Sultan Ternate Diselamatkan Jenderal MacArthur
Misi klandestin Sekutu menyelamatkan sultan Ternate di bawah pendudukan Jepang.
PANGKALAN Morotai kala senja 8 April 1945 diwarnai cuaca bersahabat dan kesibukan 33 kombatan gabungan di bawah Unit Khusus Z Angkatan Laut Amerika Serikat yang memuat dua motor torpedo (MBT) 364 dan 178. Tepat pukul 17.30, keduanya bertolak menuju Pulau Hiri di utara Kepulauan Ternate.
Butuh waktu sekira lima jam bagi kedua MBT itu mengarungi Laut Maluku guna mencapai Desa Saki di pesisir Pulau Hiri, 20 kilometer utara Kota Ternate yang masih jadi basis militer Jepang. Setibanya di Saki pada pukul 22.45, mereka langsung disambut seorang warga setempat yang merangkap jadi agen penghubung misi mereka.
Kapten Kroll yang memimpin Unit Khusus Z segera menuliskan pesan dalam secarik kertas yang diberikan kepada si penghubung untuk dikirimkan ke Sultan Ternate Iskandar Mohammad Djabir Sjah yang jadi tujuan utama misi mereka. Sementara si penghubung berlayar lagi bersama sejumlah loyalis sultan ke utara Ternate, Kapten Kroll bersama Mayor George Bosworth, dan Letnan Richard Hardwick membawa tiga prajurit komando untuk menelusuri wilayah di pesisir timur dan selatan Pulau Hiri guna memastikan posisi mereka tak diendus serdadu atau mata-mata Jepang.
“Bahaya dari misi di tengah malam itu adalah tingkat kewaspadaan Jepang. Pihak Jepang punya banyak mata-mata di antara warga lokal, biasanya warga desa yang miskin dan diiming-imingi uang atau lahan pertanian. Sementara Jepang akan menyiksa siapapun yang ketahuan jadi loyalis sultan,” tulis Frank Walker dalam Commandos: Heroic and Deadly ANZAC Raids in World War II.
Baca juga: Yang Tercecer dari Pertempuran Biak
Setelah memastikan aman, rombongan misi kembali ke Saki dan mendirikan kamp sementara. Paginya, mereka pindah ke Desa Togolobe di selatan pulau. Pada 9 April 1945 malam, jawaban sultan datang.
“Malam itu, sultan menjawab bahwa dia akan berusaha untuk meloloskan diri. Hardwick kembali menuliskan surat: ‘Perahu-perahu dengan kru (gerilyawan) lokal yang telah dipilih secara khusus akan menyeberang dalam kegelapan malam dan akan menunggu sultan dengan rombongan di titik pertemuan di pesisir Ternate. Kami menyadari bahaya yang akan dihadapi Sultan karena harus melalui jalur pegunungan. (Tetapi) kami tak bisa menolong sampai Anda mencapai titik pertemuan’,” ungkap Alan Powell dalam War by Stealth: Australians and the Allied Intelligence.
Sementara, dari pedalaman di kaki Gunung Gamalama, Sultan Djabir bersama kedua istri, delapan anaknya, dan sejumlah kerabat turun gunung dikawal oleh prajurit loyalis. Mereka sebisa mungkin menyusup tanpa mengeluarkan suara lantaran banyak mata-mata Jepang.
“Dalam kegelapan malam sultan turun gunung menuju titik pertemuan di pinggir pantai. Setelah melalui enam jam perjalanan berbahaya menuruni lereng gunung dan menembus hutan yang rimbun dengan pepohonan pala dan cengkeh, mereka sampai ke desa pesisir Kubala saat fajar. Dari sini mereka akan diseberangkan ke Pulau Hiri,” imbuh Walker.
Baca juga: Sepakterjang Batalyon Texas yang Hilang
Tetapi seorang pengintai dari rombongan sultan secara diam-diam telah mengabarkan hal itu ke pasukan Kroll di Togolobe. Sultan Djabir Sjah kesulitan untuk keluar dari Kubala karena desa itu dikelilingi mata-mata dan simpatisan Jepang, katanya.
Kroll pun langsung mengatur rencana evakuasi untuk menyeberang ke Ternate dengan lima perahu besar. Para gerilyawan Ternate bersenjata parang dan senjata api seadanya diikutsertakan untuk menjemput sultan. Setiba di Kubala, tanpa buang waktu mereka segera membawa sultan dan keluarganya menuju Pulau Hiri pada pagi 10 April.
“Tampak ratusan penduduk dari pinggir pantai sudah menanti. Saat Sultan Djabir menginjakkan kaki di pantai, mereka semua berlutut, menundukkan kepala, dan mengatupkan tangan ke wajah – sebuah laku hormat tradisionil setempat. Itu kali pertama sultan bertemu rakyatnya sendiri dalam beberapa tahun terakhir. Para tetua adat berbaris untuk mencium kaki sultan. Hardwick mengenang: ‘Itu adalah momen paling dramatis yang pernah saya saksikan di kepulauan (timur Indonesia) ini,’” ungkap Walker lagi.
Alasan Politis Menyelamatkan Sultan
Sejak masuknya Jepang pada 1942, Sultan Djabir Sjah sudah menjadi buron Jepang. Sebagaimana di Jawa, lanjut Walker, Jepang pun menuntut setiap bumiputera di Ternate, termasuk Sultan Djabir, untuk membungkuk ke arah timur kepada kaisar Jepang alias seikerei. Karena enggan menuruti, Sultan Djabir melarikan diri ke gua-gua tersembunyi di kaki Gunung Gamalama dengan dilindungi sejumlah prajurit kesultanan dan warga desa yang masih setia.
“Militer Jepang memburu sultan ke mana-mana, namun Gunung Gamalama yang masih aktif itu memiliki banyak gua dan jebakan mematikan yang dibuat para prajurit sultan. Jepang mengiming-imingi uang dan lahan pertanian kepada setiap warga desa yang bersedia memberi informasi tentang sultan sebagai solusinya. Makin lama, Jepang makin mendekat dengan persembunyian sultan,” tulis Walker.
Pada medio Februari 1945, sultan meminta sekelompok penduduk yang setia melakukan perjalanan laut berbahaya sejauh 250 kilometer menggunakan kano tradisional ke Morotai. Mereka berhasil sampai dan bertemu perwakilan militer NICA (pemerintahan sipil Hindia Belanda) di markas gabungan Sekutu.
“NICA berharap bisa membawa Sultan Ternate ke Morotai. Informasi darinya (tentang militer Jepang) akan sangat berguna tetapi ia sedang dalam bahaya. NICA juga meyakini ia (sultan) mengetahui keberadaan dan nasib seorang pilot Australia yang hilang (di Ternate),” sambung Powell.
Baca juga: Akhir Tragis Sultan Ternate di Tangan Portugis
NICA lalu merencanakan evakuasi Sultan Djabir seraya mengajukan izin misi klandestin itu kepada Jenderal Douglas MacArthur. Panglima Sekutu di Pasifik itu lantas memberi lampu hijau. MacArthur setuju menyelamatkan sultan karena selama ini Sekutu menerima sejumlah informasi rahasia dari penghubung sultan tentang pergerakan kapal-kapal Jepang di perairan Maluku Utara.
“Politik juga memainkan perannya. Sekutu ingin Belanda kembali ke bekas koloninya dan sang sultan akan jadi sekutu yang berharga. MacArthur memercayakan misi itu ke Unit Khusus Z. Misinya diberi kode (Operasi) Opossum. Atas alasan politis pula Kapten Kroll, perwira Belanda (NEFIS/Intelijen Belanda), ditunjuk jadi komandannya. Letnan George Bosworth memimpin delapan pasukan komando Australia. Ditambah perwira intelijen (Australia) Mayor Richard Hardwick, seorang gerilyawan Indonesia asal Sulawesi Selatan dan seorang lagi dari Timor,” terang Walker.
Ditambah 20 gerilyawan Ternate yang sejak Februari berperjalanan dari Ternate ke Morotai, pasukan Unit Khusus Z total punya 33 kombatan. Pasukan gabungan inilah yang kemudian mengevakuasi Sultan Djabir dari Ternate ke Pulau Hiri.
Tetapi evakuasi sultan dari Ternate ke Hiri bukanlah titik akhir misi mereka. Pasalnya pada jam dua siang 10 April, petugas piket Kopral John Kearns mendapati dari kejauhan lebih dua lusin prajurit Jepang datang menggunakan sejumlah perahu motor. Dengan tergesa-gesa, Kroll dan Bosworth mengatur pasukan untuk membentuk kubu pertahanan di pinggir pantai. Di titik inilah mereka mempertaruhkan nyawa melindungi sultan. Maklum, dua MTB dari Morotai baru akan datang menjemput pada malamnya.
Para prajurit sultan lebih dulu menghadapi serdadu Jepang dengan persenjataan seadanya. Tetapi setelah melihat para prajurit sultan itu bertumbangan, Bosworth memerintahkan delapan prajuritnya ikut mendesak Jepang. Kopral Gordon Phillpot ingat komandannya dengan berani berlari di balik rimbun pepohohan dekat pantai sambil menembakkan senapan mesin ringan Thompson-nya ke arah pasukan Jepang. Aksi heroik Bosworth itu, kenang Phillpot, merobohkan tiga prajurit Jepang.
Baca juga: Panji Matahari Terbit di Bali
Tetapi saat Bosworth mengecek lagi ketiga mangsanya itu, salah satu yang terluka ternyata masih hidup dan menembakkan senapannya untuk menumbangkan Bosworth. Serma R.C. Perry yang mengambilalih komando setewasnya Bosworth, dengan dingin mencabut nyawa si prajurit Jepang yang terluka itu.
“Setelah itu kami berhasil mengatur posisi bertahan lagi, jadi saat mereka datang kembali, kami mampu membunuh sembilan di antara mereka meski kami kehilangan dua anggota kami,” kenang Phillpot, dikutip The Sydney Morning Herald, 24 April 2010.
Beberapa prajurit Jepang yang tersisa dan berusaha melarikan diri akhirnya dikejar dan dihabisi para prajurit sultan dengan perahu. Hanya saja, sebagaimana disebutkan Phillpot, mereka kehilangan dua anggotanya. Selain Letnan Bosworth, korban tewas lain adalah Prajurit Satu Robert N. Higginbottom.
“Ketika Higginbottom melihat perahu motor Jepang terbengkalai setelah para serdadunya tewas, ia berenang ke arah perahu itu. Sialnya seragamnya yang basah menjadikannya mirip seragam Jepang. Rekan-rekannya di pinggir pantai lantas menyaksikan kejadian horor itu, di mana satu prajurit sultan mengacungkan senapan dan menembak Higginbottom. Ia disangka prajurit Jepang,” sambung Walker.
Baca juga: Pertempuran Alot di Pantai Utara Papua
Dari dua lusin pasukan Jepang, masih ada satu perwira yang hidup. Namun harapan Serma Perry untuk membawanya ke Morotai hidup-hidup sia-sia. Perwira yang menolak ditawan itu mengancam akan meledakkan diri dengan granat. Perry berusaha persuasif meski tetap mengacungkan senapan mesin ringan sten gun-nya. Tetapi ketika keadaan jadi bahaya lantaran si perwira ingin melemparkan granatnya ke arah sultan, Perry terpaksa menembaknya. Pertempuran pun usai. Sultan selamat.
Sekira pukul 23.45 malamnya, dua MTB yang dinanti datang. Mereka baru berangkat lagi membawa rombongan sultan dari Pulau Hiri ke Morotai sekira pukul 12 siang keesokan harinya. Sultan Djabir dan rombongan turun dari MTB pada pukul 16.45 dan ditemui Jenderal MacArthur beserta para perwira NICA.
Setelah memberi sejumlah informasi tambahan tentang militer Jepang, malam itu juga sultan dan keluarganya diterbangkan dengan pesawat amfibi PBY Catalina ke Brisbane, Australia. Mereka lantas tinggal di Wacol dekat Brisbane sampai Perang Pasifik usai.
Saking rahasianya misi itu, pers Belanda baru mengetahui dan menggembar-gemborkannya sebagai keberhasilan NICA yang dibantu Sekutu pada Agustus, tiga bulan usai misi itu terlaksana. Suratkabar De West edisi 10 Agustus 1945 memberitakan, Sultan Djabir Sjah dikabarkan telah lolos dari cengkeraman Jepang dan bergabung dengan pemerintahan sipil Hindia Belanda di Australia. Sang sultan disebutkan bersedia dirangkul NICA ketimbang merapat pada Jepang.
“Saya pergi bersama keluarga di tengah malam dengan perahu. Setelah itu dibawa ke Morotai dan dilanjutkan dengan pesawat ke Brisbane. Setelah saya pergi, adik tertua saya diangkat jadi konsul oleh Jepang. Alasan utama saya pergi adalah saya ingin mendukung Belanda. Para leluhur saya banyak menjalani perang di masa lalu bersama Belanda. Keputusan ini tidaklah mudah namun saya tidak menyesalinya,” kata sultan di suratkabar itu.
Sekembalinya ke Ternate usai perang, sultan sempat jadi petinggi CONICA (Komandan NICA) Maluku Utara. Ia kemudian berpihak pada Republik Indonesia. Sultan Djabir tak pernah menghendaki mendirikan negeri sendiri yang akan disetir Belanda.
“Setelah Jepang menyerah, Jenderal MacArthur menawarkan kepada beliau, apakah mau membentuk negara sendiri? Beliau menjawab: ‘Negara saya telah diproklamirkan pada 17-8-1945 di Jakarta yaitu Republik Indonesia.’ Beliau setuju bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tapi sistem pemerintahannya adalah federal, yang dimaksudkan adalah desentralisasi, di mana kekuasaan berada di daerah dalam wadah NKRI. Di sini nyata bahwa yang beliau tentang adalah pembangunan sentralistik,” tulis Irza Arnyta Djaafar dalam Dari Moloku Kie Raha hingga Negara Federal: Biografi Politik Sultan Ternate Iskandar Muhammad Djabir Sjah.
Baca juga: Perintah MacArthur: Rebut Manila!
Tambahkan komentar
Belum ada komentar