Riwayat Erasmus Huis: Yang Tersisa dari Kolonialisme Belanda (1945-1960)
Interaksi antara masyarakat Nusantara dan orang-orang Belanda melahirkan kebudayaan yang jejaknya masih ada sampai hari ini.
Artikel ini merupakan artikel pertama dari tiga tulisan mengenai kerja sama kebudayaan antara Indonesia dan Belanda. Artikel ini ditulis oleh Bondan Kanumoyoso (Sejarawan dan Pengajar di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia), Christopher Reinhart (Sejarawan dan Konsultan Riset Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Teknologi Nanyang), dan Remco Vermeulen (Penasihat Kerja Sama Kebudayaan dengan Indonesia di DutchCulture).
“Merdeka hanya dalam nama”, demikianlah ungkapan perdana menteri pertama Indonesia, Sutan Sjahrir, dalam pamflet Perjuangan Kita tahun 1946. Sjahrir menggambarkan bagaimana sebuah negara yang baru merdeka pasti tidak akan mampu melepaskan diri dari pengaruh asing. Ramalan ini pun menjadi kenyataan. Belanda tidak menerima deklarasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 dan ingin mendapatkan kembali kekuasaan di bekas jajahannya, Hindia Belanda. Pada tahun yang sama dengan terbitnya pamflet Sjahrir, Sierk Schröder, seorang pelukis terkenal, ditugaskan oleh pemerintah Belanda untuk membuat potret Ratu Belanda, Wilhelmina. Potret ini akan digantung di Istana Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia (sekarang Jakarta). Sebuah amanat yang luar biasa dan amat menarik karena dilakukan di tengah Perang Kemerdekaan Indonesia. Setelah empat tahun peperangan, upaya penyelesaian diplomatik, dan tekanan asing yang meningkat, Belanda terpaksa mengakui kemerdekaan Indonesia pada tahun 1949. Namun, ini tidak berarti pengaruh Belanda di Indonesia telah berakhir.
Berbagai struktur kolonial, baik politik, ekonomi, maupun budaya, terus ada selama bertahun-tahun berikutnya. Beberapa merupakan bagian integral dari masyarakat Indonesia, sementara yang lain didikte dalam perjanjian bilateral baru antara kedua negara. Konferensi Meja Bundar tahun 1949 menetapkan pembentukan Uni Indonesia-Belanda, sebuah konfederasi yang dipimpin oleh Ratu Juliana dari Belanda (Ratu Wilhelmina, sang ibu, telah turun takhta setahun sebelumnya). Artinya, kepala negara Belanda secara tidak langsung akan tetap menjadi kepala negara Indonesia. Selain itu, Indonesia harus menerima hadirnya kegiatan bisnis Belanda di wilayahnya, seperti perkebunan, perkapalan, dan industri. Papua (atau dalam sebutan Belanda, Nugini Barat), yang kaya akan sumber daya alam, sebenarnya tetap berada di bawah kendali langsung Belanda. Di samping itu, klausa perjanjian budaya antara kedua negara ditambahkan dalam hasil konferensi untuk mempromosikan pertukaran budaya di bidang radio, film, pers, perpustakaan, distribusi literatur, pendidikan, dan pergelaran seni; bahkan mencakup kemungkinan untuk “mendirikan dan memelihara lembaga pendidikan, seni, dan budaya lainnya di wilayah satu sama lain”. Tak pelak, ketegangan setelah kemerdekaan Indonesia pun mulai meningkat—dan itu menggariskan nasib dari lukisan potret Wilhelmina yang disebut di atas. Beberapa struktur kolonial sengaja dibongkar, sementara yang lain bertahan hingga hari ini. Artikel ini memberikan ikhtisar tentang beberapa struktur kolonial tersebut: bahasa, infrastruktur dan arsitektur, peraturan dan undang-undang, serta macam-macam bisnis.
Peralihan Kebahasaan
(Orang-orang Indo-Eurasia direpatriasi dari Indonesia ke Belanda, 20 Mei 1958 │ Sumber: Wikimedia)
Setelah kemerdekaan, bahasa resmi Indonesia adalah bahasa Indonesia. Bahasa ini terutama didasarkan pada lingua franca yang telah ada di kepulauan itu, yaitu bahasa Melayu pasar. Namun, ini juga merangkul pengaruh dari Arab, Portugis, dan Belanda. Contoh kata bahasa Indonesia yang berakar dari bahasa Belanda adalah “apotek” dari kata Belanda “apotheek”, “pabrik” dari “fabriek”, “arloji” dari “horloge”, dan “insinyur” dari “ingenieur”. Awalnya, bahasa Belanda masih digunakan di antara dua kelompok dalam masyarakat Indonesia. Para elite, termasuk pejabat pemerintah dan golongan nasionalis, yang sebagian besar dididik selama masa kolonial, fasih berbahasa Belanda. Kelompok kedua terdiri dari warga negara Belanda dan Indo-Belanda yang memilih tinggal di Indonesia setelah penyerahan kedaulatan. Selama tahun 1950-an penggunaan bahasa Belanda terus menurun. Bahasa Belanda tidak lagi digunakan secara aktif di kalangan elite Indonesia, dan pada periode yang sama sebagian besar warga Belanda dan Indo-Belanda bermigrasi ke Negeri Belanda karena posisi mereka di Indonesia menjadi semakin sulit. Pada akhir tahun 1950-an, sebagian besar warga Belanda dan Indo-Belanda telah meninggalkan Indonesia.
Infrastruktur dan Arsitektur
(Lukisan Balai Kota Batavia “Stadhuis van Batavia”, 1682│Sumber: Wikipedia)
Di seluruh Kepulauan Indonesia, Belanda telah meninggalkan jejaknya di perkotaan dan pedesaan, dalam bentuk gedung-gedung pemerintahan, rumah, kantor, bangunan keagamaan, perkebunan, kawasan industri, pelabuhan, kanal, jalan raya, dan rel kereta api. Banyak dari bangunan ini dirancang khusus untuk mewakili otoritas kolonial, menggambarkan kemakmuran atau keunggulan, dengan klasisisme dan neoklasikisme sebagai gaya arsitektur yang marak dijumapi. Namun, secara bertahap, bangunan-bangunan itu disesuaikan dengan iklim tropis Hindia Belanda, ia dilengkapi dengan serambi dan beranda, langit-langit yang tinggi, dan bukaan ventilasi. Gaya bangunan baru yang disebut gaya “Hindia Baru” memadukan unsur Barat dan Indonesia dan secara khusus digunakan pada awal abad ke-20. Setelah kemerdekaan, gedung-gedung pemerintahan Belanda diambil alih oleh Negara Indonesia dan properti pribadi dijual atau diambil alih. Menariknya, sebagian besar bangunan ini, yang telah menjadi simbol negara kolonial, malah digunakan kembali sebagai kementerian, kantor, atau museum Indonesia alih-alih dihancurkan.
Salah satu contohnya adalah Istana Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Jakarta. Penandatanganan hasil Konferensi Meja Bundar pada tahun 1949 terjadi serentak di istana ini dan di Istana Kerajaan di Lapangan Dam di Amsterdam, Belanda. Setelah penyerahan kedaulatan, istana di Jakarta diubah namanya menjadi Istana Merdeka dan menjadi istana presiden Indonesia: Sukarno, presiden pertama republik, pindah ke sini setelah upacara penandatanganan. Saat menyambutnya di sana, Menteri Dalam Negeri Indonesia, Ide Anak Agung Gde Agung, menekankan arti penting bangunan tersebut sebagai pusat kekuasaan. Ia menyatakan, kedatangan presiden di istana melambangkan bahwa era lama (kolonial) telah berlalu, dan era baru (kemerdekaan Indonesia) telah dimulai.
Peraturan dan Undang-undang
(Staatsblad van Nederlandsch-Indië, Lembaran Negara Hindia Belanda yang jadi dasar dari perundang-undangan Indonesia │Sumber: Delpher)
Meskipun Indonesia memiliki konstitusi sendiri yang segera berlaku beberapa hari setelah proklamasi, sebagian besar undang-undang dan peraturan pendukung masih harus disusun dan diundangkan. Pada tahun-tahun pertama kemerdekaan Indonesia, pemerintah lebih menitikberatkan pada upaya memperoleh kedaulatan dan pengakuan dari dunia internasional. Mereka juga harus mengatasi berbagai pergolakan di dalam negeri yang menantang otoritas mereka. Oleh karena itu, banyak peraturan dan perundang-undangan Belanda tetap berlaku, di antaranya adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana, UU Perdata, UU Perdagangan dan UU Monumen (Cagar Budaya). Undang-undang ini semuanya ditulis dalam bahasa Belanda. Berdasarkan inventarisasi yang dilakukan Badan Pembinaan Hukum Nasional pada tahun 2011, terdapat sekitar 380 peraturan yang dikeluarkan sebelum tahun 1942 dan masih berlaku di Indonesia. Memang, ada beberapa peraturan dari masa kolonial yang diubah, namun dalam praktiknya sebagian besar peraturan dari pemerintah kolonial masih berlaku di Indonesia.
Bisnis seperti Biasa?
(J.H. van Maarseveen, Sultan Hamid II, dan Hatta menandatangani hasil Konferensi Meja Bundar, 2 November 1949│Sumber: Wikimedia)
Konferensi Meja Bundar 1949 mencantumkan jaminan bahwa kehadiran investasi asing (terutama Belanda) akan dihormati oleh pemerintah Indonesia. Artinya, perusahaan-perusahaan swasta Belanda tetap menguasai sektor-sektor ekonomi utama di Indonesia. Dengan kata lain, tidak ada yang berubah: seperti pada masa kolonial, perusahaan Belanda mengekspor bahan mentah dan produk Indonesia dengan keuntungan sebesar-besarnya yang tidak menguntungkan ekonomi lokal atau taraf hidup masyarakat. Pemerintah Indonesia menyadari bahwa selama perusahaan-perusahaan tersebut ada, Indonesia tidak akan memperoleh kedaulatan penuh. Sementara itu, ekonom Indonesia seperti Mohammad Hatta, Syafruddin Prawiranegara, dan Soemitro Djojohadikusumo menegaskan bahwa Indonesia tidak memiliki kapasitas untuk mengelola bisnis-bisnis besar. Pemerintah kolonial Belanda tidak pernah berinvestasi dalam pendidikan atau pelatihan administrasi bisnis. Dengan demikian, para ekonom ini menyimpulkan bahwa negara secara realistis tidak punya banyak pilihan selain mentolerir kehadiran perusahaan asing. Pemerintah Indonesia menganggap situasi ini sebagai sisa dari sistem kolonialisme dan perusahaan-perusahaan itu semakin tidak diinginkan sepanjang tahun 1950-an. Pada bulan Desember 1957, sentimen publik meledak dalam bentuk pemogokan besar-besaran oleh para pekerja di perusahaan-perusahaan Belanda. Pemerintah Indonesia menggunakan ini untuk meluncurkan kampanye nasionalisasi. Ironisnya, hal ini diatur secara hukum melalui “Onteigeningsordonantie” (Peraturan Perampasan Hak Milik) kolonial tahun 1920. Peraturan ini memungkinkan pemerintah untuk mengambil alih perusahaan-perusahaan Belanda yang menguasai hajat hidup orang banyak, seperti perusahaan listrik, perusahaan kereta api, dan perusahaan telegram, pos, dan komunikasi.
Ketegangan Hubungan
Hubungan bilateral antara Indonesia dan Belanda pun memburuk dengan cepat. Pada tahun 1956, Uni Indonesia-Belanda dibubarkan: Ratu Juliana tidak lagi menjadi kepala negara Indonesia. Ketegangan terkait kehadiran Belanda di Papua juga mencapai titik didihnya. Hal ini diilustrasikan dengan sangat baik oleh nasib dua lukisan potret milik Belanda: potret Ratu Wilhelmina karya Sierk Schröder (1947) dan potret Ratu Juliana karya Henricus Pol (1951). Kedua lukisan itu tergantung di Kantor Komisariat Tinggi Belanda di Jakarta. Komisariat Tinggi adalah wakil diplomatik tertinggi Belanda di Indonesia setelah penyerahan kedaulatan pada tahun 1949. Ia berkantor di gedung kolonial milik Belanda di Medan Merdeka Timur (dahulu Koningsplein Oost) no. 3.*
(Kiri: Sierk Schröder, Potret Ratu Wilhelmina, 1947 [Koleksi Rijksmuseum]; kanan: Henricus Rol, Potret Ratu Juliana, 1951 [Koleksi Rijksmuseum])
Pada awal tahun 1960, Belanda memperkuat pendirian terhadap harta terakhirnya di Kepulauan Indonesia, Papua. Ini adalah tindakan yang tidak diterima dengan baik oleh Indonesia. Pada tanggal 6 Mei, terjadi demonstrasi oleh mahasiswa Indonesia di depan Kantor Komisariat Tinggi Belanda. Demonstrasi ini berakhir dengan penyerbuan kompleks itu oleh sekitar 800 orang, di mana perabot dan peralatan kantor dihancurkan, serta potret kenegaraan Ratu Wilhelmina dan Ratu Juliana dirobek dan mengalami rusak berat. Kedua lukisan itu dirobek dengan pisau: potret Wilhelmina menerima robekan vertikal di wajah, dan potret Juliana mendapat sayatan mendatar besar di dada. Menariknya, kejadian ini sama sekali tidak disebutkan di surat kabar Indonesia pada masa itu.
Belanda Angkat Kaki
Beberapa bulan kemudian, pada hari kemerdekaan Indonesia 17 Agustus, Sukarno mengumumkan akan memutuskan semua hubungan diplomatik dengan Belanda. Komisaris Tinggi kedua negara ditarik kembali dan kantor ditutup. Lukisan yang rusak dikirim kembali ke Belanda, di mana akhirnya menjadi bagian dari koleksi Rijksmuseum. Kerusakan kedua lukisan tersebut sengaja dibiarkan seperti apa adanya, hanya dikonservasi untuk mencegah kerusakan lebih lanjut: keduanya melambangkan babak penting dalam sejarah bersama Indonesia-Belanda. Potret Ratu Juliana saat ini disimpan di ruang penyimpanan Rijksmuseum. Namun, potret Ratu Wilhelmina adalah bagian dari Kanon Belanda, yang merupakan ringkasan kronologis sejarah Belanda untuk sekolah dasar dan menengah, terdiri dari lima puluh topik utama yang diperbarui secara berkala. Oleh karena itu, lukisan tersebut dipajang di Netherlands Open Air Museum di Arnhem, dengan keterangan yang menyertainya berbunyi “Belanda hengkang kaki dari Indonesia!”.
Kerusakan kedua lukisan tersebut sengaja dibiarkan seperti apa adanya, hanya dikonservasi untuk mencegah kerusakan lebih lanjut: keduanya melambangkan babak penting dalam sejarah bersama Indonesia-Belanda.
Selama 15 tahun pertama kemerdekaan Indonesia, republik muda ini berusaha dengan tekanan yang semakin besar untuk melepaskan pengaruh kolonial yang tetap ada bahkan setelah penyerahan kedaulatan. Negara itu akhirnya memperoleh kedaulatan penuh, secara ekonomi dan geografis, pada tahun 1960. Hal ini mengakibatkan pemutusan total hubungan diplomatik dengan Belanda. Namun, warisan budaya yang ditinggalkan Belanda di Indonesia tetap ada. Jejak budaya bekas penjajah, baik gedung, jalan, hukum, maupun bahasa masih menjadi bagian dari identitas negara muda Indonesia. Artikel ini bahkan tidak memasukkan kisah dari ribuan keluarga campuran Indo-Belanda (Indisch) yang tinggal di Indonesia dan Belanda. Dapat dikatakan bahwa karena hubungan budaya ini, kedua negara akan segera bertemu lagi: bahkan mungkin lebih cepat dari yang diperkirakan. Artikel selanjutnya akan membahas perubahan seratus delapan puluh derajat yang terjadi pada hubungan budaya dan diplomatik Belanda-Indonesia.
* Potret Ratu Wilhelmina dipesan oleh pemerintah Belanda kepada pelukis terkenal Schröder pada tahun 1946. Menurut surat kabar De Maasbode (25 November 1946, hlm. 4), pelukis membuat lukisan itu dengan ukuran monumental, dua kali tiga meter, di sebuah ruangan di Istana Kerajaan Amsterdam. Sebenarnya, penugasan melukis potret ratu yang sedang berkuasa (Wilhelmina turun tahta pada September 1948), dengan tiara berlian di kepalanya, mengenakan jubah cerpelai putih panjang dan memegang kipas bulu burung unta putih, untuk istana para Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia (saat ini Istana Merdeka, kediaman resmi Presiden Indonesia di Jakarta) saat Perang Kemerdekaan Indonesia masih berkecamuk adalah hal yang cukup mengherankan. Surat kabar Belanda De Waarheid mencemooh ini dengan satir pada tanggal 26 November 1946 dengan menulis bahwa “perjanjian Lingga(r)jati (…) belum ditandatangani (…) sedangkan potret besar Ratu berukuran dua kali tiga meter telah dipesan untuk istana di Batavia. (…) Sungguh bijaksana! Tampaknya, ini tak bisa menunggu”. Baru-baru ini, kurator Rijksmuseum Harm Stevens menyatakan bahwa meskipun pembuatan potret ini adalah “manifestasi dari pemulihan kekuasaan yang diimpikan di Hindia, pemindahan lukisan itu ke Kantor Komisaris Tinggi beberapa blok jauhnya empat tahun kemudian ternyata merupakan ekspresi dari ilusi klaim Belanda atas kekuasaan itu”. Potret Ratu Juliana dipesan oleh pemerintah Belanda kepada pelukis Henricus Pol untuk Kantor Komisariat Tinggi di Jakarta, tidak lama setelah penyerahan kedaulatan. Lukisan itu, berukuran satu kali dua meter sedikit lebih kecil dari milik Ratu Wilhelmina tetapi tidak kalah mengesankan dari lukisan ibunya, memperlihatkan sang ratu dalam jubah penobatannya di atas gaun biru tua.
Artikel ini juga ditayangkan di website DutchCulture dalam bahasa Inggris. Berikut ini adalah tautannya.
The story of the Erasmus Huis #1: 1945-1960
The story of the Erasmus Huis #2: 1960-1971
The story of the Erasmus Huis #3: 1970-present
Tambahkan komentar
Belum ada komentar