Sepuluh Warisan Kolonial yang Meresahkan
Warisan-warisan zaman Belanda yang masih membekas itu masih bisa dikikis, asalkan…
KEMERDEKAAN Republik Indonesia sudah menyongsong dirgahayunya yang ke-78. Alam kolonialisme pun sudah cukup lama lenyap di Bumi Pertiwi. Akan tetapi secara sengaja atau tidak, sejumlah warisan kolonialisme Belanda itu masih eksis di tengah masyarakat Indonesia saat ini.
Sejarawan Bonnie Triyana mengungkapkan pola-pola yang ada di zaman kolonialisme itu, masih bisa dirasakan, setidaknya dalam 10 aspek yang mendegradasi cara berpikir masyarakat. Terlebih pola-pola yang serupa tapi tak sama itu selama hampir delapan dekade terus bisa dikenali tanpa pernah dibatasi atau diputus.
“Banyak hubungan kekuasaan institusional, sosial, dan budaya dapat ditelusuri kembali ke struktur dan budaya selama periode kolonialisme itu. Maka gerakan dekolonialitas untuk mengidentifikasi metode di mana cara-cara berpikir dan sistem pengetahuan Barat telah diuniversalkan dan menjadi penting untuk membongkar kolonialitas yang masih berlaku sampai sekarang,” ujar Bonnie pada pidato kebangsaan bertajuk “Apa yang Kita Warisi dari Kolonialisme?” dalam rangkaian Festival Seni Multatuli 2023 di Pendopo Museum Multatuli, Rangkasbitung, Lebak, Banten, Jumat (16/6/2023) malam.
Baca juga: Dari Rangkasbitung untuk Dunia
Dengan konsep dekolonialitas itu Bonnie mencoba menelaah lebih jauh tentang bagaimana warisan-warisan kolonial itu masih berurat-akar dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Setidaknya, Bonnie menguraikan 10 aspek di antara warisan-warisan kolonial yang masih jadi keresahan dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara.
Pertama dalam bidang pendidikan. Pendidikan di masa kolonial cenderung eksklusif dan terus mengalami disparitas. Jika menengok ke belakang, pendidikan lazimnya hanya bisa dinikmati kalangan berdarah biru semata, terutama sejak pemerintah Hindia Belanda memberlakukan surat izin bagi setiap pemuda yang ingin makan bangku sekolah.
Pendidikan yang bisa diperoleh pemuda lintas kalangan berangsur gencar setelah berdirinya sekolah Taman Siswa pada 3 Juli 1922 di Yogyakarta atas prakarsa Raden Mas Soewardi Soerjaningrat alias Ki Hajar Dewantara yang gelisah akan eksklusivitas dan diskriminasi pendidikan. Terlepas Taman Siswa yang dianggap pemerintah kolonial sebagai sekolah liar sebagai dampak kebijakan larangan Wildeschoolen Ordonantie (Ordonansi Sekolah Liar), Ki Hajar melakukan perlawanan dengan protes kerasnya kepada Gubernur Jenderal Bonifacius Cornelis de Jonge.
Baca juga: Riwayat Erasmus Huis: Yang Tersisa dari Kolonialisme Belanda (1945-1960)
Meski begitu, seperti diungkapkan Frances Gouda dalam Dutch Cultures Overseas, gerakan Taman Siswa jalan terus. Bahkan kendati tak mendapat subsidi dari pemerintah kolonial karena dianggap swasta atau sekolah liar, Taman Siswa tetap bisa mendirikan 16 sekolah dengan sekira 11 ribu murid Jawa.
“Keadaan yang sama juga kita bisa lihat hari ini. Kalau kita lihat banyak sekolah bermutu dengan kurikulum internasional, pelajaran yang lebih baik jika dibandingkan dengan sekolah-sekolah negeri. Tapi yang bisa ke sekolah itu hanya orang-orang yang punya uang karena SPP-nya mahal dan tak mungkin terbayarkan kaum yang ada di bawah,” imbuhnya.
Padahal, menurut Bonnie, pendidikan bermutu demi mencerdaskan kehidupan bangsa adalah hak setiap warga tanpa mengenal agama, latar belakang sosial, dan golongan rasialnya. Sedikit banyak aspek pendidikan ini masih jadi warisan kolonial.
Baca juga: Ki Hajar dan Sekolah Liar
Sedangkan aspek Kedua, yakni jejak feodalisme dalam praktik politik. Bahwa keresahan ini sudah eksis sejak terbentuknya VOC (Kongsi Dagang Hindia Timur) di awal abad ke-17.
“Mulai berlaku sebutan adipati atau bupati yang jadi kepanjangan tangan kolonial Belanda untuk melakukan eksploitasi kepada rakyatnya di bawah,” lanjut inisiator Festival Seni Multatuli tersebut.
Bupati di masa itu lazimnya dipilih hanya berdasarkan hubungan darah, keturunan, dan pemberian upeti. Mereka mendapat keistimewaan karena pengaruh di wilayah-wilayah tertentu dan kekayaan yang dimiliki. Para bupati itu, sebagaimana yang juga diungkapkan Jan Breman dalam Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa: Sistem Priangan dari Tanam Paksa Kopi di Jawa, 1720-1870, juga jadi kepanjangan tangan VOC untuk memperoleh sejumlah komoditas yang akan dikomersialkan dari Nusantara ke Eropa.
“Pengontrolan wilayah di Sunda, Jawa Barat, misalnya yang disebut wilayah Priangan, dilaksanakan tidak dengan membangun aparat perusahaan sendiri. VOC sendiri tetap mengawasi dari jarak jauh dan menyerahkan supervisinya kepada para kepala pribumi yang mendapat restu untuk mengikat para petani mengabdi kepada mereka. Pemungutan pajak secara tidak langsung dengan memakai para bupati dan kepala rendahan dari kalangan bangsawan menurunkan biaya pengelolaan,” tulis Breman.
Baca juga: Bermacam Pajak Era Kolonial
Dalam struktur kekuasaan saat itu, para bupati juga hidup dari setoran pajak rakyat. Perubahan baru terjadi ketika pemerintahan kolonial Hindia Belanda berdiri untuk menggantikan VOC yang korup.
“Para bupati itu kemudian diintegrasikan dalam birokrasi kolonial. Dalam sistem ini mendapatka upah, Jadi hilanglah privilese mereka terhadap wilayah kekuasaan sebagai dampak menguatnya kolonialisme. Mereka jadi orang yang digaji pemerintah kolonial. Dulu seperti ada ibrokrasi tambal sulam sebagai pergantian pejabatnya. Bapaknya pensiun, anaknya menggantikan. Itu yang sedikit banyak kita wariskan walau sekarang mulai modern, meritokrasi mulai ada,” tutur Bonnie lagi.
Keresahan yang Ketiga adalah terkait kesehatan. Di era kolonial kekurangan gizi marak terjadi karena pemberlakuan cultuurstelsel atau yang jamak dikenal sistem tanam paksa yang dikeluarkan Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pada 1830. Upah rendah atau malah terkadang tidak diberi upah berdampak daya beli demi kebutuhan dasar di kalangan bumiputera yang berujung pada kekurangan gizi.
“Jadi ini salah satunya asal-usul gaji minimum ya. Apa yang terjadi di abad ke-20 ternyata hari ini masih bisa kita temukan,” lanjutnya.
Baca juga: Penting Memahami Stunting
Kurangnya kecukupan gizi ini, tambah Bonnie, juga menjadikan masyarakat bertendensi pada stunting yang sejak tahun 2000 saja Indonesia masih menghadapi problem ini Ketidakmampuan dalam mencukupi gizi setiap anak, menjadikan tumbuh kembangnya terhambat. Tahun 2016-2022 angkanya meningkat. Saat ini prevalensinya sebesar 21,6 persen. Ini buruk karena stunting tidak hanya menyerang tinggi badan, namun juga kemampuan anak dalam belajar serta dalam menghadapi segala hal.
“Jadi akar stunting ini sudah ada juga sejak zaman kolonial dan pola-polanya masih kita warisi sampai saat ini,” ujar Bonnie.
Aspek Keempat, diskriminasi rasial. Berakar dari tahun 1817, di mana diskriminasi semakin terlembaga dengan rilisnya Peta Jawa milik Raffles yang berjudul Map of Java Chiefly from Surveys made during the British Administration Constructed in Illustration of an Account of Java by Thomas Stamford Raffles. Raffles menganggap orang Jawa sebagai orang yang mendalami sejarah, tetapi tertinggal dalam segi perkembangan ilmiah.
Baca juga: Rasisme Sejak dalam Pikiran
Penggambaran lain juga bisa ditemukan dalam sebuah buku harian perwira Belgia, Kapten Gustave Errembault de Dudzeele pada 1827 yang mendeskripsikan hierarki status seseorang di tanah Jawa, di mana orang Eropa berada di posisi paling atas, sementara bumiputera Jawa ada di tingkat kedua, dan paling bawah adalah “manusia setengah liar” dan para budak berkulit legam dari Afrika. Ditambah lagi dengan kemunculan produk hukum Regerings Reglement tahun 1854 oleh pemerintah kolonial yang mengotak-kotakkan golongan masyarakat dengan dibagi tiga golongan: golongan Eropa dan Indo-Eropa, golongan timur asing, dan golongan pribumi.
“Cara yang sangat segregatif secara rasial ini terus terwariskan. Ini juga diwariskan pada cara kita berpikir hari ini untuk membagi masyarakat, membagi secara liar berdasarkan identifikasi ras yang sifatnya rasialistis dan juga etnis,” sesal Bonnie.
Adapun aspek Kelima, menyinggung soal trauma terhadap paham kiri (sosialisme, komunisme, dll) dan kanan (golongan Islam). Trauma terhadap Islam, menurut Bonnie, bermula pada Residen Yogyakarta, Mayor Nahuys van Burgst pada 1816 yang memandang rendah kalangan santri di Jawa. Ia juga kerap melakoni tindakan represif terhadap para ulama yang kian gencar pasca-Perang Jawa 1825.
“Kata ‘santri’ menjadi hinaan saat itu karena perilaku kebencian Nahuys yang semakin mengeras. Terutama kepada mereka yang dicurigai memihak atau simpatisan Pangeran Diponegoro,” katanya.
Baca juga: Kontestasi Dua Narasi dalam Peristiwa 1965
Sedangkan trauma terhadap paham kiri makin mendalam pasca-peristiwa Gerakan 30 September (G30S) 1965. Bahwa kemudian dampaknya masyarakat saat ini tidak bisa punya kesempatan mempelajari gerakan-gerakan kiri secara luas, lengkap, karena terdistorsi narasi sejarah yang dihasilkan pasca-Peristiwa 1965 itu.
“Sehingga yang timbul dari pikiran kita adalah stigma dan label-label yang ditempelkan kepada mereka yang ditersangkakan dalam peristiwa itu sehinga memukul rata semua spektrum kiri sebagai sebuah konsep, pemikiran, gagasan, yang tidak pernah lagi kita bahas secara terbuka dan bahkan secara akademis,” terang Bonnie.
Keresahan yang Keenam, kekerasan yang selalu dijadikan resolusi. Kekerasan yang bahkan terinternalisasi di tengah-tengah masyarakat baik secara sadar atau tidak. Di era kolonial sempat hadir sebuah pasal dalam undang-undang tahun 1854 yang memberi kekuasaan absolut kepada gubernur jenderal hingga ia punya posisi di atas hukum yang berlaku tanpa bisa diganggu-gugat.
Baca juga: Bandul Stigma yang Berbahaya
Maka tak heran pemerintah kolonial melalui perintah gubernur jenderal bisa seenak perutnya mengasingkan tokoh-tokoh tertentu yang dianggap mengancam ketentraman dan ketertiban. Seringkali pula pemerintah kolonial melakukan tindak kekerasan dengan kekuatan militernya.
“Pola kekerasan ini terus berlangsung. Semisal ada lembaga-lembaga yang secara adat diakui berhak atau sah melakukan kekerasan karena memang mereka punya license untuk melakukan kekerasan. Contoh kalau ada jawara mukul, wajar karena dia jawara padahal itu melanggar hukum dan karena proses hukum yang tidak baik. Pun juga secara verbal. Contoh pelaku klitih di Yogyakarta yang ditangkap aparat bukannya dididik malah dipukuki dan netizen bersorak-sorai merayakan kekerasan yang berulang yang tanpa sadar melanggengkan siklus kekerasan itu. Jadi menyelesaikan kekerasan denagn kekerasan bukanlah sebuah jawaban,” urainya lagi.
Lantas yang Ketujuh, mitos buruh malas. Sejak era kolonial ada narasi yang diciptakan oleh penguasa bahwa semakin besar gaji buruh, makin malas mereka. Terutama buruh dari kalangan anak negeri. Mereka lebih sering digaji lebih murah dari buruh Tionghoa lantaran dianggap punya kebutuhan yang lebih rendah dari buruh Tionghoa.
“Ini narasi yang diciptakan oleh kolonialisme yang sedikit banyak memengaruhi cara berpikir kita sampai sekarang dan saya pikir, ini salah satu warisan kolonialisme yang kita langgengkan baik secara sengaja atau tidak,” katanya lagi.
Baca juga: Perbudakan di Bawah Koloni VOC
Adapun aspek Kedelapan, adanya stratifikasi sosial yang menyebabkan diskriminasi terhadap masyarakat kelas bawah. Hingga saat ini masih bercokol dalam cara berpikir, terutama soal pandangan yang cenderung minor terhadap etnis atau ras tertentu.
“Dan ini juga sedikit banyak dipengaruhi cara berpikir kolonialisme tadi. Pembagian kelas ini masih terus menjadi budaya secara implisit di masyarakat. Jabatan-jabatan tertinggi terus diisi oleh pihak yang kuat dan mempunyai hak istimewa sedari awal. Sehingga ada semacam legitimasi, warisan, dari narasi sejarah yang istana-sentris. Orang diberikan kekuasaan karena bibit, bebet, bobotnya jelas. Padahal di dalam sistem demokrasi yang lebih stabil, orang tidak dilihat dari latar belakang tapi apa komitmen yang dia kerjakan untuk publik. Apa yang bisa dia hadirkan untuk kebaikan publik tanpa mempermasalahkan siapa bapak, ibu, kakek, nenek, atau buyutnya,” jelas Bonnie.
Yang Kesembilan, patriarki dalam politik. Bonnie merujuk pada survei terbaru yang diluncurkan belum lama ini oleh Lembaga Survey Research and Consulting dan Parameter Politik. Bahwa dalam survei yang mereka lakukan terhadap sejumlah responden di seluruh Indonesia, memaparkan bahwa sekitar 72,2 persen menyatakan lebih setuju laki-laki yang menjadi pemimpin, sisanya baru setuju pemimpin perempuan.
“Tapi tentu saja pengecualian di Lebak ini punya bupati perempuan yang hebat dan bisa mewujudkan museum (Multatuli) dan festival ini. Dan ini juga terjadi, saya pikir, warisan dari cara berpikir kolonialisme yang sangat patriarkis. Karena dalam sistem feodalisme yang dipelihara oleh kolonialisme, sistem patriarki ini sangat kuat dan karena feodalisme berpelukan dengan patriakri dan dilanggengkan sampai hari ini,” imbuh Bonnie lagi.
Baca juga: Nyai dalam Kekuasaan Patriarki
Last but not least, aspek Kesepuluh, adalah sistem atau cara berpikir apartheid dalam pola pembangunan kota. Bonnie merujuk banyaknya kota-kota baru yang dibangun yang sudah menyediakan pemukiman elit beserta fasilitas sosial dan fasilitas umum bagi warganya. Namun semua fasilitas itu tentunya hanya bisa dinikmati warga pemukiman elit itu semata.
Padahal itu adalah hak dasar yang harusnya bisa disediakan negara kepada warganya. Di luar tembok komplek elit masih banyak penduduk yang masih hidup tanpa fasilitas soial dan umum yang baik dan memadai bagi kehidupan mereka agar lebih berkualitas.
“Itulah 10 aspek warisan kolonial yang masih terasa dampaknya sampai sekarang. Salah satu cara mengubah itu semua adalah dengan melakukan perubahan-perubahan yang serentak dengan kerja-kerja kolektif, kolaboratif, yang sekiranya bisa memutus benang merah warisan kolonialisme,” itu tandas Bonnie.
Baca juga: Menggugat Citra Kolonial
Tambahkan komentar
Belum ada komentar