Garis Start Valentino Rossi
“Broken home” sejak kecil hingga putus sekolah, Valentino Rossi menggeber reputasinya di arena balap hingga namanya melegenda.
New Normal dengan beragam protokol kesehatan tak benar-benar efektif menangkal penyebaran virus Covid-19 (virus corona). Setelah megabintang Juventus asal Portugal Cristiano Ronaldo positif Covid-19, kini giliran pembalap MotoGP legendaris Valentino Rossi yang terjangkit.
“Sayangnya, pagi ini saya bangun dengan keadaan yang tidak baik. Tulang-tulang saya terasa nyeri dan saya mengalami demam, jadi segera memanggil dokter yang kemudian melakukan dua kali tes pada saya,” ungkap Rossi di akun Twitter-nya, @ValeYellow46, Kamis (15/10/2020).
“Hasil tes cepat PCR-nya negatif, seperti halnya hasil tes pada Selasa. Tetapi pada tes kedua sore ini, sayangnya (hasilnya) positif. Saya kecewa harus melewatkan balapan di Aragon. Saya sedih dan marah karena saya berusaha keras mematuhi protokol (kesehatan). Saya tak bisa melakukan apapun untuk mengubah situasinya. Saya akan mulai mengikuti anjuran medis dan saya berharap bisa segera pulih,” sambung pembalap gaek tim Monster Energy Yamaha itu.
Baca juga: Cristiano Ronaldo, Lebah Kecil dari Madeira
Sebelum dikabarkan positif, Rossi musim ini sempat menjalani GP Prancis di Sirkuit Le Mans, 11 Oktober lalu. Hasilnya getir, dia gagal finis untuk kali ketiga berturut-turut. Posisinya di klasemen pun memprihatinkan: urutan ke-13.
Kondisi buruk kesehatan dan prestasi itu bisa jadi bakal mengubur ambisi Rossi untuk mengukir catatan manis sebelum mengakhiri karier MotoGP-nya yang telah diikutinya sejak 24 tahun lalu. Akankah keadaan getir dan prestasi buruk di arena balap tersebut menjadi antiklimaks buat pembalap yang punya sembilan gelar juara dunia itu?
Ayah Sang Inspirator
Kecintaan Rossi pada balap motor menurun dari ayahnya, Graziano Rossi, yang merupakan pembalap motor. Menilik silsilah Graziano, ia lahir di Pesaro pada 14 Maret 1954 di keluarga sederhana. Diuraikan Stuart Barker dalam Valentino Rossi: The Definitive Biography, ayah Graziano, Dario Rossi, merupakan pengrajin mebel. Sementara ibunya, Denise Pierantoni, ibu rumah tangga.
Dari garis ibu, ibunda Rossi Stefania Palma merupakan anak seorang sopir truk. Sedangakan ibunya perawat.
“Keluarga Palma tinggal dekat dengan keluarga Rossi dan Graziano serta Stefania tumbuh bersama, menjadi kekasih di masa muda dan akhirnya menikah pada Oktober 1978,” tulis Barker.
Baca juga: Konflik Valentino Rossi, Dulu dan Kini
Pada 16 Februari 1979, Stefania melahirkan Valentino Rossi di Urbino. Sebagaimana diterangkan sang pembalap dalam otobiografinya, What If I Had Never Tried It, nama “Valentino” dipilih Graziano bukan semata karena Rossi lahir di bulan Februari atau bulan valentin, tapi dipilih untuk menghormati nama sahabatnya yang merakit motor pertama Graziano kala meniti karier di motocross pada 1971.
“Ayah saya menamai begitu karena dia ingin menghormati salah satu sahabatnya yang pada usia 18 tahun meninggal karena tenggelam di laut dekat daerah Pesaro (Laut Adriatik, red.),” tutur Valentino.
Baca juga: Kisah Pembalap yang Muda Melegenda, Tua di Panti Wreda
Saat Rossi lahir, Graziano sedang berada di akhir paruh pertama kariernya di MotoGP. Graziano sudah mengikuti ajang itu sejak 1977, di kelas 500cc bersama tim Suzuki.
Namun, karier Graziano tak pernah mulus. Ia sering kecelakaan dan mulai direpotkan cedera, hingga akhirnya gantung helm di akhir musim 1982. Alhasil sampai kariernya berakhir, Graziano selalu pupus mewujudkan ambisinya mengoleksi gelar juara dunia.
Graziano sempat turun kelas pada 1979. Hasil terbaiknya di akhir klasemen hanya menjadi juara tiga bersama tim Morbidelli. Sementara di kelas 500cc, ia lebih sering “diasapi” pembalap-pembalap lain, termasuk oleh bintang MotoGP asal Italia Giacomo Agostini.
Hasil terbaiknya saat naik lagi ke kelas 500cc hanya juara lima di akhir musim 1980. Graziano akhirnya terpaksa pensiun karena mengalami kecelakaan lebih parah di Sirkuit Imola pada akhir 1982. Kecelakaan terjadi saat dia memacu motornya dengan kecepatan 150 mil per jam di tikungan “Villeneuve”, membuatnya nyaris kehilangan nyawa di usia 28 tahun.
“Saya sempat koma selama setengah hari tetapi Dokter Costa menciptakan salah satu mukjizatnya dan menyelamatkan nyawa saya. Sejak saat itu saya tahu bahwa saya harus berhenti (balapan),” kenang Graziano, dikutip Barker.
Meneruskan Ambisi Sang Ayah
Lahir dari ayah pembalap membuat Rossi sudah bersentuhan dengan dunia balap sejak dini. Saat anak-anak lain di usia lima tahun bermain bola atau beragam mainan anak lain, Rossi cilik justru gemar menyusun batang-batang korek api menjadi trek balapan dan kotak korek apinya ia mainkan sebagai mobil balapnya.
Wahana roda dua pertamanya tentu saja sepeda. Tapi baru tiga hari dibelikan sepeda dengan sepasang roda tambahan, Rossi sudah berani melepasnya. Adrenalin balapnya mulai dipupuk setelah dibelikan gokar dan motocross mini seiring bertumbuhnya usia.
Baca juga: Balapan Mengusung Ulah Adigung
“Itulah pengalaman masa kecil saya. Saat saya masih jadi anak yang manis dan penurut. Lalu saya berubah menjadi liar saat mulai kenal mesin beroda dua,” sambung Rossi dalam otobiografinya.
Sang ibu, Stefania, padahal berharap Rossi tak mengikuti jejak ayahnya. “Di masa kecil Valentino dibesarkan dengan dua karakter orangtuanya, ibarat elemen ‘yin’ dari Stefania dan elemen ‘yang’ dari Graziano. Sementara sang anak seorang yang eksentrik, sang ibu lebih rasional dan ‘normal’. Ia seorang surveyor di Dewan (kota) Tavullia yang berharap putranya tumbuh menjadi insinyur atau arsitek, dua profesi yang paling terhormat di Italia saat itu,” tulis Barker.
Semasa ayahnya masih balapan, Rossi bahkan sudah dikenal di antara rekan-rekan pembalap se-era ayahnya. Graziano sering mengajak Rossi ke paddock, sesering itu pula Rossi bermain dengan sepeda atau skuternya ke paddock-paddock tim lain.
“Saya ingat dia ketika masih sangat kecil, menunggangi skuter atau sepeda di jalur orang-orang di paddock. Tapi itu kelakuan bocah yang sama seperti anak-anaknya Kenny Roberts Sr. dan anak-anak pembalap lainnya di paddock,” kenang Steve Parrish, pembalap MotoGP era 1970-an, dikutip Barker.
Sebelum menginjak usia remaja, Rossi sempat diarahkan ibunya untuk balapan di arena gokar. Bagi ibunya, gokar sedikit lebih aman ketimbang motor. Namun Rossi tetap memilih roda dua meski punya prestasi lumayan di balap gokar.
Baca juga: Pembalap Pengibar Merah Putih di Makau
“Karier balapan Valentino Rossi dimulai di (balapan) gokar pada 1989 dan dia langsung jadi pembalap yang kompetitif. Pada April setahun kemudian sudah memenangi balapan pertamanya dan di akhir 1990, dia sudah memenangi kejuaraan regional dengan total kemenangan di sembilan race. Dia punya bakat alami di roda empat, namun di masa itu ketertarikannya teralihkan dengan kehebohan terbaru di Italia: balapan minomoto,” tambah Barker.
Namun sebelum Rossi beralih ke roda dua, keluarganya diterpa prahara. Ia tetiba jadi anak broken home kala usianya baru menginjak 11 tahun karena ayah dan ibunya bercerai.
“Saya pikir, dia (Graziano) menikahi saya hanya karena sedang bingung. Kami bertemu di usia yang sangat muda. Saya rasa, itulah alasannya mengapa hubungan kami tak berhasil,” kata Stefania kepada Mat Oxley yang menuangkannya dalam biografi berjudul Valentino Rossi: Portrait of a Motogenius.
Selepas perceraian itu, Rossi tinggal bersama Stefania di Desa Montecchio. Meski begitu, Stefania tak pernah membatasi mantan suaminya untuk bertemu Rossi. Setelah bercerai, Graziano tinggal tak jauh dari rumah Stefania, sekira empat setengah mil dari kota Tavullia. Walau Rossi tinggal dengan ibunya, di rumah Grazianolah Rossi punya semua mainannya seperti gokar dan motocross mini.
“Menurut Graziano, Rossi muda anak yang manis dan cerdas. Juga anak yang selalu penasaran dan ingin tahu. Ia juga kemudian mulai berteman baik dengan Alessio ‘Uccio’ Salucci yang kemudian akan selalu jadi tangan kanan Rossi di setiap Grand Prix sejak 1996,” tambah Barker.
Baca juga: Stirling Moss, Raja Balap tanpa Mahkota
Pada 1991, Rossi naik ke kejuaraan nasional junior gokar dan di akhir musim finis di urutan kelima. Di tahun itu pula dia memenangkan balapan minimoto dan insyaf bahwa roda dua lebih menyenangkan ketimbang roda empat. Balapan motor pertama Rossi terjadi di dekat Miramere di Rimini tahun itu. Tidak ada satupun yang bisa mendekati Rossi saat balapan di malam itu.
Rossi mulai menjajal motor besar di ajang roadbike Italian Sport Production Championship pada 1993. Ia menunggangi motor Cagiva Mito 125cc di tim Cagiva Sport Production Team berkat bantuan ayahnya dan Virginio Ferrari yang berhasil melobi pemilik Cagiva, Claudio Castiglioni, sehingga Rossi dimasukkan ke tim pimpinan Claudio Lusuardi yang berbasis di Magione itu.
Nahas, dalam penjajakan dengan motor yang besar itu sebelum dimulainya musim 1993, Rossi malah terjatuh. Pun dengan percobaan kedua, saat baru enam lap, dia jatuh lagi. Seiring dengan kekhawatiran sang ayah keselamatan putranya, seisi tim mulai meragukan pembalap bau kencur itu.
“Tim mulai meragukan kemampuan saya. Sungguh awal yang payah. Saya sadari, saya terlalu memaksakan motor di luar kewajaran dan terburu-buru,” kenang Rossi.
Namun saat musim 1993 bergulir, pencapaian Rossi terbilang lumayan. Setahun berselang, ia dikontrak Cagiva sebagai pembalap resmi. Ayahnya pun mulai membantu menyusun program demi modal menyongsong karier secara profesional.
Baca juga: Jagoan Dua Lintasan Balap
Sementara, menanjaknya karier balap Rossi berbanding terbalik dengan pendidikannya. Rossi bukan anak yang betah berlama-lama duduk di bangku sekolah. Ia membenci pelajaran sejarah seni. Para gurunya pun sering protes lantaran Rossi acap absen kala jadwal balapan berlangsung.
Rossi akhirnya tiba pada keputusan untuk berhenti dari SMA Liceo Mamiani di Pesaro pada usia 16 tahun. Ia mantap memilih jalan ke masa depannya lewat arena balap. Pada 1995, dia mulai mentas di ajang Eropa.
“Saya bukan murid terbaik di sekolah. Dan jelas saya bukan yang terbaik pula dalam hal memperhatikan pelajaran di kelas. Saya benar-benar tak tertarik,” tutur Rossi dikutip Barker.
Selepas juara dengan tim Cagiva, Rossi ganti motor ke motor purwarupa Sandroni 125 bermesin Rotax-Aprilia untuk kejuaraan Eropa. Motor itu dibangun Guido Mancini, mantan rekan setim ayahnya. Pada musim gugur di tahun yang sama, Rossi direkrut tim Aprilia. Lagi-lagi, ada tangan ayahnya di balik kontrak itu.
“Pada 1995 Graziano sering menghubungi saya. Waktu itu saya memimpin program balapan tim pabrikan Aprilia, termasuk yang bertanggungjawab atas perekrutan pembalap. Sedikitnya Graziano 25 kali menelepon saya, selalu mendesak untuk datang dan melihat putranya balapan. Sejujurnya saya sangat terkesan dengan dia (Valentino),” ungkap Pernat dikutip Barker.
Baca juga: Enam Nomor yang Dipensiunkan di Lintasan
Pernat kagum pada gaya membalap Rossi yang kaya manuver. “Saya segera berpikir, entah dia gila atau memang seorang juara. Karena dia sering melakukan manuver aneh di sepanjang trek dan cara dia menikung dan bergerak, mengingatkan saya pada Kevin Schwantz. Vale sangat mirip dengan Schwantz –keduanya menunggangi motor seolah-olah seperti naik sepeda, meluncur dan bersenang-senang,” sambungnya.
Rossi pun bermotor Aprilia saat mengikuti GP 125cc musim 1996. Dalam kontrak tahun pertamanya, Rossi diupah 60 juta lira.
Bayaran itu membuat keputusan Pernat dipertanyakan oleh petinggi lain di timnya: mengapa memberi kontrak setinggi itu untuk seorang debutan. Ivano Beggio dan Jan Vitteven dua dari beberapa petinggi tim meragukan rekrutan baru itu bakal jadi pembalap juara.
“Beggio mempertanyakan nilai kontrak itu. Saya yakin karena pernah menemukan seorang Max Biaggi dan Alessandro Gramigni yang sering menang balapan. Dia pun menyerahkan tanggungjawab (Valentino) ini kepada saya. Saya pikir Valentino berutang banyak pada ayahnya yang selalu membantunya di awal karier,” tandasnya.
Baca juga: Gas Pol Balapan di Tengah Pandemi Virus
Kepercayaan Pernat pada Rossi pada akhirnya dibayar lunas Rossi di musim keduanya, 1997. Rossi menyabet gelar juara dunia MotoGP kelas 125cc. Itu jadi titik pijak Rossi buat terus menanjak dan dikenal luas di pentas MotoGP hingga kini sekaligus menebus ambisi ayahnya.
Sejak debutnya pada 1996 itu pula Rossi tak pernah mengganti nomornya: 46. Nomor itu yang dipakai pembalap Jepang yang dikaguminya serta nomor yang dipakai ayahnya saat juara tiga di kelas 250cc musim 1979, tahun di mana Rossi lahir ke dunia.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar