Pada 1952, Sukarni selaku ketua Partai Murba mengajak Husein Yusuf, jurnalis Suara FONI yang pernah menjabat sebgai Ketua Umum Dewan Harian Daerah Angkatan 45 Kalimantan Timur, ke Balikpapan untuk napak tilas. Sukarni akan menemui teman-teman lamanya ketika bekerja di Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM).
Lebih-kurang tiga tahun Sukarni tinggal di Kalimantan, tempat dia berkenalan dengan Yusuf. Selama di Kalimantan, ia pindah-pindah tempat untuk menghindari endusan dan penangkapan aparat PID. Aktivitas politiknya di Indonesia Muda (IM) dan Parindra yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dianggap pemerintah kolonial amat meresahkan. Akibat aktivitas politiknya itu, kata Sukarni kepada Yusuf, dia dijadikan target penangkapan.
“Dari informasi yang didapatnya Belanda telah siap untuk menangkapnya, dan akan mengasingkannya ke Boven Digul di Nieuw Guinea (sekarang Irian Jaya),” kata Yusuf dalam testimoninya, “Maidi di Kalimantan”, yang terhimpun di buku Sukarni dalam Kenangan Teman-Temannya.
Pengejaran itu membuat Sukarni harus sering berpindah tempat dan juga mengganti identitas. Dengan penyamaran itu dia akhirnya mencapai Banjarmasin.
Di Banjarmasin, Sukarni menggunakan nama samaran Maidi. Maidi berdagang soto untuk menghidupi dirinya dan menghindari endusan aparat kolonial. Setelah berdagang soto, Maidi berdagang es. Setelah itu, Maidi pindah ke Murungpudak dan bekerja sebagai kuli di BPM.
Baca juga: Bertemu Gadis Kala Menyamar, Sukarni Lari
Pekerjaan itu membawanya ke Sangasanga dan Maidi memutuskan menetap di sana. Dia kemudian berganti profesi menjadi jongos di rumah manajer area BPM. Dari sinilah mungkin Maidi mendapat info atau “katabelece” sehingga bisa ke Balikpapan dan bekerja sebagai kuli ukur di Dinas Topografi milik BPM.
Maidi yang berpenampilan lusuh kerap dihina kawan-kawannya. Mereka menganggap Maidi takkan bisa membaca buku-buku berbahasa Belanda. Namun, ejekan itu tak pernah diambil hati oleh Maidi. Dia malah bergaul karib dengan mereka sehingga tugas-tugasnya pun lebih ringan dikerjakan. Karena kepandaiannya baca-tulis bahasa Belanda, jabatan Maidi pun diangkat menjadi calon juru ukur (leerling opnemer).
Namun, karier itu bukan yang utama bagi Maidi. Baginya yang terpenting adalah menghindari penangkapan sambil terus menambah kader perjuangan. Maka kawan-kawannya yang terdekat kemudian dijadikan kader olehnya meski Maidi tak mau membuka identitasnya. Jumlah kadernya terus bertambah seiring bertambahnya tempat di Kalimantan yang dikunjunginya untuk memetakan tempat-tempat yang potensial kandungan minyaknya sehubungan dengan pekerjaannya.
Maka ketika Maidi ditangkap aparat PID pada 1940, kawan-kawannya banyak yang kaget. Mereka tak pernah menyangka Maidi yang selama ini diejek itu merupakan orang hebat yang “licin”. Mereka baru kembali bertemu Maidi yang sudah berterus terang sebagai Sukarni pada 1952.
“Semua kawan-kawan seperjuangannya pada pertemuan tersebut meminta maaf kepada Sukarni atas perlakuan mereka kepadanya. Mereka selalu menghina dan mengejek Sukarni,” kata Yusuf.
Alih-alih sakit hati atau pongah menerima maaf mereka, Sukarni justru berterimakasih. Sukarni menganggap mereka telah membantunya sehingga penyamarannya lama diketahui oleh aparat kolonial.
Baca juga: Sukarni Takut Kenpeitai
“Andaikata Saudara-saudara tidak menghina dan mengejek saya, mungkin penyamaran saya dapat diketahui oleh Belanda dan kemudian saya segera akan ditangkap. Jadi Saudara-saudara telah membantu saya dan menyelamatkan saya. Dan karena itu saya mengucapkan terima kasih,” kata Sukarni dikutip Yusuf.
Kawan-kawan Sukarni itu tak pernah tahu bahwa sebelum penyamaran Maidi ada penyamaran-penyamaran Sukarni sebelumnya. Sebelum ke Kalimantan, Sukarni menjadi pedagang tembakau di pantura Jawa Barat yang biasa menjajakan dagangannya di pelabuhan. Karena berhasil mengambil hati seorang juragan kapal, dia kemudian diizinkan menumpang kapal si juragan ke Banjarmasin. Sebelumnya lagi, Sukarni menyamar sebagai orang Madura untuk mencapai Surabaya dari Jakarta.
Penyamaran Sukarni dimulai setelah penggerebekan kantor pusat IM oleh PID pada 1936. Sukarni selaku ketua IM berhasil lolos dan kemudian keluar dari Jakarta.
“Dia meninggalkan Jakarta pakai kerudung menyamar seperti wanita, wajahnya yang ‘ayu’ itu membantu penyamarannya. Dia berlagak sebagai sepasang suami-istri dengan Sudjono,” kata Nyonya Soetarman, rekan Sukarni di IM, dalam testimoni di buku yang sama, “Gara-Gara Sukarni Saya Dikejar-Kejar PID”.