Setelah Minta Maaf, Akankah Belanda Akui Proklamasi Kemerdekaan Indonesia?
Menyusul permintaan maaf Perdana Menteri Mark Rutte kepada penduduk Indonesia, anggota parlemen Sjoerd Sjoerdsma usul supaya pemerintah Belanda mengakui proklamasi 17 Agustus 1945.
Pada hari Kamis 17 Februari 2022, di Belanda berlangsung dua peristiwa penting yang berkaitan dengan Indonesia. Pada pagi hari di Amsterdam berlangsung jumpa pers tim peneliti KITLV, NIMH dan NIOD yang mengumumkan hasil penelitian mereka terhadap “Kemerdekaan, dekolonisasi, kekerasan dan perang di Indonesia”. Kesimpulan terpenting penelitian ini adalah bahwa dalam perang kemerdekaan Indonesia antara 1945 dan 1949, Belanda telah menggunakan kekerasan struktural yang ekstrem, dalam bentuk eksekusi di luar pengadilan, penyerangan dan penyiksaan, penahanan dalam keadaan yang tidak manusiawi, pembakaran rumah dan desa, pencurian dan penghancuran harta benda serta masih banyak lagi. Sekitar dua jam setelah jumpa pers di Amsterdam ini, di dalam gedung kedutaan besar Belanda di Brussel, Perdana Menteri Belanda Mark Rutte yang tengah menghadiri KTT Uni Eropa, menanggapi hasil penelitian itu dengan permohonan maaf sedalam-dalamnya kepada bangsa Indonesia. Inilah peristiwa penting kedua pada hari Kamis itu.
Pernyataan maaf ini segera menjadi berita besar di mana-mana. Banyak kalangan menyambutnya sebagai sesuatu yang baik, tapi ada pula kalangan yang tidak senang terhadapnya. Termasuk kalangan yang tidak senang adalah politikus ekstrem kanan Belanda Geert Wilders, pemimpin partai kebebasan PVV. Dia meluncurkan twitter yang menolak isi laporan itu, katanya kecaman terhadap kalangan veteran adalah pemalsuan sejarah. Mereka adalah pahlawan. Permintaan maaf tidak layak, dan pada awal kicauannya Wilders malah bertanya mana permintaan maaf pihak Indonesia atas kekerasan terhadap orang Belanda dan Bersiap? Segera kicauan ini menjadi gaduh oleh tanggapan netizen Indonesia. Begitu ributnya sampai-sampai beberapa situs berita tanah air (Tempo dan Kumparan) memberitakannya.
Baca juga: Wilders Kejepit Hitler dan Wagner
Pers Belanda di lain pihak diam dalam soal ini, seperti halnya soal cuitan Wilders yang lain. Pers dan publik Belanda sudah terbiasa dengan kata-kata kasar Wilders sehingga ucapan apa pun politikus ekstrem kanan ini tidak akan menjadi berita. Lain halnya kalau ucapan Wilders itu ditanggapi oleh politisi Belanda lain, maka tanggapan itulah yang diberitakan, dan bukan ucapan aslinya. Belakangan parlemen Belanda malah sibuk mengatur supaya anggotanya berbicara lebih sopan, kata-kata kasar seperti ucapan Wilders akan dilarang diutarakan dalam parlemen.
Pemberitaan pers Belanda tentang permintaan maaf berdasarkan hasil penelitian itu dilakukan tanpa sedikit pun menyinggung Wilders. Akibat pengabaian pers itu Wilders dan kalangan ekstrim kanan sealiran sekarang punya lembaga penyiaran sendiri dalam media radio televisi Belanda. Menyebut diri Ongehoord Nederland (Belanda tak terdengar) siaran televisi mereka berlangsung siang hari sesudah jam makan siang. Patut dipertanyakan siapa pemirsa siaran yang berlangsung tanpa mengindahkan kaidah jurnalistik (meliput dua pihak) dan disarati seruan-seruan ideologis ini.
Sementara pers dan netizen tanah air ramai meributkan kicauan Geert Wilders, pemimpin partai ekstrem kanan PVV, ada satu hal penting yang luput dari perhatian mereka. Itulah desakan kepada pemerintah Belanda, setelah permintaan maaf Perdana Menteri Mark Rutte, supaya mengakui proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Desakan itu dikemukakan oleh Sjoerd Sjoerdsma, anggota parlemen fraksi demokrat D66. Democraten 66 (disingkat D66) adalah partai berhaluan liberal yang didirikan oleh sejumlah intelektual muda Belanda pada 1966. Angka 66 mengabadikan tahun berdirinya.
Sebagai juru bicara politik luar negeri partainya, Sjoerdsma juga mendesak supaya pemerintah Belanda memulihkan kehormatan orang-orang Belanda yang dipenjara selama perang kemerdekaan Indonesia, karena mereka menolak wajib militer. Kini mereka terbukti benar, padahal sudah sejak dulu mereka percaya bahwa Indonesia berhak untuk merdeka sepenuhnya dari penjajahan Belanda.
Sekarang tibalah saatnya untuk mengedepankan Sjoerd Sjoerdsma, dan melupakan Geert Wilders atau politikus ekstrem kanan Belanda lain yaitu Thierry Baudet yang juga mengeluarkan twit (cuitan) senada. Katanya sekarang suku-suku Indonesia sudah berada di bawah tirani Jawa. Katanya lagi, kita (Belanda) bisa menolong mereka, membantu mereka. Lihatlah apa yang sekarang terjadi di “Indonesia” dan di Afrika Selatan. Betapa menyedihkan semuanya, betapa itu kehilangan yang besar.
Entah mengapa Baudet yang merupakan cucu sejarawan Ernest Henri Philippe Baudet itu memasang tanda petik pada kata Indonesia. Baudet adalah pemimpin partai FvD (singkatan bahasa Belanda untuk Forum Demokrasi) partai yang beraliran kanan ekstrem, seperti Wilders. Kalau Wilders anti Islam, maka Baudet seperti mengikuti Nazi yang anti Yahudi. Bukan itu saja persamaan kedua politisi, keduanya sebenarnya juga punya darah Indonesia, mereka sering disebut kalangan Indo, walaupun Wilders berupaya menyembunyikan asal usulnya dengan mencat pirang rambutnya.
Baca juga: Tentang Belanda yang Janggal
Masih ada satu lagi orang Belanda terkemuka yang tidak setuju dengan hasil penelitian terhadap kekerasan yang dilakukan Belanda selama perang kemerdekaan Indonesia dahulu: itulah Pieter van Vollenhoven, paman Raja Belanda Willem-Alexander. Anggota keluarga kerajaan ini berpendapat bahwa tindakan masa lampau tidak bisa diukur dengan kaidah masa kini. Tapi siapa bilang itu sudah merupakan kaidah zaman sekarang? Zaman dulu saja sudah banyak orang yang tidak setuju dengan langkah militer ini. Mereka menolak wajib militer, dan karena itu dihukum penjara.
Kalau cuma disebut tiga contoh maka suara-suara yang memuji masa lampau kolonial Belanda ini kini sebenarnya sudah tidak begitu bergema lagi. Sampai abad lalu pendapat yang tidak mengutik-utik masa lampau itu begitu dominan di Belanda. Mungkin dimulai dengan Nota Ekses (De excessennota) yang disusun pada tahun 1969 atas permintaan Perdana Menteri Piet de Jong. Nota itu menyebut bahwa kejahatan yang dilakukan prajurit Belanda selama perang kemerdekaan Indonesia hanya merupakan ekses, tidak sistematis dan terstruktur. Prajurit Belanda pada umumnya berperilaku necis.
Adalah kalangan veteran juga yang mendesak Ratu Beatrix –melalui ayah sri Ratu yaitu pangeran Bernhard– supaya tidak mengadakan kunjungan kenegaraan tepat pada tanggal 17 Agustus 1995, saat Indonesia merayakan setengah abad proklamasi kemerdekaan. Selain menggeser kunjungan menjadi 21 Agustus 1995, para veteran juga ikut serta dalam rombongan sri Ratu. Bayangkan kalau dalam kunjungan kenegaraan seorang presiden Jerman ke Belanda, ikut serta para pensiunan SS atau prajurit Wehrmacht yang dulu pernah menduduki Belanda! Pasti negeri kincir angin menjadi ciut karena protes. Sekarang sudah banyak veteran tutup usia, jangankan dominan, kalaupun ada, suara mereka sudah tidak didengar lagi. Pers Belanda juga sudah bosan terus-terusan memberitakan mereka, termasuk kritik-kritik senada yang dilakukan oleh Wilders, Baudet dan Van Vollenhoven.
Walaupun sebagian besar veteran Belanda yang ikut bertempur dalam perang kemerdekaan Indonesia sudah tinggal nama, tidaklah berarti aspirasi mereka hilang ditelan zaman. Masih ada sisa-sisa mereka, bisa jadi juga anak cucu yang sekarang meneruskan aspirasi nenek moyang mereka. Hal itu bisa dilihat pada kasus pelaporan yang dialami oleh Bonnie Triyana, pemimpin redaksi Historia.ID. Menuduh Bonnie menyangkal apa yang mereka sebut periode Bersiap, beberapa gelintir orang Indo yang tergabung dalam FIN (Federasi Indo Belanda), melaporkan Bonnie kepada polisi. Di Belanda polisi tidak bisa langsung main tangkap, karena penangkapan harus terlebih dahulu disetujui oleh kejaksaan. Dan ternyata kejaksaan memang tidak setuju dengan laporan itu. Dengan demikian kasus ini dibekukan, dan Bonnie Triyana tidak sampai diadili di Belanda.
Kejaksaan Belanda juga menolak gugatan yang diajukan oleh Indisch Platform 2.0. Organisasi orang-orang Indo ini menggugat NIOD Institut Dokumentasi Perang Belanda yang mengadakan penelitian terhadap perang kemerdekaan Indonesia supaya menunda pengumuman hasil penelitian mereka sampai enam bulan. Selain menunda, mereka juga menuntut supaya NIOD membuka hasil penelitiannya kepada Indisch Platform 2.0 ini. Dengan begitu mereka bisa melihat dulu hasil penelitian NIOD, dan mencoreti hal-hal yang mereka anggap merugikan. Kejaksaan menyatakan tidak berwenang menangani gugatan itu, alhasil bekulah gugatan mereka.
Di sini tampak bahwa FIN maupun Indisch Platform 2.0. tidak punya pengaruh lagi dalam kehidupan umum di Belanda. Kalau dulu orang-orang Indo ini masih begitu berpengaruh sehingga kunjungan kenegaraan kepala negara Belanda bisa mereka geser, maka sekarang tidak ada lagi otoritas Belanda yang peduli aspirasi mereka. Upaya-upaya mereka (termasuk pelaporan Bonnie Triyana) bisa dianggap sebagai kejang-kejang terakhir sebelum kalangan Indo ini menghembuskan nafas terakhir, alias lenyap ditelan zaman.
Sebagai ganti kalangan konservatif ini, yang sekarang mulai mendapat perhatian adalah suara-suara yang lebih progresif, misalnya Sjoerd Sjoerdsma. Sjoerd Sjoerdsma, 40 tahun, adalah spesialis politik luar negeri paling menonjol dalam parlemen Belanda sekarang. Pernyataan-pernyataan kritisnya tentang situasi hak-hak asasi manusia di Rusia menyebabkan Sjoerdsma kena tangkal, tidak boleh masuk negeri Vladimir Putin. Cara bicaranya yang blak-blakan mengenai politik luar negeri yang biasanya dilakukan secara sopan santun diplomatis membuat Sjoerdsma juga tidak disukai oleh RRC, apalagi ketika ia mengajukan mosi dalam parlemen Belanda bahwa telah terjadi genosida terhadap warga minoritas Uighur yang beragama Islam. Beijing yang berang selanjutnya menangkal anggota parlemen Belanda ini. Walau begitu, dalam soal Indonesia, Sjoerd Sjoerdsma tampil sebagai seorang politikus yang benar-benar memahami hal-hal yang begitu diharapkan oleh warga bekas jajahan Belanda ini.
Baca juga: Dilema Belanda dalam Pengakuan Proklamasi 17 Agustus 1945
Dalam mata acara sejarah OVT yang disiarkan oleh NPO Radio 1 pada Ahad 19 Februari itu, Sjoerd Sjoerdsma menegaskan kenyataan bahwa Belanda tidak mengakui 17 Agustus sebagai hari kemerdekaan Indonesia merupakan kerikil yang mengganggu hubungan kedua negara. Indonesia sudah menanti selama 77 tahun bagi pengakuan itu. Itu harus dilakukan secara tertulis dan secara resmi disampaikan kepada Indonesia. Selain itu, pemerintah Belanda menurut Sjoerdsma juga harus memulihkan kehormatan lebih dari 5000 orang Belanda yang menolak ikut wajib militer dan dikirim ke Indonesia waktu berlangsung perang kemerdekaan. Banyak di antara para penolak wajib militer itu yang menjalani hukuman penjara sampai tiga tahun karena tidak sudi mengubah pendirian yaitu mengakui hak Indonesia untuk merdeka dari penjajahan Belanda.
Menurut Sjoerd Sjoerdsma kalau Belanda benar-benar secara resmi mengakui 17 Agustus 1945 sebagai hari kemerdekaan Indonesia, maka pengakuan itu akan berdampak panjang, terutama dalam menilai periode dekolonisasi antara 1945 hingga 1949. Langkah militer Belanda selama periode itu menjadi bukan lagi masalah dalam negeri, tetapi pemerintah Den Haag telah melakukan agresi atau serangan terhadap Indonesia. Dengan demikian bisa diterapkan konsep hukum perang humaniter, termasuk berlakunya istilah kejahatan perang untuk menyebut perilaku militer Belanda di Indonesia.
Baca juga: Harga untuk Kemerdekaan Indonesia
Pengakuan hari kemerdekaan Indonesia selalu merupakan ganjalan dalam hubungan kedua negara. Belanda selalu bersikukuh pada tanggal 27 Desember 1949 yang disebutnya sebagai “soevereiniteitsoverdracht” artinya penyerahan kedaulatan. Bagi Indonesia hari penandatanganan hasil Konferensi Meja Bundar ini merupakan pengakuan kedaulatan, karena kemerdekaan Indonesia sudah diproklamasikan empat tahun sebelumnya. Pada tahun 2005, tepat 60 tahun peringatan proklamasi kemerdekaan, menteri luar negeri Belanda Ben Bot menyatakan bahwa Belanda berada di sisi sejarah yang salah. Pada waktu itu menlu Bot yang kelahiran Cideng juga menyatakan bahwa Belanda secara politik dan moral menerima kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945.
Menerima jelas beda dari mengakui. Karena itu menurut Sjoerd Sjoerdsma pernyataan menlu Ben Bot itu tidak pernah bisa dipahami di Indonesia. Sebenarnya, sebelum Sjoerdsma, Jan Pronk, dalam jabatan menteri kerja sama pembangunan Belanda sudah terlebih dahulu mengajukan usul supaya pemerintah Belanda mengakui 17 Agustus 1945 sebagai hari kemerdekaan Indonesia. Menurut Pronk pada 1994, pengakuan itu harus dilakukan menjelang peringatan 50 tahun proklamasi kemerdekaan. Pronk mengajukan usul itu ketika di Belanda berlangsung protes terhadap kedatangan aktivis hak-hak asasi manusia Poncke Princen.
Baca juga: Perburuan Desersi Poncke Princen
Selama perang kemerdekaan Princen yang dikirim ke Indonesia sebagai prajurit Belanda, melakukan desersi dan berpihak pada Indonesia. Sejak itu dia ditangkal masuk Belanda, tapi pada 1994 menteri luar negeri Hans van Mierlo memberi visa masuk dengan alasan kemanusiaan. Usul Pronk untuk mengakui proklamasi ditolak, baik oleh pemerintah maupun masyarakat Belanda. Selain Pronk, penulis Graa Boomsma yang harus menghadapi amarah para veteran karena menyebut mereka sama dengan pasukan SS Nazi Jerman juga menganjurkan pengakuan itu. Sekarang setelah Belanda meminta maaf, maka pengakuan 17 Agustus 1945 sebagai hari kemerdekaan Indonesia merupakan langkah masuk akal berikut, demikian Sjoerdsma.
Aneh sekali kalau pers tanah air malah sibuk memberitakan Geert Wilders yang tidak bermakna itu sambil mengabaikan pendirian Sjoerd Sjoerdsma. Jelas tidak mungkin veteran Indonesia akan meminta maaf kepada Belanda, seperti dimaui Wilders. Kicauannya itu pasti bertujuan untuk menarik pemilih dari partai konservatif VVD pimpinan perdana menteri Mark Rutte, kalau kecewa atas permintaan maaf pemerintah, mereka masih bisa berpaling pada PVV, partai pimpinan Wilders. Patut dipertanyakan akan banyak orang tertarik. Sebaliknya akan sangat mungkin sekali, atas desakan Sjoerd Sjoerdsma, pemerintah Belanda bakal mengakui 17 Agustus sebagai hari kemerdekaan Indonesia. Apalagi, berbeda dengan Wilders dan Baudet yang beroposisi, partai demokrat D66 masuk dalam koalisi pemerintah Belanda, dan Sjoerdsma adalah juru bicara politik luar negeri fraksi D66 dalam de Tweede Kamer, parlemen Belanda.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar