Lena Soekanto Mokoginta Pendiri Bhayangkari
Meski pendiri Bhayangkari dan istri Ketua Kepolisian Negara, Lena enggan menjadi ketua Bhayangkari. Ia tak ingin organisasi istri Polri ini dijalankan dengan watak feodalisme.
BEGITU mendengar Kongres Wanita Indonesia akan mengadakan pertemuan pada akhir Agustus 1949, Hadidjah Lena Mokoginta Soekanto sebagai istri polisi langsung bersemangat untuk ikut bergabung. Selain karena keinginannya untuk bergabung dengan perjuangan perempuan, ia menyadari selama masa perjuangan kemerdekaan, bantuan dari para istri polisi masih terpencar dan belum terlihat secara nyata.
Maka, ia merencanakan pendirian organisasi agar para istri polisi bisa ikut turun dalam perjuangan kemerdekaan dengan pembentukan dapur umum dan membantu palang merah. Lena lantas mencarikan nama yang pas untuk organisasi barunya itu.
“Kuingat sebuah nama yang sering digunakan dalam gerilya oleh Brigade Mobil Kepolisian,” kata Lena dalam testimoninya di kumpulan memoar perempuan berjudul Sumbangsihku Bagi Ibu Pertiwi.
Lena kemudian menemui Profesor Prijono, ahli sastra yang kemudian menjadi menteri pendidikan, untuk minta pendapat. Prijono menjelaskan bahwa Bhayangkara berasal dari bahasa Sansekerta bhayamkara, berarti “yang menyebabkan takut”. Versi feminin dari Bhayangkara ialah Bhayangkari. Namun, Prijono menganggap nama itu kurang elok dan ia bersedia membantu mencarikan nama yang lebih bagus dari Bhayangkari.
Baca juga:
Tawaran Prijono tak dituruti Lena karena merasa sudah cukup puas dengan nama Bhayangkari. Terlebih lagi, ia mesti cepat mendirikan organisasi agar bisa ikut hadir dalam Permusyawaratan Wanita Seluruh Indonesia yang diselenggarakan akhir Agustus.
Jam 9 malam keesokannya, utusan Prijono datang membawa pesan untuk Lena. Dalam pesan tersebut, Prijono mengatakan bahwa nama Bhayangkari bagus namun Prijono mengusulkan Kemala Hikmah yang berarti permata memancarkan sinar. Usulan nama organisasi ini langsung dirundingkan Lena dengan teman-temannya. Hasilnya, mereka setuju menggunakan nama Bhayangkari. Sementara, Kemala Bhayangkari digunakan untuk menamakan lambang organisasi tersebut.
Pendirian Bhayangkari secara resmi dilakukan pada 17 Agustus 1949. Dalam Sejarah Setengah Abad Kesatuan Pergerakan Wanita Indonesia disebutkan bahwa pembentukan Bhayangkari diharapkan dapat mengorganisir perjuangan para istri polisi agar lebih efektif.
Mereka kemudian berdiskusi untuk menentukan pengurus organisasi. Meski merupakan istri Kepala Kepolisian Negara Soekanto, Lena enggan menjadi ketuanya. “Kuputuskan bahwa aku jangan menjadi ketua dengan alasan dan pertimbangan suasana masyarakat pada saat itu yang masih sulit melepaskan perasaan feodalistisnya,” kata Lena. Ia tak ingin istri bawahan suaminya mengikuti organisasi bukan karena keinginan sendiri alias terpaksa.
Baca juga:
Lena akhirnya duduk sebagai pelindung organisasi dan mendampingi pengurus harian menjalankan tugas-tugasnya. Struktur organisasi Bhayangkari pun bersifat independen. Ketua Bhayangkari dipilih oleng anggota tidak berdasar jabatan suami di kepolisian.
Lantaran Lena ingin sekali ikut dalam Permusyawaratan Wanita Seluruh Indonesia yang diselenggarakan pada 26 Agustus-2 September 1949, Bhayangkari langsung bergabung dengan federasi Kongres Wanita Indonesia. Mereka pun berangkat mengikuti pertemuan perempuan di Yogyakarta dengan dipimpin Nyonya Hafni Abu Hanifah.
Perjalanan yang mereka tempuh tidak mudah. Peserta perempuan yang berangkat dari Jakarta berjumlah 360 orang menggunakan kereta. Tiap kali melewati daerah yang dikuasai Belanda, mereka selalu diinterogasi dan digeledah.
Baca juga:
Kongres bisa berjalan dengan cukup lancar. Beberapa hasil kongres ialah mengusulkan adanya perlindungan untuk pekerja perempuan. Keputusan ini kemudian dikirim ke delegasi Indonesia untuk diperjuangkan di KMB. Kongres juga menyepakati untuk mengurus keluarga tawanan dan keluarga korban perjuangan, mengadakan protes terhadap perbuatan kejam yang dilakukan tentara Belanda, salah satunya pembunuhan pegawai PMI pengungsi di Solo.
Selain bergabung dengan Bhayangkari, Lena aktif di Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari) sebagai bagian seksi hukum pengurus pusat. Ia juga aktif dalam kegiatan sosial, seperti pendirian Badan Kerja Sama Panti Asuhan (BKSPA).
Keaktifan Lena di Kowani membuatnya dipercaya untuk mewakili federasi menghadiri Conference of Associated Country Women of the World bersama pemimpin Perwari, Nyonya Sophie Sarwono, di Sri Lanka pada 1954. Sepulangnya dari konferensi, ia mampir ke New York, Birma, dan Muangthai untuk menemui tokoh-tokoh organisasi wanita di sana.
Pada 1958, Lena kembali dipercaya mewakili federasi untuk menghadiri League of Democratic Women Federation di RRC bersama Sujatin Kartowijono.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar