Menyoal Papua dan Utang Warisan Belanda
Setelah melepas Indonesia, Belanda tidak serta-merta melenyapkan pengaruhnya. Belanda membuat masalah Irian Barat berlarut-larut hingga menjerat dengan utang yang tidak patut.
Batas-batas wilayah negara Indonesia kiwari telah terbentuk sejak dulu kala. Semua wilayah dari Sabang sampai Merauke; dari Pulau Miangas sampai Pulau Rote menyatu dalam satu kesatuan yang disebut Nusantara. Aceh adalah pintu masuk ke kepulauan Nusantara di ujung barat, sedangkan Papua di ujung timur. Pada era kurun niaga, jauh sebelum masa kolonial, Nusantara terkoneksi dalam jaringan perdagagangan yang disatukan oleh bahasa Melayu.
“Jadi, Indonesia bukan dibentuk oleh negara kolonial Belanda. Justru Belanda menyatukan Indonesia dengan batasan-batasan Nusantara,” kata sejarawan Universitas Indonesia Bondan Kanumoyoso dalam diskusi sejarah “Peran Sipil dalam Revolusi Indonesia 1945-1949” yang diselenggarakan IDLC bersama Museum Naskah Proklamasi, 27 Juni 2022 secara daring.
Namun, menurut Bondan, banyak dari saudara sebangsa di Papua menganggap bahwa mereka bukan bagian dari Indonesia. Padahal, banyak tokoh pergerakan nasional Indonesia yang dibuang ke Boven Digul di Merauke, Papua. Tidak pelak, Papua adalah bagian yang tidak terpisahkan dari pergerakan nasional. Merunut lebih jauh ke belakang, Papua termasuk dalam kegiatan perdagangan maritim Nusantara, bahkan disebutkan dalam naskah kitab Jawa kuno Negarakretagama abad ke-15.
Baca juga: Membuang Orang Pergerakan ke Papua
“Tapi saudara-saudara Papua sampai hari merasa mereka bukan Indonesia. Saya kira kita harus mengkaji bersama. Benarkah klaim-klaim itu. Apakah kita ini hidup sebagai saudara atau berpisah hanya karena kepentingan-kepentingan lain yang diberikan argumentasi kesejarahan,” ujar Bondan.
Mencacah Wilayah
Pada masa awal Republik Indonesia, wilayah negara kesatuan itu tidak dapat diwujudkan dengan mudah. Sebagian besar wilayah Indonesia dikuasasi oleh Sekutu kemudian Belanda. Pemerintah Indonesia memperjuangakannya lewat serangkaian diplomasi.
“Diplomasi bukan sekadar menentang penjajahan. Diplomasi juga memperjuangkan kedaulatan. Dan menegakkan kedaulatan dengan pengakuan internasional itu tidak mudah,” kata Bondan.
Baca juga: Diplomasi Gelap Pembebasan Irian Barat
Perjanjian Linggardjati (1946) menetapkan wilayah Indonesia meliputi Sumatra dan Jawa. Pada Perjanjian Renville (1947), dipersempit lagi menjadi Sumatra, Jawa Tengah, dan Yogyakarta. Hingga pada Konferensi Meja Bundar (1949), tinggal menyisakan Papua yang belum diserahkan oleh Belanda.
Menurut Bondan, Belanda telah memetakan sumber mineral yang terkandung di bumi Papua. Identifikasi kekayaan alam itu tertuang dalam arsip laporan penelitian geologi di Papua maupun arsip film dokumenter. Seperti di Pegunungan Grasberg, disebutkan kaya sekali kandungan mineral yang terbukti benar. Selain emas, terkandung pula uranium yang bernilai lebih tinggi.
“Ini yang menyebabkan negara-negara asing sangat berkeinginan untuk campur tangan di Papua dalam isu-isu masalah Papua,” jelas Bondan.
Baca juga: Papua dan Ambisi Presiden Pertama
Masalah Irian Barat kemudian menjadi sengketa berkepanjangan. Belanda menunda penyerahannya selama bertahun-tahun. Selain Papua, urusan utang piutang dengan pemerintah Belanda menjadi persoalan yang diwariskan memasuki dekade 1950-an.
Jerat Utang Belanda
Hasil perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB) adalah pengakuan kedaulatan dari Belanda. Berbilang tafsir dalam historiografi mengenai KMB, terutama dari para penulis asing yang kerap menyebutnya sebagai penyerahan kedaulatan. Namun, konsep penyerahan kedaulatan dibantah oleh Bondan.
Menurutnya Belanda telah menyerahkan kedaulatan atas Hindia Belanda kepada Jepang dalam Perjanjian Kalijati, 8 Maret 1942. Sementara, Republik Indonesia sudah berdiri dengan diproklamasikannya kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Jepang adalah penguasa wilayah bekas jajahan Belanda sampai 15 Agustus 1945 ketika mereka menyatakan menyerah kepada Sekutu. Yang terjadi di Indonesia saat itu vacuum of power (kekosongan kekuasaan).
Baca juga: Harga untuk Kemerdekaan Indonesia
“Bagaimana logikanya kok bisa yang dinyatakan adalah (Belanda) menyerahkan kedaulatan. Mereka sudah menyerahkan kepada Jepang tahun 1942. Enggak bisa orang menyerahkan kedaulatan dua kali,” kata Bondan tegas.
Kesepakatan KMB yang cukup merugikan Indonesia terjadi pada bidang ekonomi. Dalam rancangan Statut Uni, Indonesia dan Belanda akan menjalankan hubungan bilateral dalam kerangka Uni Belanda-Indonesia. Relasi ini memberikan hak-hak khusus dalam menjamin kepentingan ekononomi dan modal Belanda di Indonesia. Inilah yang kemudian menjadi problem sepanjangan tahun 1950-an.
Bondan menyatakan, BUMN yang kita kenal saat ini sebagian besar bermuasal dari aset-aset dan perusahaan Belanda yang dinasionalisasi. Seperti perusahaan pelayaran, kereta api yang dulu milik perusahaan swasta Belanda. Bank-bank yang beredar hampir semuanya bank Belanda. Sedikit yang didirikan pada tahun-tahun setelah Indonesia merdeka. Begitupun dengan perusahaan air dan perusahaan listrik.
“Jadi, mohon izin ini, sebetulnya ekonomi kita belum merdeka sepenuhnya. Saya tidak mengatakan BUMN itu milik Belanda tetapi pola struktur dari perekonomian Indonesia yang merugikan masyarakat bawah itu masih bertahan sampai hari ini karena keberadaan tatanan ekonomi kolonial yang sudah berubah tapi struktur dasarnya masih ada,” ungkap Bondan.
Kemudian, KMB mengatur utang-piutang negeri Hindia Belanda yang dibebankan kepada Indonesia. Pemerintah Indonesia diwajibkan membayar sebesar 4,3 milyar Gulden atas kerugian yang terjadi selama periode Perang Kemerdekaan (1945—1949). Begitulah cara Belanda melepaskan Indonesia namun dengan tidak menghapuskan pengaruhnya sama sekali.
“Ini hal yang mungkin tidak bermoral ya. Bagaimana mungkin sebuah biaya dikeluarkan untuk membasmi satu negara yang mau merdeka kemudian dibebankan kepada negara itu untuk membayarnya sendiri. Satu ide yang gila. Sampai hari ini mereka tidak pernah meminta maaf."
Perkara utang-piutang ini membuktikan asimetrisnya hubungan sebuah negara kolonial terhadap bekas jajahannya. Ketika dihapus pada 1956, utang tersebut sudah hampir lunas. Fakta-fakta sejarah ini belum terangkat dengan baik dan Belanda tidak pernah menyatakan permintaan maaf.
Permintaan maaf itu, lanjut Bondan, harus disertai dengan kompensasi yang luar biasa. Kecuali pemerintah Belanda menyatakan tidak sanggup dan memintaa maaf untuk hal itu, bukan hanya atas kejahatan perang yang telah mereka lakukan.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar