Letkol Soeharto Makan Soto
Peristiwa makan soto paling kontroversial dalam sejarah Indonesia. Ketika seorang komandan menyantap soto babat sementara pasukannya menggempur pasukan Belanda.
Soeharto makan soto dalam peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949. Tudingan itu dilontarkan mantan anak buahnya sendiri, eks Kolonel Latief. Waktu itu, Latief masih menjabat sebagai komandan Kompi 100 yang berada dibawah Brigade X pimpinan Letkol Soeharto. Setelah TNI berhasil menduduki Yogyakarta, Latief meloloskan diri dari kepungan tentara Belanda yang melancarkan serangan balik. Dia pun melaporkan kejadian itu ke markas komando yang terletak di daerah Kuncen atau Desa Sudagaran, 500 meter dari perbatasan kota.
“Kira-kira pada jam 12.00 siang hari bertemulah saya dengan Komandan Wehrkreise Letkol Soeharto di markas, rumah yang saya tempati sebagai Markas Gerilya, waktu itu beliau sedang menikmati makan soto babat bersama-sama pengawal dan ajudannya,” ungkap Latief dalam pembelaannya di Pengadilan Militer Tinggi II Jawa Barat pada 27 Juni 1978.
Latief menyebut Soeharto enak-enak makan soto di warung sementara pasukannya bertempur mati-matian menghadapi tentara Belanda. Sebanyak 12 orang pasukan Latief luka-luka, 2 gugur, dan 50 pemuda gerilyawan kota mati terbunuh oleh tentara Belanda. Pidato pembelaan Latief itu kemudian diterbitkan pada 2000 berjudul Pledoi Kol. A. Latief: Soeharto Terlibat di G30S.
Baca juga: Dialog dengan Kolonel Latief
Hubungan Latief dengan Soeharto rusak setelah peristiwa Gerakan 30 September (G30S) 1965. Latief dipenjara karena keterlibatannya sebagai salah satu pemimpin militer dalam operasi makar itu. Sementara itu, Soeharto menjadi petinggi Angkatan Darat yang terdepan dalam menumpas G30S. Dalam pledoinya, Latief mengungkap betapa dekat relasinya dengan Soeharto sejak masa revolusi hingga menjelang G30S. Termasuk seperti apa kiprah mereka masing-masing dalam Serangan Umum 1 Maret 1949.
Lantaran terkesan sentimental dan tendensius pada pribadi Soeharto, kicauan Latief itu bergaung bagai angin lalu. Apalagi Latief berstatus orang terhukum. Dia dinyatakan bersalah dan dipenjara seumur hidup. Namun, pada 1998, Latief dibebaskan seiring runtuhnya rezim Soeharto.
Glorifikasi peran Soeharto dalam peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 langgeng selama masa Orde Baru berkuasa. Pada pelbagai narasi sejarah resmi, Soeharto disebut-sebut sebagai inisiator serangan militer yang berhasil merebut Yogyakarta selama 6 jam dari tangan Belanda itu. Kisah heroisme itu bahkan divisualisasikan dalam film Janur Kuning pada 1979 – setahun setelah kesaksian Latief.
Baca juga: Tak Ada Nama Panglima
Janur Kuning yang memakan biaya 350 juta –termahal pada masa itu– menurut sejarawan Asvi Warman Adam dikutip dari merdeka.com, 2 September 2012, tidak obyektif. Peran Soeharto terlalu ditonjolkan. Soeharto ditampilkan sebagai sosok yang begitu teguh, berjuang sekuat tenaga. Sosok lain dikecilkan dalam film ini, merujuk Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang sejatinya berperan besar. Dalam kapasitasnya sebagai sultan Yogya, menteri pertahanan, gubernur, sekaligus diplomat yang dipercaya melakukan perundingan, Sri Sultanlah yang menjadi konseptor serangan umum. Nama Panglima Divisi III Kolonel Bambang Sugeng, yang memberikan perintah menyerang kepada Soeharto, juga diabaikan. Dalam film berdurasi 3 jam (180 menit) ini, tiada satu pun adegan Soeharto makan soto.
Perkara Soeharto makan soto dilacak oleh David Jenkins --wartawan Australia yang menulis beberapa biografi tentang Soeharto-- dari sudut pandang orang dekat Soeharto lainnya. Dalam biografi Young Soeharto: The Making of a Soldier, 1921--1945, Jenkins menyebut peran Haryasudirja, salah satu komandan batalion dalam Brigade X. Batalion itu semula dipimpin oleh Kapten Frans Hariadi, kakak tertua Haryasudirja, yang gugur setelah bertempur melawan pasukan Belanda pada Januari 1949.
Menurut Jenkins, Haryasudirja merupakan salah satu komandan batalion terbaik dalam brigade yang dipimpin Soeharto. Dia terlibat dalam Serangan Umum 1 Maret 1949, ketika Letkol Soeharto mengerahkan dua ribu personel untuk menduduki Yogyakarta. Haryasudirja saat itu masih berusia 23 tahun, memimpin pasukan berkekuatan dua ratus personel ke jantung kota. Haryasudirja bersama pasukannya menyerang sebuah pos Belanda di depan Hotel Merdeka berlantai dua.
Baca juga: Yogyakarta Usai Serangan Umum
Pada sebuah kontak-tembak, pasukan Haryasudirja hanya berjarak dua puluh meter dari tentara Belanda yang membalas tembakan dengan bren. Beberapa gerilyawan Indonesia tewas dalam pertempuran tersebut. Haryasudirja bersama beberapa anak buahnya selamat dari baku-tembak dengan menjatuhkan diri ke saluran air lalu menelusurinya sepanjang 500-600 meter sampai ke Sungai Winongo yang dangkal.
“Dia menemukan Soeharto, yang telah meninggalkan kota tiga puluh menit sebelumnya, di pos komando depan di tepi seberang. Saat pasukan Indonesia dengan tergesa-gesa mundur dari kota, Soeharto dengan tenang menghabiskan semangkuk soto babat,” demikian Haryasudirja seperti dikisahkan Jenkins.
Haryasudirja yang bernama lengkap Kanjeng Pangeran Haryo Petrus Kanisius Haryasudirja Sasraningrat adalah salah satu pangeran Pakualaman, kelahiran 14 Oktober 1925. Pada masa pendudukan Jepang, namanya dikaitkan dengan sekelompok sosialis muda demokratis yang berkumpul secara berkala di Pathok, kawasan padat penduduk di Yogyakarta. Tempat itu, menurut Jenkins, kerap dikunjungi Soeharto pada usia 24 tahun (1945) untuk belajar sesuatu tentang politik. Pada saat itulah Haryasudirja mengenal Soeharto.
Baca juga: Barak-barak Soeharto
Kedekatan mereka berlanjut di masa Perang Kemerdekaan. Haryasudirja tinggal di kompleks perwira junior yang sama dengan Soeharto. Ketika Soeharto menikahi Sri Hartinah di Solo pada Desember 1947, Haryasudirja turut menghadiri. Haryasudirja juga yang mengatur pesta pernikahan lanjutan Soeharto-Tien –panggilan Sri Hartinah– di Yogyakarta. Prakarsa itu memungkinkan Soeharto memperkenalkan istrinya kepada rekan-rekan tentara yang tidak sempat hadir di Solo.
Setelah perang, Haryasudirja kembali ke dunia sipil. Dia melanjutkan pendidikan di bidang teknik hingga menjadi insinyur yang ahli soal pengairan. Pada masa akhir pemerintahan Presiden Sukarno, Haryasudirja diangkat sebagai menteri pengairan dasar dalam Kabinet Dwikora II.
Soeharto sendiri tetap melanjutkan kariernya di militer. Dari letkol, Soeharto terus menanjak sebagai panglima Divisi Diponegoro, hingga mencapai jenderal bintang empat pada 1966. Puncaknya, Soeharto menjabat sebagai presiden kedua Republik Indonesia yang berkuasa paling lama sepanjang sejarah. Soeharto dianggap berjasa besar menyelamatkan Republik dalam dua peristiwa krusial bersejarah: Serangan Umum 1 Maret 1949 dan penumpasan G30S. Namun, dalam otobiografinya Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, dia sama sekali tidak menyinggung perihal soto di Kuncen.
Baca juga: Satu Nusa Soto Bangsa
Tambahkan komentar
Belum ada komentar