Sirkuit Jalanan Lintas Zaman
Akankah Jakarta dengan Formula E-nya bakal menambah panjang daftar sirkuit jalanan dari masa ke masa?
EUFORIA bercampur rasa penasaran begitu terasa di hati begitu satu per satu mobil Formula One (F1) menampakkan diri di depan mata saya, yang duduk di tribun Nicoll Highway, menjelang start Grand Prix Singapura 2014. Itu kali pertama saya menyaksikan langsung balapan F1, 21 September 2014.
Perasaan itu masih bertahan di lap-lap awal. Para pembalap masih sengit saling beradu skill di balik kemudi mobil masing-masing. Tapi beberapa lap kemudian, utamanya saat jarak masing-masing mobil melebar, kantuk mulai menyerang mata.
Rasa kantuk itu baru buyar kala pembalap tim Sauber Adrian Sutil bertabrakan dengan pembalap tim Force India Sergio Pérez, tepat di depan mata. Para penonton lain di tribun tak kalah kaget.
Selain jadi debut menyaksikan balapan F1 secara langsung, itu juga jadi momen pertama saya merasakan atmosfer balapan malam di Marina Bay Circuit. Arena balap ini merupakan sirkuit jalanan yang disediakan pemerintah Singapura untuk masuk kalender F1 sejak 2008.
“Anda harus punya dukungan penuh dari pemerintah. Kalau pemerintah tidak aktif bergerak, akan sulit bisa membawa F1 ke Indonesia,” kata Fiona Smith, asisten Direktur Media dan Komunikasi GP Singapore PTE. Ltd, kala berbincang di executive box Sirkuit Marina Bay pada malam sebelum race.
Kendati mesti bermodal besar, kata Fiona, ajang F1 jadi investasi menguntungkan buat perekonomian negerinya. “GP Singapura sangat berperan besar secara signifikan untuk meningkatkan pelancong (mancanegara, red) datang ke sini. Begitupun dengan perekonomian negara. Contoh singkat, hotel-hotel di sini hampir semua pasti penuh ketika F1 dan mereka tentu pasang harga dua atau tiga kali lipat dari biasanya,” sambungnya.
Indonesia sedianya pernah ingin menggelar F1 dengan membangun Sirkuit Sentul pada 1990-an, namun batal. Belakangan, upaya mengikuti jejak Singapura mencuat. Mengutip Kumparan, 14 Juli 2019, Pemprov DKI Jakarta siap membawa ajang balap mobil Formula ke ibukota.
Baca juga: Menukil Memori Sirkuit Sentul
Bukan F1 memang yang akan dibawa ke ibukota, melainkan Formula E alias ajang balapan mobil bertenaga listrik internasional. Gubernur DKI Anies Baswedan menyatakan, pihaknya sudah bernegosiasi dengan FIA selaku badan yang menaungi ajang-ajang balapan dunia.
Perwakilan Formula E juga sudah datang untuk mengecek area-area yang akan disiapkan untuk jadi sirkuit jalanan pada 8-9 Juli 2019. Dua rute yang disiapkan yakni di seputaran tenggara Silang Monas dan Jalan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat.
Kendati begitu, dilansir Motorsport edisi 14 Juli 2019, FIA Formula E menyatakan bahwa pihaknya masih dalam tahap pembicaraan serius. Pun begitu mereka belum bisa menyampaikan pengumuman resminya.
Sirkuit Jalanan Tertua
Jika Formula E jadi dihelat, Indonesia bakal mengikuti atau bahkan menyaingi Singapura sebagai satu-satunya pemilik sirkuit jalanan dan balapan malam di Asia. Sirkuit jalanan merupakan pengalihfungsian sementara waktu jalur lalu lintas untuk arena balapan.
Lazimnya, sirkuit jalanan berada di kota-kota metropolitan. Alasannya, untuk mendongkrak turisme. Sirkuit jalanan tertua yang masih digunakan untuk balapan jet darat adalah Circuit de Monaco yang berada di Monako, negeri seluas 202 hektar di selatan Prancis yang benderanya sama dengan Indonesia.
Baca juga: Pengibar Merah Putih di Makau
Esksistensi balap jalanan sendiri dimulai pada akhir abad ke-20. Umumnya, trek balap jalanan itu antarkota. Paris-Amsterdam-Paris Race yang diadakan Automobile Club de France (ACF) pada 1898, contohnya. Ada pula Eifelrennen, yang dihelat sejak 1922, dengan treknya membentang dari kota Nideggen-Wollersheim-Vlatten-Heimbach-Hasenfeld di Pegunungan Eifel, Jerman.
Namun, balapan di jalanan itu belum tergolong balap di sirkuit jalanan. Jika menyebut sirkuit jalanan resmi pertama, Circuit de Monaco-lah tempatnya. Arenanya yang membentang sepanjang 3,145 kilometer di areal metropolitan Monte Carlo, menurut Malcolm Folley dalam bukunya Monaco: Inside F1’s Greatest Race, memang dipersiapkan oleh Automobile Club de Monaco (ACM).
“Gagasannya muncul dari Antony Noghès yang ingin mengadakan balapan di jalanan Monaco, di mana jalannya masih berupa jalanan batu. Di beberapa seksi jalannya juga masih beriringan dengan rel trem. Ide itu dimunculkannya saat rapat umum luar biasa, seiring pergantian nama dari Sport Automobile Vélocipédique de Monaco (SAVM) menjadi Automobile Club de Monaco, 29 Maret 1925.”
Antony Noghès merupakan putra dari bos rokok Alexandre Noghès. Antony sejak 1925 menggantikan ayahnya sebagai presiden ACM. Disokong bantuan Pangeran Monaco, Louis II, Noghès memprakarsa Grand Prix Monaco pertama pada 14 April 1929.
Hanya 16 pembalap undangan yang berkompetisi di balapan untuk memperebutkan hadiah 100 ribu franc itu. Dari 100 lap, pembalap tim Bugatti T35B asal Inggris William Grover-Williams jadi pemenangnya.
Dari penggunaan awalnya tahun 1929 sampai 2019, treknya hanya mengalami perubahan panjang trek sekira 200 meter. Kendati begitu, Sirkuit Monako begitu ikonik lantaran punya ketinggian berbeda-beda dan treknya sempit dengan sejumlah belokan tajam dan berbahaya. “Ibarat naik sepeda di ruang keluarga,” ujar eks pembalap F1 Nelson Piquet kepada Motorsport, 24 Mei 2011.
Jika tak benar-benar mahir, siap-siap didatangi insiden. Dari sejumlah kecelakaan, ada empat pembalap yang mesti tutup karier dan usia di sirkuit itu. Setelah yang pertama Norman Linnecar pada 1948, ada Luigi Fagioli pada 1952, Dennis Taylor pada 1962, dan Lorenzo Bandini pada 1967.
Baca juga: Jagoan Dua Lintasan
Kendati disebut sirkuit yang menakutkan, Monaco tetap dianggap sebagai sirkuit terbaik oleh pembalap F1 Lewis Hamilton. “Seperti naik rollercoaster yang paling menakutkan. Memang menakutkan tapi karakter treknya keren dan membuat Anda merasakan semua emosi menjadi satu,” ujarnya, dikutip The Telegraph, 23 Mei 2014.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar