APRIL 1965. Jalan Indramayu, Menteng, Jakarta Pusat, tetiba dipenuhi pasukan Tjakrabirawa. Mereka mengawal Presiden Sukarno yang sedang berkunjung ke rumah sahabatnya, dr. Nie Swan Tie, kolektor benda seni. Tentu saja, kunjungan itu bukan membicarakan soal politik, tapi masalah kesamaan hobi: koleksi benda seni.
Segenap anggota keluarga Nie Swan Tie menyediakan diri di rumah. Maklum, jarang orang biasa mendapat kunjungan presiden.
Setelah bercakap-cakap biasa di ruang tamu, Sukarno melihat koleksi seni milik Nie Swan Tie. Mereka berkeliling rumah hingga sampai di depan lukisan pohon besar yang dedaunannya berguguran karya Carel Lodewijk Dake berjudul Flamboyan. Sukarno tertegun.
Baca juga: Lukisan Nyai Roro Kidul koleksi Istana memakan korban
“Saya suka ini lukisan. Kalau boleh tahu, berapa dokter mau jual?” tanya Sukarno.
“Maaf Pak Presiden, saya tidak menjual lukisan. Jika Pak Presiden minat, saya akan berikan sebagai hadiah,” jawab Nie Swan Tie.
“Hahaha...,” Sukarno tertawa sembari menepuk bahu Nie Swan Tie.
“Dokter itu benar-benar kolektor sejati,” ujar Sukarno kemudian.
Beberapa hari berselang, Nie Swan Tie menerima surat dari Sukarno. Isinya, Sukarno ingin meminjam beberapa lukisan koleksinya untuk dipajang di Istana selama beberapa hari guna menyambut para tamu negara. Nie Swan Tie meminjamkan tujuh lukisan.
“Tujuh lukisan itu antara lain, seingat saya, karya Lee Man Fong, C.L. Dake, Affandi yang realis, dan W.G. Hofker,” ujar dr. Hanny Suwandhani, putra Nie Swan Tie yang saat itu baru 13 tahun, kepada Historia. Willem Gerard Hofker adalah pelukis Belanda dan pelukis Carel Lodewijk Dake dari Belgia yang pernah tinggal di Indonesia.
Tepat seminggu, ketujuh lukisan itu dikembalikan. Sukarno menyisipkan surat tanda terima kasih kepada Nie Swan Tie.
“Surat itu bunyinya begini: saya tahu, saya harus segera mengembalikan lukisan ini. Sebab saya paham, setiap dokter menatap dinding itu kosong, dokter akan sedih. Maka itu, saya segera mengembalikan ketujuh lukisan tersebut,” ujar Hanny.
Baca juga: 33 pelukis kesayangan Sukarno dalam buku Sukarno's Favoutite Painters
Oei Hong Djien dalam Seni dan Mengoleksi Seni menyebut Nie Swan Tie adalah salah satu kolektor seni yang pertama di Indonesia yang sehari-hari sebagai internis atau ahli penyakit dalam.
Meminjam lukisan menjadi salah satu upaya Sukarno untuk bisa memperindah suasana Istana.
Menurut kritikus seni Agus Dermawan T., dalam buku Ni Pollok, diceritakan Sukarno pernah meminjam dua lukisan dari Le Mayeur. Namun, sampai Sukarno meninggal, bahkan hingga tahun 1980-an, kedua lukisan itu belum juga dikembalikan.
Memajang lukisan di Istana bukan hanya untuk memenuhi hobi seni Sukarno, tapi juga untuk mengenalkan keindahan negeri yang baru merdeka, baik kepada tamu negara maupun teman-temannya.
Baca juga: Koleksi seni Istana tak terpelihara era Orde Baru
“Bung Karno melalui berbagai cara, getol memotivasi orang bergaul serta mensosialisasikan seni melalui berbagai cara,” sambung Agus yang hadir sebagai penanggap dalam peluncuran buku Sukarno's Favourite Painters karya Mikke Susanto di Gedung Masterpiece, Jakarta Pusat pada Jumat (21/09).
Dan yang terpenting, lukisan-lukisan yang dipilih Sukarno adalah lukisan realis dan naturalis. Seperti ketika meminjam lukisan milik Nie Swan Tie, dia memilih lukisan Affandi yang realis, buka abstrak.
“Sukarno memang sukanya naturalis, lalu realis, karena memang tujuannya bukan untuk memperlihatkan selera estetika baru, tapi bagaimana lukisan ini bisa berfungsi bagi masyarakat, dan tamu negara,” ujar Mikke Susanto, kurator dan penulis buku Sukarno’s Favourite Painters.
Baca juga: Misteri model lukisan Rini karya Sukarno
Sukarno menyadari tak dapat membeli lukisan dengan tunai. Sebab, saat itu Indonesia baru merdeka dan keadaan masih sangat susah. Dia pun hanya bisa meminjam dari sahabat-sahabatnya yang kolektor atau membeli langsung kepada pelukis dengan mencicil.
“Tapi yang penting, meski presiden, Sukarno tidak mempergunakan kekuasaannya untuk sekadar memiliki lukisan,” kata Hanny.