Duduk dalam lembaga yang sama membuat Saifuddin Zuhri (menteri agama periode 1962-1967) menjadi dekat dengan Sukarni. Kendati telah saling kenal sejak masa pendudukan Jepang, Saifuddin dan Sukarni baru mulai dekat setelah sama-sama menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) pada paruh kedua 1960-an.
Kedekatan itu membuat Saifuddin tak segan mengajak Sukarni, yang disegani dalam pentas politik nasional, bercanda. Dalam sebuah kesempatan, Saifuddin sengaja melontarkan pertanyaan pada Sukarni yang selama ini membuatnya penasaran.
“Dengan nada kelakar saya tanyakan, ‘Apakah peci merah yang dikenakan di atas kepalanya itu lambang identitasnya yang antiimperialis, antimodal asing?’” kata Saifuddin dalam testimoninya untuk Sukarni, “Pejuang yang Nyaris Terlupakan”, dimuat dalam buku Sukarni dalam Kenangan Teman-Temannya.
Baca juga: Nasionalisme Peci Sukarno
Namun, rasa penasaran Saifuddin tetap tak sirna. Pasalnya, sambung Saifuddin, “Pertanyaan saya itu tidak dijawab oleh Bung Karni. Ia hanya tertawa terkekeh-kekeh sambil mengacungkan ibu jarinya. Tak paham saya apakah yang ‘jempol’ itu pertanyaan saya, atau peci merahnya!”
Sukarni tetaplah Sukarni yang misterius bagi banyak orang, termasuk yang mengenalnya seperti Saifuddin. Latar belakangnya sebagai aktivis perjuangan kemerdekaan yang selalu dimata-matai aparat kolonial membuat Sukarni harus kerap menyembunyikan identitas dirinya dengan menyamar.
Kebiasaan menyembunyikan identitas itu terus terbawa ke masa-masa berikutnya. Tokoh PNI Hardi salah satu saksinya. Perkenalan Hardi dengan Sukarni terjadi setelah keduanya sudah bertemu dalam sebuah aksi pemuda yang –di dalamnya terdapat Hardi– digerakkan Sukarni ke sebuah rapat Komite Nasional Indonesia yang dilangsungkan di Tanah Abang.
Baca juga: Bertemu Gadis Kala Menyamar, Sukarni Lari
“Ketika saya bertemu muka dengan tokoh pelopor revolusi itu, saya belum mengetahui bahwa dia itulah Bung Karni,” kata Hardi dalam testimoninya, “Tokoh Pelopor Revolusi yang Terlupakan”, di buku yang sama.
Hardi dan Sukarni akhirnya dekat kendati beda kendaran politik. Namun, bagi Hardi, sisi misterius Sukarni tetap saja bertahan.
“Sejak dahulu, kalau ia menelepon kami, ia tidak mau menyebutkan nama yang sebenarnya. Kalau dalam suasana yang aman saja Mas Karni tidak mudah menyebutkan namanya lewat telepon, maka dapatlah dimengerti bahwa beliau tidak memberi kesempatan pada kami untuk saling berkenalan waktu kami bertemu muka untuk pertama kalinya pada akhir tahun 1945,” kata Hardi.
Baca juga: Ketika Adnan Buyung Nasution Bertemu Tan Malaka
Sebagaimana yang dialami mentornya, Tan Malaka, penyamaranlah yang membuat Sukarni kerap lolos dari penangkapan aparat, baik oleh kolonial maupun aparat negara setelah Indonesia merdeka.
“Pejuang-pejuang kemerdekaan banyak yang menggunakan kamuflase atau penyamaran menjadi wartawan,” kata Adnan Buyung Nasution, yang sejak usia 10 tahun sering diajak ayahnya menemui Sukarni di kantor Antara, dalam otobiografi berjudul Pergulatan Tanpa Henti, Vol. 1.
Tak hanya kerap membuat kaget rekan-rekannya, penyamaran Sukarni juga pernah membuat Soewarsih (kemudian dikenal sebagai Nyonya Soetarman), rekannya dari Keputrian Indonesia Muda (KIM), dibuat repot. Kisahnya dimulai setelah Sukarni terpilih menjadi ketua Pengurus Besar Indonesia Muda (IM) pada 1935. Lantaran terang-terangan menyuarakan gagasan Indonesia merdeka, aparat kolonial mencium gerakan “makar” mereka.
Baca juga: Ketika Sukarni Berkerudung
Menjelang kongres IM, ketika atribut-atribut dengan logo baru IM diperbanyak dan disebarkan, aparat menangkapi anggota-anggota IM. Tempat tinggal Soewarsih, yang menumpang di rumah tokoh pendiri Kowani Ibu S. Kartowijono, ikut digeledah. Meski surat-surat penting berhasil disembunyikan terlebih dulu sehingga aman dari penyitaan aparat, Soewarsih menanggung akibat lanjutan.
“Gara-gara aksi Sukarni itu selama tiga hari saya harus menghadap PID,” kata Soewarsih dalam testimoninya, “Gara-gara Sukarni Saya Dikejar-Kejar PID”.
Sukarni sendiri berhasil melarikan diri ke Surabaya dengan menyamar sebagai perempuan. Dalam penyamaran itu, Sukarni dibantu Sudjono.
Baca juga: Sukarni dan Proklamasi
“Saya ketika itu merasa dongkol sekali, ketika dia lari. Gara-gara dia saya dikejar-kejar PID.” kata Soewarsih.
Sementara Sukarni selamat, Soewarsih terus menjadi target pengawasan aparat setelah interogasi tiga hari berturut-turut oleh PID itu, “Karena tekanan dari PID terlalu berat bagi saya, maka kemudian saya hijrahkan PB IM/PM KIM ke Surabaya dan pimpinan saya serahkan pada Roeslan Abdulgani dan N. Supijah.” sambungnya.