Proklamasi Versi Sumatera
Pembacaan naskah Proklamasi di Bukittinggi dengan tambahan naskah sebagai bentuk dukungan dari Sumatera.
KAUM Republiken di Padang, dimotori kaum muda dan laskar yang tergabung dalam Balai Penerangan Pemuda Indonesia (BPPI) serta Komite Nasional Indonesia (KNI) mendesak seorang pendidik terkemuka, Moehammad Sjafe’i, untuk membacakan naskah Proklamasi yang dibacakan Sukarno pada 17 Agustus 1945.
Menariknya, Sjafe’i, pendiri dan kepala sekolah Indonesisch Nederlansche School (INS) Kayu Tanam itu, tidak hanya membacakan naskah Proklamasi namun memberi tambahan naskah sebagai bentuk dukungan dari Sumatera.
Sejarawan Audrey Kahin menyebut, tanggal 29 Agustus 1945 atas nama rakyat Sumatera, Sjafe’i mengeluarkan pernyataan umum menerima kemerdekaan Indonesia dengan menambah bumbu-bumbu penegas rasa kemerdekaan tersebut.
Baca juga: Begini Naskah Proklamasi Dirumuskan
Ketua Umum DHD 45 Sumatera Barat Zulwadi Dt Bagindo Kali mengatakan, pembacaan proklamasi secara resmi yang dilakukan Sjafe’i pada 29 Agustus 1945 merupakan pertama kali di Sumatera Barat, bahkan Sumatera.
“Atas prakarsa para pemimpin, Sjafe’i pertama kali membacakan teks Proklamasi di rumah dr. Rasyiddin di Padangpanjang,” tulis sejarawan Mestika Zed dalam Sejarah Perjuangan Kemerdekaan 1945-1949 di Kota Padang dan Sekitarnya. Pengumuman tersebut kemudian dicetak di Percetakan Nusantara Bukittinggi, milik bankir dan tokoh pergerakan Anwar Sutan Saidi.
Berikut naskah Proklamasi dan penegasan dukungan Sumatera yang diberi label “Permakluman Kemerdekaan Indonesia” tersebut:
PERMAKLOEMANKEMERDEKAAN INDONESIA
Mengikoeti dan mengoeatkan pernjataan kemerdekaan Indonesia oleh Bangsa Indonesia seperti PROKLAMASI pemimpin2 besar kita SOEKARNO-HATTA atas nama Bangsa Indonesia seperti berikoet:
PROKLAMASI
Kami Bangsa Indonesia dengan ini menjatakan
KEMERDEKAAN INDONESIA
Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan dan lain2 diselenggarakan dengan tjara saksama dan dalam tempo jang sesingkat2nya.
Djakarta 17 boelan 8 tahoen 1945
Atas nama Bangsa Indonesia
Soekarno-Hatta
Maka kami Bangsa Indonesia di Soematera dengan ini mengakoei Kemerdekaan Indonesia seperti dimaksoed dalam Proklamasi di atas dan mendjoendjoeng keagoengan kedoea pemimpin Indonesia itoe.
Boekittinggi hari 29 bl 8 th 1945
Atas nama Bangsa Indonesia di Soematera
Moehammad Sjafei
Mengapa teks Proklamasi telat dibacakan?Kendati Proklamasi sampai Padang pada malam hari, 17 Agustus 1945, namun beredar di kalangan terbatas.Sisi lain, tokoh-tokoh lokal, termasuk Sjafe’i khawatir reaksi Jepang yang dalam dikte penuh Sekutu. Sehingga komunikasi dan merapatkan barisan menjadi pilihan.
Menurut Mestika, seminggu setelah pembacaan Proklamasi di Jakarta dan teks Proklamasi sudah di tangan segelintir pemimpin di Kota Padang, namun kebanyakan warga kota masih bingung.Bagi mereka, berita kekalahan Jepang disusul pembacaan Proklamasi masih desas-desus atau dari mulut ke mulut.
Baca juga: Proklamasi Kemerdekaan sampai di Banten
Sebetulnya, berita Proklamasi sampai ke Padang pada 17 Agutus 1945 malam, melalui telegram milik Post Telegraaf en Telefoon (PTT). Aladin, pegawai PTT di Bukittinggi yang mendapat kabar pertama kali, langsung melaporkan ke Sudibiya, kepala PTT Sumatera Tengah.
Aladin kemudian bertolak ke Padang.
Aladin, sebut Mestika, menyerahkan teks telegram kepada Jahja Djalil, aktivis dan wartawan sekaligus kakak iparnya.Dari Jahja Djalil, teks Proklamasi mengalir dan diviralkan di antara tokoh-tokoh lokal. Teks itu kemudian dicetak 20 lembar untuk disebarkan.
“Walaupun hanya untuk mencetak 20 lembar teks, pekerjaan itu dirasakan amat mencekam. Ketegangan itu tidak lain karena kekhawatiran kalau-kalau diketahui pihak Jepang. Lagi pula disebabkan kesadaran bahwa dibalik teks tersebut berada sesuatu yang besar, yang menggemparkan yang harus dilakukan. Juga kesadaran bahwa naskah itu akan menentukan hidup-matinya sebuah bangsa yang sudah lama berjuang,” Mestika menuliskan kembali risalah Jahja Djalil dalam Pengalaman Tidak Terlupakan.
Baca juga: Kisah Berita Proklamasi dalam Bahasa Daerah
Jahja Djalil, Arifin Alip, dan Abdullah, kemudian menemui Yano Kenzo, residen Jepang di Padang. Secara pribadi Kenzo senang dengan kemerdekaan Indonesia, namun dia memperingatkan Jepang harus memenuhi perintah Sekutu.
Kendati mendapat jawaban yang mengkhawatirkan dari Kenzo, Jahja Djalil dan kawan-kawan terus bergerak, berkomunikasi dengan banyak kalangan, termasuk dengan bekas perwira Gyugun seperti Ismael Lengah. Bekas anggota Gyugun beserta laskar rakyat membentuk BPPI yang bermarkas di gedung bekas kantor Saudagar Vereeniging (Persatuan Saudagar Indonesia).
Pada 20 Agustus 1945, pertemuan BPPI memberi mandat kepada Jahja Djalil menemui Sjafe’i yang berada di rumah guru Abdoel Muluk di Alang Laweh, tidak jauh dari Pasa Gadang. Akhirnya, sebagaimana pemuda menculik Sukarno-Hatta ke Rengasdenglok, para pemuda di Padang pun mendasak kaum tua seperti Engku Sjafe’i untuk memproklamasikan kemerdekaan.
Sjafe’i juga diminta menjadi Residen Sumatera Barat setelah Proklamasi disebarluaskan. Dia tidak menolak, namun meminta waktu menjawabnya esok.
Guru Besar Sejarah Universitas Andalas Gusti Asnan dalam makalah “Peran Aktif Golongan Republiken pada Awal Kemerdekaan di Sumatera” pada seminar nasional Proklamasi Kemerdekaan RI di 8 Wilayah menilai, golongan pemuda memiliki andil besar dalam menyebarluaskan berita kemerdekaan. “Berita yang dihimpun dari PTT dan Radio Hodohan, disampaikan dan disebarluaskan kepada politisi dan masyarakat luas,” jelas Gusti.
Menurutnya, aksi politisi ini adalah sebuah sikap yang menggambarkan satu kesatuannya Sumatera. Aksi ini pulalah yang memudahkan pembentukan Provinsi Sumatera sebagaimana yang dinyatakan dalam hasil sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 19 Agustus 1945 dan menyikapi pasal 18 UUD 1945 dengan menetapkan Sumatera sebagai salah satu dari delapan provinsi di Indonesia saat itu.
“Mudahnya proses penerimaan “penetapan” Provinsi Sumatera ini juga disebabkan oleh –secara kebetulan– banyak tokoh (politisi) penting Sumatera saat itu tengah berada di Bukittinggi dan mereka berunding dan berbicara atas nama Sumatera,” tandasnya.
Pada akhir Agustus 1945, Sjafe’i dipilih secara aklamasi menjadi Ketua KNI. Sehari setelah itu, 1 September 1945, sidang pertama KNI di Padang, menetapkan Sjafe’i sebagai residen Sumatera Barat.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar