Nasib Tragis Sophie Scholl di Bawah Pisau Guillotine
Cerita mahasiswi dan akvitis “Mawar Putih” yang menentang rezim Hitler. Tetap tegar dengan prinsip anti-Nazi sampai ajal menjemput.
AULA utama kampus Ludwig-Maximilians-Universität, Munich di hari itu, 18 Februari 1943, masih sangat hening. Di jam kuliah itu, Sophie Scholl (diperankan Julia Jentsch) bersama kakaknya Hans Fritz Scholl (Fabian Hinrichs) bergegas mendaki anak tangga. Adrenalin kakak-adik itu melonjak seiring memburu langkahnya sembari menoleh kanan-kiri.
Sesampainya di balkon atas aula, Sophie dan Hans buru-buru mengeluarkan tumpukan selebaran dari koper kulit yang mereka bawa. Beberapa tumpukan mereka letakkan di sejumlah koridor kampus dan di depan pintu-pintu kelas. Sebagian lagi di dekat anak tangga dan pilar-pilar aula.
Sesaat kemudian, ‘Kriiiiiiiing!’ Bel selesai jam pelajaran berbunyi lantang. Sophie langsung melempar sisa-sisa pamfletnya dari balkon yang kemudian berterbangan dan berjatuhan ke lantai dasar aula.
Baca juga: Perempuan Biasa Melawan Nazi-Jerman
Serentak para mahasiswa yang baru keluar kelas penasaran lalu mengambil dan membacanya. Sementara Sophie dan Hans sial, tepergok seorang petugas kebersihan kampus saat berusaha melarikan diri. Nasib mereka mulai suram setelah digelandang ke Penjara Stadelheim dan diinterogasi opsir Gestapo (polisi rahasia Nazi) Robert Mohr (Alexander Held).
Potongan kisah itu jadi gambaran fase awal dari hari-hari terakhir Sophie dalam film drama sejarah Sophie Scholl, Die Letzen Tage (Sophie Scholl, The Final Days) garapan sineas Marc Rothemund yang rilis pada 2005. Sophie merupakan mahasiswi cum aktivis Weiße Rose atau Mawar Putih. Organisasi anti-Nazi itu didirikan Hans bersama empat rekan mahasiswa dan seorang profesornya pada 27 Juni 1942.
Selebaran dan pamflet-pamflet yang mereka sebarkan itu berisi narasi anti-Perang Dunia II pasca-kekalahan Jerman Nazi di Pertempuran Stalingrad (23 Agustus 1942-2 Februari 1943) dan slogan-slogan anti-Nazi seperti: “Jatuhkan Adolf Hitler” atau “Kebebasan!”.
Baca juga: Tragedi Tiga Belas Mawar di Madrid
Muak terhadap Rezim Hitler
Lahir di Forchtenberg, Baden-Württemberg pada 9 Mei 1921, Sophia Magdalena Scholl merupakan anak keempat dari enam bersaudara di keluarga pasangan Robert Scholl dan Magdalena Müller. Sophie kecil sudah sering mendengar obrolan politik dari ayahnya yang mantan walikota Forchtenberg beraliran liberal.
Saat Hitler dengan rezim Nazi-nya mulai berkuasa di Jerman, Sophie yang berusia 12 tahun setengah terpaksa masuk perkumpulan pemudi di dalam Hitlerjugend (Pemuda Hitler), yakni Bund Deutscher Mädel (Liga Pemudi Jerman).
Hampir semua saudara dan saudarinya ikut arus Naziisme. Mereka setengah terpaksa mengikutinya lantaran sekolah-sekolah mereka mewajibkannya.
Saudara dan saudari Sophie yang juga ikut berorganisasi adalah Elisabeth, di organisasi yang sama dengan Sophie; Hans, ikut Deutsches Jungvolk atau pramuka-nya Hitlerjugend; serta Werner, yang di kemudian hari menjadi prajurit unit medis di Divisi Infantri ke-35 Angkatan Darat Jerman.
Baca juga: Jojo Rabbit, Satir Pemuda Hitler
Saat sudah menjadi gadis jelita dan kuliah di jurusan teologi dan filsafat di Ludwig-Maximilians-Universität, Sophie turut menjalin asmara dengan seorang opsir muda Luftwaffe (Angkatan Udara Jerman), Kapten Fritz Hartnagel.
“Dari lingkaran pertemanannya pada sebuah pesta dansa tahun 1937, Sophie di usia 16 tahun bertemu dan menjalin hubungan dengan Fritz Hartnagel, prajurit Jerman yang saat itu berusia 20 tahun. Seperti halnya Hans, Fritz juga mantan anggota Pemuda Hitler sebelum bergabung ke angkatan perang. Sophie dan Fritz hanya bisa sering bertemu setiap kali Fritz cuti dari tugas militernya,” tulis Toby Axelrod dalam Hans and Sophie Scholl: German Resisters of the White Rose.
Namun di tahun yang sama pula Sophie mulai tertular arus anti-Nazi, baik melalui pemahamannya lewat pelajaran-pelajaran di kelas maupun dari lingkungan pertemanannya dengan sejumlah seniman. Salah satunya Otl Aicher, yang di kemudian hari menikahi kakak sulung Sophie, Inge Scholl. Tapi yang terpenting, justru pengaruh dari Hans yang diam-diam aktif menyambi menjadi anggota anti-Pemuda Hitler, Deutsche Jungenschaft vom 1.11.1929 (DJ.1.11) saat sudah bertugas di sebuah unit korps medis AD Jerman.
“(Suatu hari) pada 1937 Hans ditangkap di basis militernya. Agen Gestapo lain kemudian turut menangkap Inge, Werner, dan Sophie di rumahnya. Sophie dibebaskan di hari yang sama, sementara Inge dan Werner ditahan selama sepekan. Hans menghabiskan tiga pekan di penjara usai interogasi yang intensif. Ia baru dibebaskan setelah mendapat jaminan dari opsir seniornya,” ungkap Annette Dumbach dan Jud Newborn dalam Sophie Scholl and the White Rose.
Itu bukan kali pertama Sophie mengalami penangkapan Gestapo. Momen itu juga jadi pemicu bagi Sophie untuk makin membulatkan tekadnya menjadi aktivis anti-Nazi, sebagaimana Hans.
Bersama tiga rekan mahasiswanya: Willi Graf, Christoph Probst, Alexander Schmorel, dan seorang profesor filsafat Kurt Huber, Hans mendirikan Mawar Putih pada Juni 1942. Sophie dan Inge ikut terjun ke organisasi itu sebulan kemudian.
“Mawar Putih adalah sekumpulan pemuda idealis tetapi minim kesadaran akan realitas kekuasaan dan politik. Meski begitu tulisan narasi akan analisis politik mereka begitu tajam demi memengaruhi jutaan orang Jerman yang mereka yakini masih warga ‘Jerman yang Baik’ dan tidak suka dengan Nazi,” kenang Inge Scholl yang ia tuangkan dalam buku The White Rose: Munich 1942-1943.
Mawar Putih melancarkan kampanye anti-kekerasan terhadap rezim Nazi dengan memproduksi selebaran-selebaran, pamflet, hingga grafiti dan kemudian menyebarkannya di kota Munich dan sekitarnya. Segala aktivitas Mawar Putih diongkosi seorang auditor Asosiasi Kerjasama Pertanian Jerman yang juga anti-Nazi asal kota Stuttgart, Eugen Grimminger.
“Saat itu Sophie masih menjalin hubungan dengan Fritz. Bahkan beberapa kali Sophie berusaha meyakinkan Fritz dan berargumen tentang posisinya dalam pergerakan anti-Hitler. Kemudian di akhir perang, Fritz yang alih profesi menjadi hakim di pengadilan kota Stuttgart mengenang masa-masa itu: ‘apa yang dia (Sophie) lakukan adalah hal yang benar,’” sambung Axelrod.
Baca juga: Stauffenberg, Opsir yang Menentang Hitler
Kendati sebagai perwira militer Fritz masih ragu, setidaknya Sophie masih bisa memanfaatkannya sebagai perantara membeli mesin percetakan. Di era Nazi, mustahil mendapatkan mesin percetakan tanpa surat resmi dan persetujuan otoritas sipil maupun militer.
“Pemerintah atau lebih tepatnya partai (Nazi), mengontrol segalanya: media massa, kepolisian, militer, sistem yudisial, komunikasi, hingga semua tingkat pendidikan dari taman kanak-kanak sampai universitas, serta semua institusi budaya dan keagamaan,” kenang salah satu penyintas anggota Mawar Putih, Jürgen Wittenstein dalam bukunya, Memories of the White Rose.
Sophie terlibat langsung dalam mengedarkan sejumlah selebaran dan pamflet secara sembunyi-sembunyi di beberapa pusat aktivitas publik bersama kolega-koleganya, termasuk di tanggal 3, 8, 15, dan 18 Februari 1943. Dari sekian selebaran dan pamfletnya berisi narasi-narasi kenyataan perang dan muaknya rezim Hitler, termasuk pembantaian Yahudi di Polandia, demi membangkitkan kesadaran publik betapa para pejabat Nazi membawa Jerman menuju ke jurang kehancuran.
Tetapi nahasnya, aksi Sophie dan Hans pada 18 Februari itu berujung pahit. Berbeda dari adegan di film yang dipergoki petugas kebersihan, Sophie dan Hans tepergok teknisi maintenance kampus bernama Jakob Schmid.
“Jakob Schmid lalu memanggil (agen) Gestapo. Kemudian pintu-pintu kampus dikunci. Setumpuk selebarannya disita. Christoph Probst sang penulis selebaran-selebaran itu juga diciduk pada 20 Februari. Robert Mohr yang menginvestigasi mulanya menganggap Sophie tak bersalah karena tidak kedapatan membawa barang bukti tetapi setelah Hans mengaku soal aktivitasnya, Sophie ikut mengaku dan bahkan mengakui bahwa dialah yang bertanggungjawab atas segala aktivitas Mawar Putih demi melindungi para anggota organisasi lainnya,” sambung Dumbach dan Newborn.
Baca juga: Dagelan Hukum The Trial of the Chicago 7
Pada pagi 22 Februari 1943, Sophie, Hans, dan Christoph dihadapkan sebagai terdakwa di Volksgerichtshof atau Pengadilan Rakyat. Para terdakwa hanya diizinkan membela diri hanya dalam satu sesi persidangan tanpa testimoni lanjutan atau membacakan pleidoi.
“Lagipula seseorang harus memulainya. Apa yang kami tulis dan katakan juga dipercaya oleh banyak orang. Hanya saja mereka tidak berani berekspresi seperti yang kami lakukan,” seru Sophie dikutip Richard Hanser dalam A Noble Treason: The Story of Sophie Scholl and the White Rose Revolt Against Hitler.
Kata-kata itu, lanjut Hanser, sempat mengejutkan para hadirin. Sophie lalu berdiri dari kursi terdakwa dan mengatakan: “Kalian tahu kita sudah kalah perang. Kenapa kalian tidak berani menghadapinya?”
Betapapun pembelaan mereka, hakim Roland Freisler tetap menjatuhkan putuan bersalah atas dakwaan pengkhianatan.
Werner yang baru cuti dari tugas militernya di front timur bersama kedua orangtuanya memaksa masuk ke ruang sidang saat hakim hendak menjatuhkan vonis. Kendati diusir aparat pengadilan, ketiganya pantang menyerah. Namun sayangnya saat Werner dan kedua orangtuanya hendak mengajukan petisi grasi, hakim sudah terlanjur memberi vonis hukuman mati di ruang eksekusi Penjara Stadelheim. Hukumannya berlaku hari itu juga mulai pukul 5 petang dengan disupervisi kepala pengadilan distrik Munich, Walter Roemer.
Baca juga: Empat Upaya Pembunuhan Hitler yang Gagal
Menjelang eksekusi, baik Sophie maupun Hans tetap tidak diperbolehkan bertemu keluarganya untuk kali terakhir. Hanya seorang sipir saja yang diam-diam bersimpati pada mereka lalu mengizinkan Sophie, Hans, dan Christoph merokok bersama sebelum waktu eksekusi.
“Eksekusi mereka berupa hukuman penggal di bawah pisau guillotine dengan algojonya Johann Reichhart. Sophie dieksekusi tepat pukul 5 petang, Hans pada pukul 5.02, dan Christoph pada pukul 5.05. Pihak keluarga tidak boleh bertemu dengan mereka sebelum dieksekusi. Fritz yang sempat dievakuasi dari Stalingrad pada Januari 1943 belum bisa kembali sebelum Sophie dieksekusi. Pascaperang pada Oktober 1945, ia menikahi saudari Sophie, Elisabeth,” ungkap Peter Normann Waage dalam Long Live Freedom!: Traute Lafrenz and the White Rose.
Hampir semua anggota keluarga Scholl ikut ditahan atas dasar Sippenhaft (prinsip keluarga atau klan ikut berbagi tanggung jawab atas putusan pengadilan), kecuali Werner yang dikirim kembali ke front timur. Para anggota Mawar Putih lain yang turut ditangkap adalah Willi Graf dan 12 rekannya yang diciduk pada 18 Februari. Via persidangan 19 April 1943, hanya Willi Graf, Alexander Schmorel, dan Prof. Kurt Huber divonis hukuman mati, sedangkan 11 lainnya divonis penjara.
“Pasca-kematiannya (Sophie), salinan selebaran yang berhasil diselundupkan keluar Jerman melalui Skandinavia menuju Inggris, dimanfaatkan oleh Sekutu. Pada pertengahan 1943, pesawat-pesawat Angkatan Udara Inggris menjatuhkan jutaan salinan propaganda itu di seluruh wilayah Jerman dengan judul baru: The Manifesto of the Students of Munich,” tandas Kathryn Atwood dalam Women Heroes of the World War II.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar