Sekelumit Kisah Mahathir Mohamad
Menjajakan kopi dan pisang goreng di masa perang, Mahathir Mohamad bermanuver di panggung politik hingga disegani di Negeri Jiran.
PERDANA Menteri Malaysia Mahathir Mohamad melepaskan jabatannya pada Senin, 24 Februari 2020. Koalisi Pakatan Harapan yang ia bentuk bersama Anwar Ibrahim pada 2018 pun turut bubar. “Dr. M”, julukan Mahathir, juga mundur dari kursi tertinggi Parti Pribumi Bersatu Malaysia (PPBM), kendaraan politik yang didirikannya pada 2016.
Mahathir memang bukan termasuk jajaran “Bapak Pendiri Bangsa” negeri jiran. Namun 22 tahun pemerintahannya begitu sarat kontroversi, membuatnya dikenang bak “Macan dari Negeri Jiran”.
Didikan Keras Zaman Sulit
Keras dan kontroversial. Dua karakter itu melekat pada sosoknya sepanjang 22 tahun memimpin Malaysia. Dua karakter itu jelas buah dari pertautan sifat pribadinya dan pendidikan serta lingkungan tempat masa kecilnya bertumbuh.
Dalam memoarnya, A Doctor in the House, ia mengisahkan garis keluarganya. Ia lahir pada 10 Juli 1925 dari pasangan Mohamad Iskandar asal Penang dan Wan Tempawan yang masih kerabat dengan Kesultanan Kedah. Mahathir lahir sebagai anak kesembilan dari 10 bersaudara di rumah sederhana di perkampungan Seberang Perak, Alor Setar yang merupakan ibukota Kesultanan Kedah.
Baca juga: Sepucuk Surat PM Malaysia untuk PSSI
Meski bukan bangsawan, Iskandar punya kedudukan lumayan tinggi. Kesultanan Kedah mendatangkannya khusus dari Penang Free School pada 1908 untuk mengepalai sekolah menengah (SMP, red.) berbahasa Inggris pertama di Kedah, Government English School (kini Kolej Sultan Abdul Hamid). Sekolah itu merupakan sekolah khusus kaum elit dan aristokrat Kedah.
Namun besarnya keluarga membuat biaya kebutuhan dasar yang harus dipenuhi Iskandar besar pula. Akibatnya Mahathir dan saudara-saudaranya hanya bisa memulai pendidikan dasar di sekolah rakyat. “Orangtua saya tak mampu belikan sepatu, oleh karenanya saya bersekolah tanpa sepatu. Selepas sekolah selalu berlanjut belajar mengaji Al-Quran,” kata Mahathir di memoarnya.
Selepas mengaji pun Mahathir dan saudara-saudaranya harus langsung pulang karena sang ayah sudah menunggu mereka untuk mengajarkan bahasa Inggris pada petang. Pasalnya, anak-anak Iskandar tak mendapat pelajaran bahasa Inggris di sekolah. Harapan Iskandar, agar mereka bisa masuk GES yang ia dirikan lewat jalur selektif, semacam beasiswa.
Namun dari beberapa anak Iskandar, hanya Mahathir yang bisa lulus. Saudari-saudari Mahathir pun tak diterima GES yang saat itu baru membuka asrama putri.
“Dia (ayah) sangat kesal karena dia sendiri jadi pejabat pemerintah dan dia diundang ke Kedah untuk membangun sebuah sekolah. Akan tetapi sekolah putri yang dihadirkan kemudian di sekolah itu, menolak menerima saudari saya,” sambung Mahathir.
Baca juga: Korban Kecurangan Negeri Jiran
Meski berjasa ikut membangun sekolah itu, Iskandar dianggap sekadar bawahan dan pegawai pemerintah non-bangsawan. Ibunda Mahathir walau punya gelar “Wan”, hubungan kekerabatannya dengan kesultanan terbentang jauh. Keluarga Iskandar pun dianggap keluarga biasa dari kalangan “proletar”, sebagaimana yang diingat Tunku Abdul Rahman, pangeran Kedah yang menjadi perdana menteri pertama Malaysia.
“Dia (Mahathir) bukan siapa-siapa. Ayahnya hanya pegawai bawahan biasa di Kedah. Saya tidak bergaul dengan ayahnya. Kami punya perkumpulan di Kedah, seperti perkumpulan pegawai dan perkumpulan anggota kerajaan dan lain-lain. Mereka punya perkumpulan pegawai bawahan sendiri,” ujar Tunku Abdul Rahman, dikutip Barry Wain dalam salah satu biografi Mahathir, Malaysian Maverick: Mahathir Mohamad in Turbulent Times.
Biografi yang dituliskan jurnalis politik asal Australia itu juga menyebutkan latarbelakang keluarga Mahathir yang sensitif dan tak diungkap di memoar Mahathir. “Mohamad Iskandar adalah ‘Melayu Penang’, atau lebih tepatnya Jawi Peranakan, yang artinya orang lokal yang terlahir muslim dengan darah India. Iskandar, ayah Mohamad, adalah imigran dari selatan India yang merantau ke British Malaya dan menikahi orang Melayu,” tulis Wain.
Latarbelakang leluhurnya itu tak pernah Iskandar kisahkan secara terang-benderang kepada keluarganya, termasuk Mahathir. Sebaliknya, Mahathir juga tak pernah bertemu kakek dari garis ayahnya lantaran Iskandar sudah wafat sebelum Mahathir lahir.
“Mohamad Iskandar tak mengenal saudaranya dari India, juga tak bicara bahasa India. Walau beberapa anggota keluarga berspekulasi bahwa Iskandar berasal dari Kerala, Mahathir sendiri justru tak yakin kakeknya merupakan imigran, karena tak ada catatan tertulis tentang sosoknya dan ayahnya (Mohamad Iskandar) tak pernah menyebut tentangnya. Mahathir juga tak pernah membicarakan tentang keluarganya secara terbuka ke publik,” sambung Wain.
Kedai Kopi hingga Panggung Politik
Usia Mahathir baru sekira 16 tahun ketika Jepang mendepak Inggris dan menggantikan kolonialis lama itu menduduki Semenanjung Malaya. Seperti kebanyakan pemuda Melayu, hidup Mahathir mesti berbelok tajam dari mimpi awalnya akibat pendudukan Jepang.
“Saya tak pernah menyangka Jepang akan menginvasi Malaya, namun runtuhnya Prancis di Eropa membuat Jepang bisa menempatkan pasukan di Indocina Prancis. Inggris yang khawatir, memperkuat Alor Setar dengan pasukan East Surrey Regimental dan juga pasukan Gurkha,” kata Mahathir dalam memoarnya. Sementara, pemerintahan Kesultanan Kedah menerapkan kebijakan ARP (Air Raid Precautions).
Baca juga: Neraka Pasukan Gurkha
Mahathir di barisan pelajar turut serta masuk Auxiliary Fire Service. Ia dilatih mengatasi kebakaran untuk antisipasi pemadaman api jika terjadi pemboman oleh Jepang. Namun ketika Jepang masuk Malaya via Kelantan pada 8 Desember 1941, pasukan Inggris malah mundur.
“Dengan invasi Jepang, roda pemerintahan (kesultanan) Kedah berhenti berputar dan semua saudara serta saudara ipar saya yang bekerja di pemerintahan tiba-tiba harus menganggur. Para pedagang Cina melarikan diri dan kemudian penjarahan marak terjadi,” sambungnya.
Banyak kawan Mahathir kemudian bergabung ke Heiho atau barisan tentara pembantu Jepang. Beberapa milisi, sebagaimana di Indonesia, pun bertumbuhan. Antara lain Kesatuan Melayu Muda (KMM). Seingat Mahathir, ia pernah mendengar kabar bahwa Sukarno yang kelak jadi presiden pertama Indonesia sempat melawat ke Malaya bertemu para petinggi KMM guna membicarakan rencana mendirikan Indonesia Raya sebagai bentuk kolaborasi KMM dengan Heiho Malaya serta Heiho Indonesia.
“Namun mayoritas rakyat Malaya tak mendukung pergerakan itu dan malah menginginkan Sekutu menang perang terhadap Axis (Jerman-Italia-Jepang). Saya sendiri sudah sibuk terbelit kemiskinan. Dengan modal seadanya saya dan saudara-saudara saya memilih berjualan pisang di jalanan Pekan Melayu,” lanjut Mahathir.
Di jalan itu pula Mahathir bertemu lagi dengan kawan-kawan sekolahnya. Mereka lantas mengajak Mahathir buka usaha bareng. Tak pikir dua kali, Mahathir berkenan, mengingat usahanya menjajakan pisang dengan menggelar lapak di jalanan tak menguntungkan dan butuh upaya lain untuk membantu mencari nafkah keluarga.
Bersama dua kawannya, Mahathir pun membuka kedai kopi di Pasar Pekan Rabu, semacam Pasar Rebo di Jakarta yang hanya buka di hari Rabu. Selain menjajakan kopi, mereka juga menjajakan pisang goreng sebagai teman ‘ngopi’ para pelanggan dan minuman cendol sebagai menu lainnya. Usaha itu berjalan hingga Perang Dunia II usai.
Baca juga: Jepang dari Isolasi hingga Industri
Nasib Mahathir berbalik 180 derajat usai Perang Dunia II. Setahun usai perang, ia menyelesaikan pendidikan di sekolah menengah untuk kemudian melanjutkan studi medis lewat beasiswa ke King Edward VII College of Medicine (kini Yong Loo Lin School of Medicine) di Singapura.
Di masa kuliah itulah Mahathir mulai terjun ke politik. Ia jadi aktivis anti-pendatang dengan ikut berunjuk rasa terhadap pemerintahan Malayan Union yang memberi kewarganegaraan kepada orang-orang non-Melayu. Ia mulai bergabung dengan UMNO. Pada pemilu pertama di Malaysia, 1959, ia sudah menduduki kursi ketua UMNO cabang Kedah.
Mahathir baru bisa masuk lingkaran pemerintahan pada 1973 setelah ditunjuk sebagai anggota senat di Dewan Negara oleh Perdana Menteri Abdul Razak Hussein. Setahun kemudian, ia menjabat sebagai menteri pendidikan; wakil perdana menteri pada 1976 merangkap menteri perdagangan dan industri, serta menteri pertahanan.
Menyusul mundurnya Perdana Menteri Hussein Onn dengan alasan kesehatan, nama Mahathir diajukan Tengku Razaleigh dan Ghazali Shafie sebagai suksesor. Pasalnya, di antara dua kandidat UMNO, Mahathir dan Ghafar Baba, yang fasih bahasa Inggris dan punya pendidikan lebih tinggi adalah Mahathir.
Baca juga: Habibie Kecil dan Soeharto Muda
Per 16 Juli 1981, Mahathir resmi memegang jabatan perdana menteri. Indonesia jadi negara pertama yang dikunjunginya karena kekagumannya terhadap program-program pembangunan Pemerintahan Soeharto.
“Saya selalu mengikuti perkembangan berbagai kebijakan yang dijalankan pemerintahan beliau. Maka kunjungan luar negeri saya yang pertamakali setelah saya dilantik (perdana menteri) menggantikan Datuk Hussein Onn pada 1981 adalah kepada Presiden Soeharto,” tutur Mahathir yang dikutip Mahpudi dkk dalam Pak Harto: The Untold Stories.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar