top of page

Sejarah Indonesia

Habibie Kecil Dan Soeharto Muda

Habibie Kecil dan Soeharto Muda

Dua pertemuan BJ Habibie dan Soeharto yang berkesan. Membuka jalan kerjasama untuk pembangunan.

13 September 2019

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

BJ Habibie (tengah) saat kediaman ibunya di Bandung dikunjungi Presiden Soeharto (Foto: Koleksi Keluarga Habibie/Antara)

BACHARUDDIN Jusuf Habibie tak dibiarkan menunggu terlampau lama di ruang tamu kediaman Soeharto, Jalan Cendana. Hanya berselang beberapa menit setelah tiba pada pukul 7 malam, 28 Januari 1974 itu, ia bersua (kembali) dengan sosok Bapak Pembangunan itu.


Itu pertemuan ketiga dan paling dinanti. Pada Agustus 1973, saat masih di berkarier di Jerman, Habibie diminta pulang Soeharto lewat kakak iparnya, Brigjen Subono Mantofani. Namun baru di akhir Januari itulah ia bisa bertatap muka lagi dengan Soeharto. Ketika bersua, salam dan sikap hormat Habibie disambut jabat tangan hangat sang presiden.


“Habibie saya tahu dan mengenal kamu, sekarang kamu harus membantu saya menyukseskan pembangunan. Yang penting bagi saya adalah teknologi. Coba kamu cari jalan,” kata Soeharto pada Habibie.


“Pak Harto, saya hanya bisa membuat kapal terbang. Mengapa saya akan diberi tugas begini?”


“Kamu bisa membuat kapal terbang, berarti bisa membuat yang lain-lain.”


Percakapan itu terekam dalam biografi Habibie karya wartawati senior Toeti Adhitama (Almh.), Dari Parepare Lewat Aachen. Percakapan itu lantas berbuah tanggung jawab Habibie membangun industri penerbangan nasional lewat Industri Pesawat Terbang Nusantara/IPTN (kini PT Dirgantara Indonesia/PT DI).


Soeharto mengakui, ia sudah mengenal Habibie jauh sebelum sang teknokrat muda itu berkiprah di industri berat Jerman hingga dijuluki “Mr Crack”. Mereka sudah pernah bersua di Ujungpandang (kini Makassar) 24 tahun sebelumnya.


Si Bocah dan Overste di Seberang Jalan


Makassardalam titimangsa pemberontakan Andi Azis pada 1950, Habibie dan keluarganya hijrah dari Parepare ke Makassar sejak dua tahun sebelumnya. Mereka hijrah agar tetap dekat dengan Alwi Abdul Djalil Habibie, ayah Habibie, yang bekerja sebagai landbouwconsulent (kini setara kepala dinas pertanian) wilayah Indonesia Timur.


Di sana, Habibie tinggal di Jalan Klapperland (kini Maricaya). Di seberang jalan, terdapat asrama Brigade Mataram dari Tentara Teritorium (TT) IV/Diponegoro. Overste (komandan setara letnan kolonel) Soeharto mengomandani pasukan asal Yogyakarta itu yang didatangkan untuk menumpas pemberontakan Andi Azis. Saat itu usia Soeharto belum sampai kepala tiga, sementara Habibie masih 14 tahun.


“Di tengah suasana penumpasan pemberontakan itu, kami berkenalan dengan keluarga Habibie yang tinggal di seberang jalan, di depan Brigade Mataram. Patut saya kenang, di rumah Habibie itu terdapat suasana yang membuat anggota staf kami kerasan. Ibu Habibie (RA Tuti Marini Puspowardojo, red.) yang berasal dari Yogya masih fasih berbahasa Jawa. Merupakan hiburan tersendiri bagi kami yang jauh dari keluarga,” kata Soeharto dalam otobiografinya yang ditulis G. Dwipayana dan Ramadhan KH, Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya.


BJ Habibie (duduk kiri) saat dikunjungi ibundanya RA Tuti Marini didampingi kakak iparnya Brigjen Subono Mantofani (Foto: Repro "The True Life of Habibie")
BJ Habibie (duduk kiri) saat dikunjungi ibundanya RA Tuti Marini didampingi kakak iparnya Brigjen Subono Mantofani (Foto: Repro "The True Life of Habibie")

Keakraban antara pasukan Soeharto dan keluarga Habibie kian erat setelah Kapten Mantofani, salah satu anak buah Soeharto, jatuh hati pada kakak sulung Habibie Titi Sri Sulaksmi. Keduanya akhirnya menikah di tahun itu juga.


Namun, sukacita keakraban itu harus terusik oleh dukacita. Pada 3 September 1950 malam, ayah Habibie meninggal karena serangan jantung dalam keadaan bersujud saat solat Isya. Melihat ayahnya tak bergerak saat sujud, Sri Sulaksmi panik dan belari ke asrama brigade.


“Anak tertua pada keluarga Habibie itu menangis ke asrama meminta pertolongan dokter brigade, Dokter (Tek.) Irsan. Tapi sayang Alwi Abdul Jalil Habibie tak tertolong lagi, ia meninggal. Overste Soeharto sendiri mengatup kelopak mata Alwi Abdul Jalil Habibie. Nyonya Tuti Marini seperti baru tersadar dari mimpi buruk, menjerit memanggil nama suaminya,” tutur Andi Makmur Makka, salah satu sahabat Habibie, dalam The True Life of Habibie.


Mewakili Brigade Mataram, Soeharto turut menabahkan hati Habibie seraya mendoakan dan membantu pemakaman Alwi Abdul Jalil Habibie. Kenangan itu selalu diingat Soeharto.


Sang Jenderal dan Insinyur Muda


Satu dasawarsa kemudian, Habibie dan Soeharto “berjodoh” lagi. Kali ini di Eropa. Saat itu Brigjen –dalam biografi Habibie disebut mayor jenderal– Soeharto selaku atase militer di Kedutaan Indonesia untuk Jerman Barat ikut mendampingi KSAD Jenderal AH Nasution selama kunjungannya ke Bonn, 1961. Di sela mendampingi Nasution itulah Soeharto ditemui Habibie.


“Pertemuan saya sebagai insinyur muda dengan Pak Harto, menanamkan kesan yang sangat mendalam di dalam otak dan sanubari saya. Rupanya Pak Harto pun mengingat pertemuan itu. Saya menjelaskan peranan insinyur dalam proses pembangunan melalui karya-karya nyata,” ungkap Habibie.


Habibie merasa penjelasannya itu mendapat respons positif hingga membuatnya lekas ingin pulang. Namun, pesan Soeharto agar Habibie lebih memperdalam ilmunya di Jerman seraya menunggu kondusifnya kondisi tanah air pasca-G30S membuat keinginan untuk pulang itu tertahan.


Jenazah BJ Habibie saat tiba di Taman Makam Pahlawan Kalibata. (Foto:Fernando Randy/Historia)
Jenazah BJ Habibie saat tiba di Taman Makam Pahlawan Kalibata. (Foto:Fernando Randy/Historia)

Baru pada Agustus 1973 Habibie diminta pulang Soeharto. “Bulan Agustus 1973 saya mendapat telefon dari ipar saya, Subono Mantofani, agar siap-siap pulang dan karena itu jangan membuat kontrak-kontrak kerja baru. Dari Desember 1973, Pak Ibnu Sutowo (Dirut Pertamina) memanggil saya dari Hamburg untuk bertemu di Hotel Hilton, Düsseldorf, untuk menyampaikan panggilan pulang Pak Harto,” tandas Habibie.





Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Dari pelatih sepakbola Timnas Indonesia Toni Pogacnik hingga pembalap Hengky Iriawan. Sejumlah pahlawan olahraga yang mewarnai sejarah Indonesia dimakamkan di TPU Petamburan.
Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Cerita di balik potret bocah-bocah yang menangis histeris saat terjadi serangan napalm di Perang Vietnam. Kini atribusi fotonya jadi polemik.
bottom of page