Pangeran Haryasudirja Hampir Mati Ditembak Jepang
Sekelompok mahasiswa pejuang Indonesia dihadapkan ke regu tembak serdadu Jepang. Senapan yang semula untuk membidik kemudian diangkat untuk menyambut kedatangan komandan batalion.
UDARA Bandung pagi itu masih terasa segar untuk memulai aktivitas. Namun, lima mahasiswa Sekolah Tinggi Teknik Bandung (kini ITB) sudah berkumpul di depan laboratorium hidrolik kampus. Kelimanya berturut-turut bernama Kadirman, Haryasudirja, Kamin, Ruhadi, dan Hartoyo. Rentang usia mereka 19-21 tahun. Salah satu dari mereka, yaitu Haryasudirja, merupakan pangeran Kadipaten Pakualaman bergelar lengkap Kanjeng Pangeran Haryo Petrus Kanisius Haryasudirja Sasraningrat.
“Sambil berbincang-bincang, mereka sibuk mempersiapkan segala sesuatunya, seperti bensin, kondisi kendaraan berupa sedan hasil curian dari tentara Jepang dan senjata-senjata yang akan dibawa serta,” seperti terkisah dalam biografi Prof. Dr. Ir. P.K. Haryasudirja: Tokoh Pejuang Kemerdekaan, Pembangunan dan Pendidikan yang disusun J. Pamudji Suptandar, dkk.
Pada pukul 09.00 pagi 12 Oktober 1945, Haryasudirja dan kawan-kawan berangkat meninggalkan kampus menuju Jawa Tengah dan Jawa Timur. Misi mereka mencari senjata guna membantu perjuangan rekan-rekannya di Bandung. Modal utama mereka nyali dan nekat saja. Tanpa bekal pakaian, makanan, dan minuman. Uang pun hanya secukupnya. Pokoknya bila ketemu balatentara Jepang di manapun, rampas senjata mereka, untuk mempertahankan kemerdekaan. Begitulah rencana anak-anak muda revolusioner itu. Dalam mobil sudah siap alat-alat tempur berupa granat, pistol, mitraliur, senjata laras panjang, dan amunisi yang disimpan rapi di bawah jok.
Baca juga: Alkisah Senjata Berludah
Sepanjang perjalanan menuju ke luar Bandung, mereka menyaksikan rakyat dalam kondisi memprihatinkan. Di jalan terlihat tubuh-tubuh bernyawa yang kurus kering, berpakaian tikar dan goni. Di beberapa sudut jalan tampak sekelompok penduduk berdiri dengan kaki bengkak, menandakan mereka mengidap penyakit busung lapar. Desa demi desa dilalui dengan lancar tanpa gangguan.
Malapetaka datang ketika memasuki Desa Nagreg, sekira 34 km dari Bandung. Mobil yang ditumpangi Haryasurdija cs. tiba-tiba dihadang oleh beberapa puluh tentara Jepang bersenapan lengkap dengan bayonet terhuhus. Beberapa dari serdadu itu berteriak, memerintahkan Haryasudirja membelok masuk ke halaman tangsi militer. Setelah berada di halaman tangsi, kelimanya dipaksa keluar dari mobil dengan tangan terangkat.
Sementara perwira piket menginterogasi dalam bahasa Jepang campur bahasa Indonesia, anak buahnya menggeledah mobil. Ketika ada senjata yang ditemukan, mereka menghardik “Bakerooo…!” (yang artinya brengsek). Haryasuridja bahkan kena tempeleng gagang pistol di pelipis kepalanya karena mengaku hendak menuju ke Jawa Tengah.
Baca juga: Gubernur Jateng Ditempeleng Opsir Jepang
Karena dicurigai sebagai pemberontak, perwira piket serdadu Jepang itu memutuskan untuk mengeksukusi Haryasudirja dkk. Pertimbangannya karena mereka membawa senjata api dan bakal menambah beban bila dijadikan tawanan. Sebagai pihak yang kalah perang, pemerintah militer Jepang dituntut menjaga keamanan dan ketertiban menjelang kedatangan pasukan Sekutu. Maka dari itu, segala bentuk pemberontakan dari anasir lokal mesti diredam dan dibungkam.
Kelima pemuda dimasukkan kembali ke dalam mobil. Sementara itu, tentara Jepang bergerak maju membentuk lingkaran, mengitari mobil dalam radius lima meter. Senapan mereka dalam kondisi terkokang menanti aba-aba dari sang komandan piket. Bukannya berhasil merampas senjata Jepang, Haryasudirja dan keempat rekannya kini berhadapan dengan regu tembak yang akan mengeksekusi mati mereka. Rasa cemas, takut, dan was-was tak bisa dibendung. Tapi, apalah daya mereka, tidak ada jalan lain selain pasrah.
“Ya... Tuhan, terjadilah apa yang akan terjadi kalau itu memang kehendak-Mu!” doa Haryasudirja dalam hati.
Baca juga: Omar Dani Menunggu Hari Eksekusi
Dari kejauhan tiba-tiba terdengar teriakan aba-aba yang sangat keras dari komandan regu penjaga pintu: “Hormat senjata, gerak!” Dalam posisi membidik siap tembak, regu tembak sekonyong-konyong memindahkan senjatanya ke pundak, yaitu sikap hormat senjata. Siapa nyana, komandan batalion Jepang di Nagreg baru tiba dari Bandung. Perwira piket tangsi militer turut menyarungkan pistolnya lalu memberi hormat kepada komandan batalion. Haryasudirja dan kawan-kawannya tak jadi mati konyol di tangan regu tembak. Dalam hati mereka menjerit-jerit memanggil bapak dan ibunya serta menaikkan munajat syukur kepada Yang Maha Kuasa.
Komandan batalion Jepang menghampiri kelima pemuda yang baru saja lolos dari maut itu. Sang komandan terkejut ketika membaca surat identitas para pemuda itu berupa kartu mahasiswa dari Bandoeng Koogyo Dai Gakku, Dengki Kikai Ka (Sekolah Tinggi Teknik, Jurusan Listrik dan Mesin). Si komandan bersimpati karena sebelum menjadi tentara, dia juga seorang mahasiswa di Jepang. Maka sebagai solidaritas mahasiswa sedunia, dia pun pada dasarnya mendukung kemerdekaan Indonesia.
Haryasudirja dan kawan-kawannya akhirnya dilepaskan oleh komandan batalion Jepang. Hanya saja mobil mereka tetap ditinggalkan di tangsi militer Jepang. Meski dibebaskan, rasa takut masih menggelayut. Jaga-jaga mana tahu ditembak dari belakang, kelima pemuda itu berjalan mundur sewaktu meninggalkan tangsi. Untunglah mereka selamat sampai stasiun keretaapi, kemudian melanjutkan perjalanan ke Semarang hingga Surabaya.
Haryasudirja semasa Perang Kemerdekaan dikenal sebagai anak buah Letkol Soeharto. Dia menjadi satu dari sekian banyak mahasiswa yang menjadi tentara di masa revolusi fisik. Haryasudirja, seturut David Jenkins, penulis biografi Soeharto, adalah salah satu komandan batalion dalam Brigade X yang dipimpin Soeharto. Komandan Batalion Haryasudirja itu semula ialah Kapten Frans Hariadi, yang tak lain kakak tertua Haryasudirja, yang gugur setelah bertempur melawan pasukan Belanda pada Januari 1949.
“Pada tahun 1947—48, sang pangeran (Haryasudirja), yang saat itu menjadi letnan satu di TNI, dan beberapa perwira junior tentara lainnya pernah tinggal di kompleks perumahan era Belanda yang kecil namun elegan bersama Letnan Kolonel Soeharto. Mereka berbagi nasi dan lauk pauk, hidangan yang menemani nasi seperti sayuran dan tempe,” catat Jenkins dalam Young Soeharto: The Making of a Soldier, 1921--1945.
Setelah perang, Haryasudirja kembali ke dunia sipil dan menjadi seorang teknokrat. Di masa pemerintahan Presiden Sukarno, Haryasudirja dua kali menjabat menteri, yakni Menteri Pengairan Dasar (1964--1966) dan Menteri Perkebunan Republik Indonesia (1966--1967). Sementara itu, Soeharto terus berkarier di militer hingga menjadi jenderal, kemudian presiden RI ke-2 menggantikan Sukarno. Tapi, Haryasudirja tidak pernah menjabat menteri di masa Orde Baru. Selain menjadi anggota MPR, Haryasudirja juga dikenal sebagai rektor Universitas Trisakti. Dia wafat pada 27 April 2006, mengukir nama sebagai tokoh pejuang dan tokoh pendidikan.
Baca juga: Letkol Soeharto Makan Soto
Tambahkan komentar
Belum ada komentar