diperlukan keterbukaan pandangan untuk memahami kompleksnya masalah isu tragedi 1965. Dari tragedi itu setidaknya ada empat kelompok masyarakat yang terbentuk.
“Pertama, kelompok masyarakat yang masih meyakini versi orde baru. Kedua, melihat ini dari sisi pelanggaran HAM. Ketiga, kelompok yang bingung karena banyaknya info. Keempat, kelompok yang tidak peduli,” terang Yosep.
Yosep pun mengusulkan saat ini perlu membuka kembali ingatan kolektif baru yang lebih jujur. Hal ini terkait kepentingan bersama, yaitu mengakui adanya kekerasan politik yang menimbulkan dampak luar biasa.
“Dilakukan dengan pembelajaran secara menyeluruh dengan fakta dan keilmuan yang valid. Sehingga diharapkan tragedi ini tak berulang,” ucapnya.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar