Melintasi Sirkuit Politik Max Mosley
Sosok kontroversial yang lahir dari keluarga fasis. Jurus-jurus politiknya mengubah wajah Formula One.
KENDATI tidak sedikit yang punya dendam padanya, toh kepergian Max Rufus Mosley, presiden Fédération Internationale de I’Automobile (FIA) periode 1993-2009, menimbulkan duka bagi segenap orang di dunia balap. Mosley menghembuskan nafas terakhirnya Minggu (23/5/2021) lalu di usia 81 tahun setelah lama bertarung dengan kanker.
“Dia sudah seperti keluarga bagi saya. Kami ibarat saudara. Di sisi lain saya merasa lega karena dia sudah menderita begitu lama. Dia banyak melakukan hal hebat tidak hanya untuk olahraga balap tapi juga industri mobil. Dia melakukan cara hebat untuk memastikan banyak orang agar membuat mobil-mobil yang aman,” ungkap mantan chief executive F1, Bernie Ecclestone, dilansir BBC, Selasa (25/5/2021).
Ucapan belasungkawa juga datang dari Presiden FIA Jean Todt. Melalui akun Twitter-nya, @JeanTodt, Senin (24/5/2021) lalu dia mencuit: “Duka mendalam atas meninggalnya Max Mosley. Dia figur besar dalam @F1 & olahraga balap. Sebagai @FIA Presiden selama 16 tahun, dia sangat berkontribusi untuk memastikan keselamatan di sirkuit dan di jalan. Segenap komunitas FIA turut berbelasungkawa. Pikiran dan doa-doa kami untuk keluarganya.”
Mosley dikenal sebagai sosok berwatak keras dan tak kenal kompromi terhadap aneka skandal selama memegang kendali badan olahraga balapan dunia itu. Namun, Mosley sendiri sejak lahir sudah dinaungi kabut kontroversi.
Baca juga: Kontroversi Michael Schumacher
Keluarga Fasis
Lahir di London pada 13 April 1940, Mosley merupakan bungsu dari dua bersaudara pasangan Sir Oswald Ernald Mosley dan Diana Mitford. Oswald merupakan pemimpin Partai British Union Fascists (BUF) dan Diana seorang simpatisan Nazi. Adik Diana, Unity Mitford, pernah digosipkan jadi salah satu pacar Adolf Hitler.
Pernikahan Oswald dengan Diana pada 1936 dilangsungkan di kediaman Menteri Propaganda Jerman Joseph Goebbels. Hitler hadir sebagai tamu VIP yang menghadiahkan mereka sebuah foto dirinya dengan hiasan bingkai perak.
Ketika Mosley baru berusia 11 minggu, ia dan kakaknya, Alexander, harus berpisah dengan kedua orangtua mereka. Ayah dan ibunda mereka dijebloskan ke penjara terpisah tanpa pengadilan. Pemerintah Inggris memenjarakan mereka bertolak pada Defence Regulation 18B yang menyatakan, para politisi fasis dan simpatisan Nazi diinternir demi mencegah sabotase selama Perang Dunia II berlangsung.
“Peraturan masa perang itu membolehkan pemerintah memenjarakan siapapun tanpa pengadilan. Setelah menjadi menteri buruh pada 1929 dalam karier politik konvensionalnya, ayah saya memimpin BUF dan berkampanye menentang Perang Dunia II. Saya yakin karena itulah pemerintah ingin menyingkirkannya. Ibu selalu mendukungnya dan adiknya, Unity, berteman baik dengan Adolf Hitler,” tulis Mosley dalam otobiografinya, Formula One and Beyond.
Baca juga: Perempuan-Perempuan dalam Pelukan Hitler
Selama setahun Mosley dan kakaknya dirawat pengasuh sampai akhirnya Perdana Menteri (PM) Winston Churchill turun tangan. Sir Oswald dan Diana bersatu kembali saat dipindahkan ke kamp interniran Holloway. Mereka diperbolehkan dikunjungi kedua putra mereka setiap hari dan bahkan Mosley dan kakaknya diizinkan menginap jika mau.
“Winston Churchill teman dekat dari keluarga ibu saya dan dia bersama istrinya sudah akrab dengan ibu saya sejak kecil. Dia juga kenal ayah saya dari panggung politik mainstream dan tetap menghormati walau bertentangan dengan kepentingan negara. Churchill melakukan segala yang dia bisa untuk membuat kehidupan orangtua saya sedikit lebih nyaman,” imbuhnya.
Mosley baru bisa bersatu lagi dengan keluarganya secara utuh pada November 1943. Kala itu ayahnya tak lagi aktif dalam politik. Pada 1950, Oswald membawa keluarganya berpindah-pindah dari Hampshire, Wiltshire, Orsay, hingga Paris. Mosley baru kembali ke Inggris untuk kuliah di Jurusan Fisika Universitas Oxford dan kuliah hukum di Gray’s Inn.
Di Balik Kemudi Mobil Balap
Selama kuliah pada 1950-an, Mosley dan Alexander sempat mengikuti jejak ayahnya di arena politik dengan aktif di partai sayap kanan The Union Movement (UM). Dari aktivitasnya dalam partai itu Mosley juga bertemu kekasih yang kemudian jadi istri yang dinikahinya pada 1960, Jean Taylor.
Dari Jean-lah minat Mosley pada dunia balap timbul. Meski Mosley masih terus berpolitik sampai 1980-an, ia mengiringinya dengan turut berkarier di lintasan balap pada medio 1960-an.
Perkenalan Mosley dengan dunia balap terjadi setelah dia dibelikan tiket nonton ajang balap di Sirkuit Silverstone, dekat kampus Oxford. Dari “pandangan pertama” itu, benih cinta pada balap bersemi di hati Mosley. Maka demi bisa membeli mobil balap, Mosley harus bekerja keras dengan menjadi pengacara dari pagi sampai sore dan dilanjut mengajar hukum pada malamnya.
“Baru di awal 1966 saya punya cukup uang dari hasil mengajar untuk membeli mobil balap. Dari iklan di Autosport, saya membeli mobil Lotus 7 dengan mesin 1.0 liter dari seseorang yang tinggal dekat Birmingham. Saya memutuskan untuk balapan di Clubmans Sports Cars kelas 1.5 liter, di mana mesin mobil saya harus dirombak lagi dengan bantuan sepupu, Len Street, yang pernah jadi mekanik di Tim Lotus,” sambung Mosley.
Baca juga: Stirling Moss, Raja Balap tanpa Mahkota
Prestasi Mosley di ajang balap nasional itu cukup lumayan. Ia menang 12 dari 40 race sepanjang 1966-1967. Mosley pun makin ketagihan. Setelah bertemu rekan sepemikiran, Chris Lambert, Mosley membentuk London Racing Team untuk terjun ke European Formula Two (F2). Karena Len Street sudah dikontrak tim lain, Mosley lalu mengontrak Sir Frank Williams, legenda hidup F1 dan pendiri Frank Williams Racing Cars, menjadi salah satu mekanik andalannya.
“Pertamakali saya bertemu Max di 1960-an saat dia masuk balapan. Saya yang menyiapkan mobilnya di F2 dan terlepas dia tak pernah menjadi pembalap tercepat di lintasan tetapi dia selalu balapan dengan cara yang cerdas di balik kemudi,” kenang Sir Williams, disitat Grand Prix 247, Senin (25/5/2021).
Baca juga: Angkernya Sirkuit Nürburgring
Aktivitas Mosely tersebut sempat dikhawatirkan ayahnya karena investasi itu dianggapnya takkan menguntungkan. Namun, ada faktor penting lain yang membuat Mosley getol berkecimpung di balapan, yakni politis. Balap dijadikannya ajang menghapus jejak kelam masa lalu keluarganya.
“Saat saya meninggalkan karier menjanjikan sebagai pengacara dan terjun ke balapan, ayah bilang mungkin saya akan bangkrut tapi hikmahnya akan bagus buat latihan saya untuk sesuatu hal yang lebih serius lagi di masa depan. Di dunia balap tidak ada yang mengenali Sir Oswald. Justru pembalap atau kru menyangka saya adalah kerabat Alf Mos(e)ley si pembuat mobil. Saya menemukan dunia yang tak mengenal Oswald Mosley dan dalam dunia balap tiada yang peduli siapa dia (Sir Oswald),” lanjutnya.
Sayangnya karier Mosley di F2 acap menghasilkan rapor merah. Ia pun hanya bertahan dua musim (1968-1969). Pada musim terakhirnya, 1969, Mosley mengalami dua kecelakaan hingga memutuskan pensiun sebagai pembalap. Ia pun kapok.
“Dua kecelakaan itu sudah jadi bukti bahwa saya takkan bisa jadi juara dunia,” ujarnya.
Perang Politik Penguasa Sirkuit
Mosley tak bisa jauh dari dunia balap setelah tak lagi membalap. Bersama Robin Herd, Alan Rees, dan Graham Coaker, Mosley membentuk tim balap March Engineering untuk tampil di pentas F3, F2, dan F1. Para pembalap potensial pun mereka rekrut. Di antaranya Chris Amon, Jo Siffert, Niki Lauda, dan Vittorio Brambilla.
Kemampuannya dalam bidang hukum juga membuatnya akrab dengan para petinggi Formula One Constructors’ Association (FOCA). Ecclestone, salah satunya. Mulai 1977, Mosley dipercaya Ecclestone jadi penasihat hukum FOCA. Tiga tahun berselang, Mosley jadi ujung tombak FOCA kala “berperang” dengan Fédération Internationale du Sport Automobile (FISA) yang jadi kepanjangan tangan FIA sebagai operator F1.
Konflik FOCA-FISA berawal dari ketimpangan subsidi dan revenue komersial antara tim-tim yang berbasis di Inggris dengan tim-tim mapan Eropa asal Italia, Prancis, dan Jerman. Tim-tim Inggris yang bernaung di FOCA merasakan adanya keputusan bias terhadap beberapa aturan yang dikenakan pada mereka ketimbang tiga tim lain yang tak terafiliasi dengan FISA: Alfa-Romeo, Renault, dan Ferrari.
Baca juga: Gas Pol F1 di Tengah Pandemi
Saling boikot pun terjadi sepanjang 1980. Bentuk lain dari perlawanan FOCA adalah dengan melahirkan World Federation of Motor Sport dengan menggelar balapan-balapan yang dianggap ilegal oleh FISA. Salah satunya Grand Prix Afrika Selatan, 7 Februari 1981. Walau dengan bujet pas-pasan, balapan ini sukses mendatangkan income besar. Selain itu, ajang tersebut juga populer karena disiarkan banyak stasiun televis berkat manuver-manuver bisnis dan politik Mosley dan Ecclestone. Pada akhirnya, Presiden FISA Jean-Marie Balestre mau duduk bersama untuk berdamai.
“Sebelumnya kami semua (tim) tidak punya cukup uang. Jika Balestre mau menyokong tim-tim lebih lama lagi, mereka tidak akan berontak. Hasilnya akan sangat berbeda dari saat ini,” ungkap Mosley, dikutip Terry Lovell dalam Bernie’s Game: Inside the Formula One World of Bernie Ecclestone.
Tidak hanya di meja perundingan, Mosley pun sukses “menundukkan” Balestre dalam persaingan pemilihan presiden FISA pada 1991. Balestre jadi lawan kuat Mosley di pemilihan presiden FIA tahun 1993, tahun di mana FISA dibubarkan dan operator F1 langsung dipegang FIA. Kemenangan Mosley didapat dari manuvernya dengan mengkampanyekan standar keselamatan. Ia berkaca pada banyaknya kematian pembalap di masa lalu.
“Di awal-awal saya balapan F2, saat itu ada 21 mobil di lintasan pada April. Tapi memasuki Juli ada tiga pembalap yang tewas. Pembalap sudah seperti resimen garis depan di (perang) Vietnam. Saya berpikiran bahwa jika punya kesempatan memegang kekuasaan di balapan, saya akan melakukan sesuatu tentang hal ini. Saya benci dengan attitude: ‘Well, jika Anda tidak menyukainya, jangan ambil risiko’,” tutur Mosley lagi.
Mosley memenangkan pemilihan presiden FIA pada 1993 dan bertahan sampai 2009. Walau tak kenal kompromi terhadap berbagai skandal tim-tim balap, Mosley pernah diterpa skandal pesta seks sadomasokisme dengan para PSK pada 2008 yang diekspos suratkabar News of the World.
Mosley “menyengat balik” dengan menuntut suratkabar milik Rupert Murdoch itu ke Pengadilan HAM Eropa karena dianggap telah mencemarkan nama baik dan melanggar privasi. Mosley menang dan mendapat ganti rugi lebih dari 500 ribu poundsterling. Suratkabar itu pun akhirnya ditutup Murdoch.
“Terlepas dari kontroversi itu, Mosley akan selalu dikenang sebagai figur brilian walau tak sempurna. Bersama Ecclestone, dia jadi sosok penting yang mengubah F1 menjadi hiburan global. Sebagai Presiden FIA, dia membuktikan diri sebagai pemikir inovatif yang mendorong standar keselamatan dan kemajuan teknologi dalam balap dan otomotif. Kendati begitu tetap terasa bahwa segala yang ia lakukan seolah menjadi alternatif bagi karier politik mainstream-nya yang gagal,” tukas penulis cum kritikus Adam Sweeting dalam kolom obituari The Guardian, Senin (24/5/2021).
Tambahkan komentar
Belum ada komentar