Lika-liku Pembalap Perempuan di Gelanggang F1
Arena balap F1 melulu didominasi pembalap pria. Baru lima perempuan yang sanggup mengaspal di balapan resminya.
PARAS jelita, rambut pirang terurai indah, tatapan mata hijaunya meneduhkan, dan senyum manisnya memabukkan. Itulah gambaran sosok Jessica Hawkins.
Tak dinyana, perempuan cantik asal Inggris itu memperoleh ketenarannya bukan lewat catwalk yang lebih pas buatnya. Hawkins tenar justru oleh keberaniannya bergelut di gelanggang yang acap disebut olahraga maskulin: Formula One (F1).
Sebelumnya, si cantik kelahiran Headley, Inggris, 16 Februari 1995 itu malah merupakan stunt driver (pemeran pengganti pembalap) di film franchise James Bond, No Time to Die (2021). Setelah lama meniti karier di ajang-ajang balap level bawah seperti British Touring Car Championship dan W Series, Hawkins boleh berharap jadi pembalap perempuan keenam yang mengaspal di ajang F1.
Mengutip The Race, 25 Juni 2022, Hawkins mendapat promosi dan perpanjangan kontrak dua tahun di program balap salah satu tim F1, Aston Martin Cognizant. Sebelumnya, ia sekadar jadi duta tim Aston Martin sejak 2019.
“Memang (prospek F1) takkan terjadi dalam semalam. Akan tetapi saya juga tidak berpikir kami (pembalap perempuan) masih jauh untuk mewujudkannya. Kesempatan untuk itu akan sangat luar biasa dan sangat jarang terdengar selama ini,” kata Hawkins.
Hawkins tentu bukan satu-satunya yang bisa menembus F1 sebagai development driver. Sebelumnya ada Emma Gilmour yang tahun ini di tim McLaren, Maya Weug di tim Ferrari sejak 2021, Jamie Chadwick (Williams sejak 2019), Tatiana Calderón (Sauber, 2018), dan Carmen Jordá (Lotus [2015] dan Renault [2016]).
Namun, mampukah mereka menembus F1 sebagai “the real driver”?
Sudah tiga dekade para pembalap perempuan sekadar jadi “penghias” di F1, entah sebagai development driver atau paling banter test driver –karier balap mereka mentok di ajang balap kasta medioker macam W Series, Formula 3, atau Formula E. Susie Wolff, yang digadang-gadang bakal jadi penerus Giovanna Amati, saja mentok hanya jadi test driver tim Williams (2012-2015). Padahal, selain skill Susie juga istri Torger “Toto” Wolff, eks pembalap dan team principal tim Mercedes.
Selain minim animo perempuan muda meretas karier di ajang-ajang go-kart yang lazim jadi “jenjang” awal jadi pembalap F1, para pemandu bakat dari tim-tim F1 masih acap memandang sebelah mata para dara.
“Sepanjang sejarah F1 hambatan yang dihadapi perempuan nyaris tak pernah berubah. Para pembalap perempuan dianggap tak punya masa depan di level top. Para pemandu bakat selalu berasumsi pembalap perempuan takkan pernah berhasil menembus F1. Kesimpulannya mereka dianggap takkan pernah bisa berkembang hanya karena mereka perempuan” kata jurnalis dan pemerhati dunia balap Hazel Southwell di kolomnya di Motorsport, 5 April 2022.
Para Perempuan Pionir
Sudah tiga dasawarsa ajang F1 kering pembalap perempuan. Giovanna Amati tercatat sebagai perempuan yang terakhir mentas di arena F1, musim 1992.
Perempuan kelahiran Roma, Italia pada 20 Juli 1959 itu bisa terjun ke dunia balap yang tergolong olahraga mahal karena latarbelakang keluarganya. Ibunya aktris ternama, Anna Maria Pancani, dan ayahnya konglomerat dunia film, Giovanni Amati. Saking kayanya, Amati bahkan pernah jadi korban penculikan selama 75 hari pada 1978. Dia selamat setelah ditebus keluarganya 800 juta lira.
Setelah merintis karier di dunia balap lewat ajang Formula 3000 pada 1981-1991, Amati direkrut tim F1 Brabham pada 1992. Alasan perekrutannya, pertama, karena Brabham butuh suntikan dana; kedua, Amati merupakan opsi alternatif lantaran niat Brabham mendatangkan jawara Japanese F3000, Akihiko Nakaya, gagal terealisasi. Untuk alasan pertama, Amati disebutkan menjanjikan 3 juta dolar untuk mendapat kursi di mobil Brabham.
“Terdengarnya mudah tapi sebenarnya sebaliknya. Saya ditelepon pada Januari dan musim itu dimulai pada Maret dan saya awalnya tak tahu bagaimana mendapatkan uangnya. Saat itu saya sedang bersiap balapan Indy Formula di Amerika Serikat dan hanya punya dua pekan mencari budget-nya. Ayah sudah tiada tapi saat itu salah satu sahabatnya menjadi perdana menteri Italia (Giulio Andreotti). Di saat-saat akhir, saya bisa dibantu mendapat budget-nya,” kenang Amati kepada BBC, 13 November 2015.
Baca juga: Apa Kabar Michael Schumacher?
Manajemen Brabham pun mencapai kata sepakat dengan Amati pada 5 Februari 1992. Amati berhak mengaspal di musim 1992.
Prestasi Amati namun jauh dari kata gemilang. Di tiga seri awal (grand prix Afrika Selatan, Meksiko, dan Brasil), Amati gagal lolos sesi kualifikasi. Brabham lantas mendepak Amati dan menggantikannya dengan test driver Damon Hill.
“Eric van de Poele yang masih memegang uang sponsor tetap bertahan di Brabham. Sementara uang yang dijanjikan Amati juga tidak terpenuhi. Brabham lantas menawarkan kursi kosong itu kepada saya,” tulis Hill dalam otobiografinya, Watching the Wheels.
Kegagalan Amati jadi pukulan tersendiri bagi kaum Hawa. Terlebih sudah 12 tahun F1 tak diikuti pembalap perempuan. Amati juga gagal tampil lebih baik dari Desiré Wilson yang menempati kokpit tim Williams pada musim 1979.
Wilson yang lahir di Brakpan, Afrika Selatan, pada 26 November 1953 sudah membuka jalan di dunia balap sejak usia 12 tahun lewat ajang mobil midget. Pada 1972, ia sudah memegang superlisensi FIA untuk tampil di Formula Vee Championship. Lima tahun berselang, ia naik level hingga Formula Ford 2000. Di musim 1979, ia bergabung dengan tim F1 Melchester Racing.
“Desiré sukses di Aurora British Formula 1 (1978) dengan dukungan (mentor) John Webb dan Nick Challis. Webb pula yang membantu negosiasi dengan tim Melchester untuk Desiré bisa bergabung. Mereka mencapai kesepatan beberapa hari sebelum liburan Natal (1978),” tulis Alan Wilson dan Andrew Marriott dalam Driven by Desire: The Desiré Wilson Story.
Baca juga: Kontroversi Schumi
Memiloti kokpit mobil Tyrell 008, Wilson mengaspal di seri non-championship Brands Hatch. Setelah lolos sesi kualifikasi di urutan kesembilan, Wilson tampil penuh 38 lap dan finis di urutan yang sama saat start. Kesempatannya mentas di seri resmi terjadi pada 1981 saat sudah pindah ke tim Tyrell Racing.
“Musim 1981 sempat kacau karena perseteruan otoritas balap FISA (Fédération Internationale du Sport Automobile) dan FOCA (Formula 1 Constructors Association). Beberapa pekan sebelum balapan, (bos FISA) Bernie Ecclestone mengontak Desiré dan berencana menempatkannya di tim Brabham walau deal-nya tak terwujud. Namun kemudian Ken Tyrell meneleponnya: ‘Anda akan balapan buat saya. Ikutlah ke Afrika Selatan dan kita bertemu di sana’,” imbuh Wilson dan Marriott.
Namun, dalam satu-satunya kesempatan di seri pertama grand prix Afrika Selatan, Wilson gagal finis gegara terlibat kecelakaan. Mobil Tyrell 010-nya tergelincir di lap ke-52. Desiré lalu beralih ke ajang FIA World Endurance Championship dan Indy Car World Series sebelum pensiun pada 1999.
Catatan Wilson pun tak ubahnya dengan seniornya, Divina Galica, di musim 1976 dan 1978. Keunikan Galica yakni tak memulai kariernya langsung di dunia balap. Figur kelahiran Bushey Heath, Inggris pada 13 Agustus 1944 itu mulanya atlet ski.
“Galica turut dalam tim ski putri Inggris di Olimpiade (musim dingin) 1964, 1968, dan 1972 di mana ia jadi kapten timnya. Di tiga Olimpiade Musim Dingin itu ia turun di nomor downhill, slalom, dan giant slalom. Di Olimpiade keempatnya ia turun di nomor speed skiing yang baru menjadi cabang demonstrasi,” catat James Holder dalam Sport’s Great All-Rounders.
Baca juga: Jagoan di Dua Lintasan Balapan
Tak lama setelah Olimpiade 1972, lanjut Holder, Galica menumbuhkan minat di dunia balap usai menerima undangan untuk berpartisipasi di sebuah ajang balap selebritis. Mengetahui dirinya punya bakat balap, Galica pensiun dari olahraga ski dan mulai membuka karier balapnya dari ajang-ajang go-kart. Ia lantas masuk Formula 2 dengan dimentori John Webb dan Nick Whiting.
“Musim 1976 dia masuk British Grand Prix (F1) dengan mobil Surtees, membuatnya jadi perempuan ketiga yang mengaspal di ajang grand prix, tetapi di mobil bernomor 13, untuk pertamakalinya dalam 13 tahun terakhir sebuah mobil menggunakan nomor ini, keberuntungannya lenyap dan dia gagal finis. Dua tahun berikutnya dia ditawarkan balapan lagi di Formula 1 di mobil Hesketh walau kemudian juga gagal menyelesaikan balapan di dua seri awal, Argentina dan Brasil,” lanjut Holder.
Meski gagal di F1, dunia balap tetap diteruskan Galica hingga 1980 usai “turun kasta” ke European Formula 2. Namanya memang tetap masuk di daftar sejarah F1 sebagai pembalap perempuan ketiga, tetapi prestasinya masih jauh di bawah koleganya yang tiga tahun lebih tua, Lella Lombardi.
Lombardi tercatat sebagai perempuan kedua di kokpit mobil F1 dan hingga kini masih jadi satu-satunya yang mampu mencetak poin. Sosok kelahiran Frugarolo, Italia, 26 Maret 1941 itu punya latar belakang unik. Lombardi tak datang dari keluarga kaya. Ayahnya sekadar tukang daging dan perkenalannya dengan otomotif hanya lewat profesinya sebagai supir mobil angkut daging di toko ayahnya.
Baca juga: Stirling Moss, Raja Balap tanpa Mahkota
Obsesi Lombardi pada dunia balap mobil amat besar. Sedikit demi sedikit ia tabung uangnya yang tak seberapa untuk meretas karier di ajang go-kart. Ia kemudian bisa membeli mobil untuk ikut Formula Monza lewat jejaring pertemanannya di sebuah klub mobil.
“Dia selalu bercerita bagaimana ia berkorban. Dia bukan orang kaya. Ayahnya hanya tukang daging dan dia memulai kariernya tanpa sponsor. Dia bahkan harus tidur di mobilnya untuk berhemat,” kenang Giusy Remondi, teman dekat Lombardi yang juga terlibat di tim Lella Lombardi Autosport, kepada majalah Motorsport edisi April 2015.
Dalam kurun 10 tahun sejak 1964, Lombardi melewati banyak cibiran dan diskriminasi. Namun itu tak berhasil menghentikannya berprestasi di arena Formula Monza, Formula 3, dan Formula Ford. Mimpi Lombardi sebagai pembalap perempuan kedua di F1 menemui wujudnya di musim 1974 kala ia berhasil mengamankan satu kokpit di tim Brabham dengan bantuan Angela Webb, istri eks pembalap dan pemilik sirkuit Brands Hatch.
“Kami menggelontorkan lima ribu poundsterling untuk menyewa sebuah mobil dari Bernie Ecclestone sebagai satu-satunya investasi kami bagi Lella. Dia kesulitan mendapatkan sponsor tetapi tak pernah meminta ongkos ketika harus terbang menuju tempat balapan. Itu hal yang tak lazim di antara para pembalap,” ungkap Webb.
Sayangnya kiprah Lombardi di musim 1974 sebatas tampil di Grand Prix Inggris. Itupun ia gagal lolos kualifikasi. Saking kecewanya, Lombardi merasa seperti disabotase.
“Soal Formula 1, Lella hanya komplain terkait ketidaksetaraan karena tiada seorang pun yang mau mendengarnya soal perbaikan mobil,” sambung Remondi.
Tetapi tak semua pihak di F1 ingin segera menyingkirkan Lombardi. Tim March justru bersimpati kepadanya dengan menawarkannya tampil di mobil ketiga selama semusim penuh pada 1975 bersama Vittorio Brambilla dan Hans-Joachim Stuck.
Baca juga: Angkernya Sirkuit Nürburgring
Lombardi mengaspal di 12 seri. Prestasi terbaiknya, finis di urutan keenam di GP Spanyol. Capaian itu mengukir sejarah di mana Lombardi hingga kini jadi satu-satunya pembalap perempuan yang mengoleksi poin (0,5).
Di musim terakhirnya, 1976, Lombardi hanya mampu finis terbaik di posisi 12 dari empat seri yang diikuti.
“Yang saya ingat penampilan terbaiknya ada di Nürbürgring (GP Jerman, finis ketujuh). Itu yang paling saya ingat. Ia tampil sangat impresif dan lebih baik dari performanya di Montjuïc (GP Spanyol),” kenang Robin Heard, salah satu pendiri tim March.
Capaian Lombardi cukup membanggakan. Ia sekaligus menyambung tongkat estafet prestasi pembalap perempuan dari sang perintis 15 tahun sebelumnya, Maria Teresa de Filippis.
De Filippis bisa terjun ke dunia balap karena lahir dari keluarga bangsawan. Sebagai anak bungsu dari lima bersaudara, masa kecil perempuan kelahiran Napoli, 11 November 1926 itu umumnya kaum ningrat yang hobi berkuda dan bermain tenis.
Ia jatuh cinta pada balap mobil ketika sudah beranjak kepala dua. Itupun gegara diledek kedua kakaknya, Antonio dan Giuseppe, bahwa dia takkan mampu menyetir mobil apalagi jadi juara balapan.
Baca juga: Sirkuit Jalanan Lintas Zaman
De Filippis membuktikan sebaliknya saat menjajal ajang balapan cross country sejauh 10 kilometer antara kota Salerno dan Cava de’Tirreni pada 1948. Mengendarai mobil Fiat 500 “Topolino”, De Filippis membungkam cibiran kedua kakaknya dengan merengkuh juara.
“Setelah berkuda, kecintaan saya adalah mobil. Saya senang dengan kecepatan dan ketegangannya. Kakak-kakak saya bertaruh bahwa saya takkan bisa jadi pengemudi yang cepat. Lalu ayah memberikan saya mobil Fiat 200. Saat itu usia saya 22 tahun dan saya menang balapan pertama saya. Di situlah semuanya bermula,” ujar De Filippis, dikutip majalah Motorsport edisi Februari 2012.
De Filippis terjun ke sebuah kejuaraan mobil sport nasional pada 1954 dengan dukungan penuh ayahnya. Dia berhasil jadi runner up-nya. Hasil serupa ia rengkuh lagi ketika mengaspal di Grand Prix Napoli 1956 dengan mobil Maserati 200s-nya. Di ajang ini pula ia bertemu kekasihnya yang juga pembalap saingannya, Luigi Musso.
Mussolah yang lantas mementori De Filippis untuk menyempurnakan teknik-teknik balap. Itu lalu dijadikan De Filippis sebagai modal untuk memberanikan diri menembus F1 pada 1958 tanpa sponsor. De Filippis tampil sebagai pembalap pribadi tanpa mau dinaungi sponsor atau tim manapun.
Baca juga: Melintasi Sirkuit Politik Max Mosley
Ia hanya butuh mobil yang tepat, yakni Maserati 250F, mobil yang membawa mentor De Filippis lain, Juan Manuel Fangio, memenangi gelar dunia F1 musim 1957. Meski pada debutnya di GP Monza gagal kualifikasi, De Filippis tampil impresif di GP Belgia dengan finis di urutan ke-10. Ia bahkan finis kelima di GP Syracuse.
Sejumlah tawaran pun mendatanginya, termasuk dari tim Ferrari. Tapi De Filippis menolaknya. Di paruh musim, ia lebih memilih bernaung di tim Centro Sud Maserati milik Guglielmo ‘Mimmo’ Dei.
“Apakah karena saya orang Italia jadinya harus di Ferrari? Saat itu saya tak ingin diperintah-perintah Tuan (Enzo) Ferrari. Saya bicara padanya dan menolak tawaran ke timnya. Di masa itu semua orang menuruti perintahnya. Tapi tidak dengan saya. Di Maserati saya merasa lebih seperti keluarga dan lebih mudah untuk saling bicara,” tambahnya.
Baca juga: Seteru Sengit di Sirkuit
Namun, setahun berselang prestasi De Filippis menukik tajam. Hanya dua kali De Filippis mentas di musim 1959 dan tak sekalipun mencapai garis finis.
Pada 1960 ia pensiun. Setelah menikah dengan ilmuwan kimia Theodor Huschek dan menjauhkan diri dari dunia balap, De Filippis kembali ke circle balap dengan menjadi anggota International Club of Former F1 Grand Prix Drivers. Ia kemudian jadi wakil presidennya, hingga wafatnya pada 8 Januari 2016.
“Kami (dunia balap) kehilangan salah satu sosok pionir, Maria Teresa de Filippis, perempuan pertama yang balapan di F1. Beristirahatlah dengan tenang,” cetus eks-pembalap Alexander Wurz, dikutip The Guardian dalam obituarinya, 9 Januari 2016.
Baca juga: Garis Start Valentino Rossi
Tambahkan komentar
Belum ada komentar