Polwan bukan Sekadar Riasan
Selain mempercantik wajah Kepolisian, kehadiran polisi wanita sejatinya punya peran lebih penting. Mereka garda depan penanggulangan tindak kejahatan wanita dan anak-anak.
Citra polisi cantik memang begitu digandrungi publik belakangan ini. Potongan rambut pendek, paras menawan, dan senyum yang aduhai. Begitulah sosok Polisi Wanita alias Polwan yang kerap wara-wiri menghiasi layar kaca ataupun media sosial. Dengan semboyan 3 S: senyum, sapa, dan salam, polwan tampil sebagai sosok polisi penolong dan familiar.
Namun, menilik sejarah terbentuknya, korps polwan punya kisah dan kiprah yang tak kalah dari polisi laki-laki. Seperti pada dekade 1960-an, misalnya, ketika puluhan “Tante Girang” di Jakarta mengumbar nafsu yang membuat krisis sosial di masyarakat. Mereka adalah wanita-wanita bersuami dengan hasrat birahi tinggi. “Kegirangan” ini biasanya terjadi karena tak mendapat kepuasan seksual dari pasangan mereka.
Tak hanya menjadi masalah sosial, fenomena Tante Girang mulai memasuki ranah tindak kejahatan susila. Kepolisian bertindak. Pengusutannya diserahkan kepada aparat polwan
“Bahwa memang ada suami-suami yang menjadi impoten setelah mempunyai empat orang anak,” ujar Komandan Polwan AKBP Djasmaniar Hoesein dikutip Kompas, 4 Oktober 1968.
Baca juga: Jala Polisi Susila
“Para tante girang,” lanjutnya, “dapat dikatakan lebih berbahaya, karena mereka menjadikan anak-anak muda yang belum dewasa dalam soal-soal seksualnya sebagai mangsa.”
Operasi penyuluhan pun digelar. Polwan turun ke lapangan dengan melakukan sosialisasi ke sekolah-sekolah. Target penyuluhuan ditujukan terhadap murid-murid SMP yang beranjak remaja. Meski langkah yang ditempuh bersifat preventif, polwan yang anggotanya hanya puluhan personil mulai dikenal dekat sebagai mitra masyarakat.
Padahal, dua dekade sebelum kasus “Tante Girang”, polwan telah mengabdi negara untuk membantu kinerja polisi umum atau Polki (Polisi Laki-laki). Djasmaniar merupakan salah satu dari enam polwan perintis yang bermula sedari zaman revolusi kemerdekaan.
Kisah Enam Polwan
Pada pertengahan 1948, imigran dari Semenanjung Malaya memasuki pesisir timur Sumatera kawasan tengah hingga Sumatera Barat. Pertahanan negara jadi semakin rawan, apalagi tentara juga sedang berjuang menghadapi Belada di segala front pertempuran.
Keamanan pun ditingkatkan melalui pemeriksaan terhadap pendatang asing. Namun, mereka yang perempuan menolak digeledah dan diperiksa polisi, di kamar tertutup sekalipun. Persoalan makin pelik ketika beberapa wanita dicurigai sebagai mata-mata Belanda.
Baca juga: Gubernur di Tengah Operasi Anti Mata-Mata
Mula-mula para istri polisi di bagian reserse diberdayakan membantu menggeladah tahanan wanita. Lambat laun pekerjaan itu terasa mengganggu urusan rumah tangga ibu-ibu tersebut. Untuk mengatasinya, pada 1 September 1948, Jawatan Kepolisian Negara cabang Sumatra Barat menerima enam wanita untuk dididik menjadi polisi di Bukit Tinggi. Mereka adalah Nelly Pauna, Mariana, Rosmalina, Dahniar, Djasmaniar, dan Rosnalia. Keenam wanita tersebut menjadi pelopor berdirinya institusi Kepolisian Wanita di Indonesia.
“Penerimaan tersebut sebagai jalan keluar penyempurnaan tugas kepolisian sehubungan dengan pelarian wanita-wanita Singapura dan Riau (kepulauan) yang menolak pemeriksaan badan oleh petugas-petugas pria,” tulis Sinar Harapan, 10 September 1973.
Ketika Belanda melancarkan agresi militer kedua pada 19 Desember 1948, keenam polisi wanita itu diperintahkan mengikuti rombongan Kepolisian Sumatera Tengah di bawah pimpinan Ajun Komisaris Besar Sulaiman Effendi. Djasmaniar, Nelly Pauna, dan Rosmalina bahkan turut bergerilya. Mereka diangkat sebagai perwira dengan jabatan Pembantu Inspektur Polisi II. Dalam gerilya, mereka bertugas sebagai anggota Pengawas Aliran Masyarakat (PAM) guna menyokong perjuangan PDRI.
“Di sinilah mereka untuk pertama kali mengalami pemboman oleh kapal-kapal terbang Belanda pada 22 Desember 1948 dan serangan-serangan Belanda secara besar-besaran pada 31 Desember 1948,” ungkap Ahmad Husein dkk, Sejarah Perjuangan Kemenangan RI di Minangkabau 1945—1950.
Baca juga: Belanda Kirim Kapal Perang, Sukarno Meradang
Banyak korban berjatuhan manakala tentara Belanda memuntahkan peluru dan bom lewat serangan udara. Mayat-mayat pasukan Republik bergelimpangan.
Polisi-polisi wanita turut mendaki bukit membantu memakamkan pejuang-pejuang yang gugur ke tempat perisitrahatan terakhir. Untuk menghindari bahaya, mereka berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Berturut-turut mereka bertugas di kota Bonjol, Lubuk Sikaping, Talu, Pasaman, Air Bangkis, Kinalai, Lubuk Basung, Maninjau, kembali lagi ke Bonjol, Lubuk Sikaping, Panti, dan Talu. Di sana mereka diperbantukan pada bagian pemeriksaan Corps Polisi Militer (CPM). Dari semuanya, hanya Nelly Pauna yang mengikuti rombongan PDRI ke Suliki, Kototinggi, bertugas pada kepolisian Sumatera Tengah.
Polwan Berantas Kejahatan
Pasca-Perang Kemerdekaan, enam polwan disekolahkan ke Sekolah Polisi Negara Sukabumi. Pada 1951, mereka menamatkan pendidikan dan dilantik menjadi Inspektur Polisi. Selama satu dekade berikutnya, karena berbagai hambatan, tak ada rekrutmen polwan baru.
Seiring waktu, keberadaan polisi wanita ternyata begitu dibutuhkan. Tak semua penanggulangan kriminalitas bisa dikerjakan polki. Hal ini terutama untuk pengusutan dan pemberantasan kejahatan yang dilakukan oleh atau terhadap wanita serta anak-anak.
Pada 1957, Bhayangkari (organisasi istri polisi) dan Kongres Wanita Indonesia (Kowani) mengusulkan pembentukan lembaga pendidikan khusus polisi wanita. Tokoh dari Bhayangkari yang memperjuangaknya antara lain Ny. Umar Said, istri kepala Polisi Sumatera, dan Ny. Djojodirjo, istri direktur Sekolah Tinggi Kepolisian Bukit Tinggi. Sedangkan dari Kowani adalah Maria Ulfa Subadio.
Baca juga: Lena Soekanto Mokoginta Pendiri Bhayangkari
Melalui program pendidikan tersebut, aparat polwan diarahkan untuk tugas-tugas khusus: intelijen keamanan dan intelijen kriminal. Program ini berhasil mencetak angkatan pertama sebanyak 26 bintara polwan yang dididik di Dinas Pengawasan Keselamatan Negara Jawatan Kepolisian Negara tahun 1958. Penerimaan bintara polwan kemudian berlangsung setiap tahun, diikuti dengan pendidikan untuk perwira polwan di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian.
Pada 1 Juli 1963, Seksi Polwan diresmikan di Jalan Tambak, Jakarta Pusat. Seksi ini berada di bawah Kepala Urusan Kepolisian Wanita di Markas Besar Polri. Empat tahun kemudian, ia berubah menjadi Pusat Polisi Wanita hingga 1969.
Baca juga: Aksi Semena-Mena Polisi
Sepanjang dekade 60-an, Seksi Polwan sangat terkenal dan menjadi sorotan masyarakat. Bersama keenam polwan pelopor sebagai pimpinan, aparat polwan menguak banyak tabir hukum dan kriminalitas di ibu kota.
Kordinasi terhadap tiap polres juga terjalin guna menghimpun data tentang tahanan perempuan di mana-mana. Para tahanan perempuan itu selalu diinstruksikan agar dikirim ke markas Polwan di Jalan Tambak. Kendati demikian, terobosan ini kurang begitu disukai polisi laki-laki.
“Ketidaksukaan Polki terhadap tindakan para ibu pelopor ini biasanya disebabkan adanya suatu anggapan bahwa ibu-ibu itu mengacak-acak lahan otoritasnya dan mengintervensi korupsi dan kolusi yang terjadi,” sebut Irawati Harsono dalam “Polwan Menegakkan Etika Kepedulian di Tengah Budaya Patriarki” termuat di kumpulan tulisan Hukum yang Bergerak: Tinjauan Antropologi Hukum suntingan Sulistyowati Irianto.
Baca juga: Kisah di Balik Falsafah Bhayangkara
Keenam polwan pelopor terus berkhidmat di Kepolisian hingga pensiun. Mereka berganti nama setelah diperistri dengan membubuhkan nama atau marga suami masing-masing: Nelly Pauna Situmorang, Djasmaniar Husein, Rosmalina Pramono, Mariana Saanin Mufti, Dahniar Sukotjo, dan Rosnalia Taher.
Mereka diperbantukan pada Polisi Kota Djakarta Raya (kini Polda Metro Jaya) di Bagian Susila. Di sana, mereka menjalankan tugas reserse dan penyidikan khususnya menangani kasus wanita dan anak-anak. Karier kepolisian mereka diakhiri dengan pangkat komisaris besar (kombes) polisi atau setara kolonel dalam kemiliteran.
Peran polwan yang turut mewarnai sejarah perjuangan patut mendapat tempat terhormat. Upaya pelestarian memori itu diwujudkan dengan peringatan Hari Polwan setiap tanggal 1 September. Hingga kini, Polwan menjadi bagian penting Kepolisian, terutama dalam menangani tindak kejahatan yang menyangkut wanita dan anak-anak.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar