Tentara Jepang Bantai Pejuang Semarang di Rumah Sakit
Dalam Pertempuran Lima Hari di Semarang, serdadu Jepang memburu para pejuang sampai ke pusat rumah sakit rakyat. Para petugas medis turut disiksa.
Perang antara pejuang Hamas Palestina dengan pasukan Israel masih terus berlanjut. Kabar terbaru memberitakan insiden penembakan di Rumah Sakit Ibn Sina di Jenin, Tepi Barat, Palestina. Tentara Israel dengan modus menyamar sebagai dokter, petugas medis, dan perempuan berhijab melancarkan operasi pembunuhan. Tiga orang milisi Palestina yang sedang dirawat di rumah sakit tersebut tewas dalam penembakan itu.
Perang bisa saja tak mengenal tempat. Rumah sakit sejatinya adalah tempat untuk merawat orang sakit supaya sembuh. Namun, di zaman perang rumah sakit bisa berubah bak arena penjagalan manusia. Suasana seperti itu juga pernah terjadi di Indonesia. Tepatnya pada Pertempuran Lima Hari di Semarang yang berlangsung 14—19 Oktober 1945.
Pada pagi buta 15 Oktober, pasukan Jepang bergerak dari markasnya di Jatingaleh menyerang pejuang Republik di beberapa titik Kota Semarang. Mereka adalah pasukan Kido Butai --pasukan cadangan militer setara batalion– yang dipimpin oleh komandan garnisun Semarang Mayor Shinichiro Kido. Gerakan itu sebagai reaksi atas desakan kelompok pemuda yang ingin melucuti senjata Jepang disertai ancaman penangkapan terhadap orang-orang Jepang. Terlebih lagi Mayor Kido mendengar Mayjen Imamura –komandan pasukan Jepang di Jawa dan Madura– ditawan oleh pemuda pejuang di Magelang.
Baca juga: Gubernur Jateng Ditempeleng Opsir Jepang
Sasaran pertama Kido Butai adalah asrama BKR di Mugaan Pandanaran kemudian markas barisan pemuda. Di tempat-tempat itulah pasukan Jepang melepaskan berondongan mitraliur. Banyak pejuang yang mati di tempat. Kantor gubernuran juga diduduki sehingga Gubernur Wongsonegoro menjadi tawanan Jepang. Selain itu, Pusat Rumah Sakit Rakyat (Purusara yang kini menjadi RS dr. Kariadi) tidak luput dari serangan Jepang.
“Padahal saat itu banyak sekali korban pertempuran yang dibawa ke Purusara, kira-kira 30 orang perhari,” tutur mantan juru rawat Purusara bernama Supiah Suhud dalam harian Suara Merdeka, 13 Oktober 1964.
Pada hari pertama, seperti dicatat sejarawan Moehkardi dalam Bunga Rampai Sejarah Indonesia: Dari Borobudur hingga Revolusi Nasional, pasukan Jepang menembaki pintu gerbang rumah sakit itu dengan mitraliur. Setelah pintu berlubang, tembakan mitraliur diberondongkan lagi ke dalam kompleks rumah sakit. Mereka bertindak sedemikian buas karena ada pemuda yang ketahuan melarikan diri dan bersembunyi di rumah sakit. Meskipun demikian, pada hari pertama itu tentara Jepang belum berani memasuki rumah sakit Purusara.
Baca juga: Membesuk Sejarah Rumah Sakit Fatmawati
Pertempuran kemudian menjalar ke mana-mana. Pasukan Kido Butai kian beringas setelah orang-orang Jepang yang ditawan di Penjara Bulu dibantai oleh pemuda dari kelompok Angkatan Muda Republik Indonesia (AMRI). Departemen Penerangan dalam Republik Indonesia: Propinsi Jawa Tengah menyebut pasukan Jepang dengan ganasnya masuk-keluar kampung. Suasana di jalan-jalan besar jadi sunyi senyap. Beratus-ratus pemuda dan rakyat Semarang gugur demi mempertahankan kemerdekaan.
Pada hari ketiga, tiba-tiba saja pasukan Jepang mengepung Purusara. Ruangan bangsal yang berisi banyak pasien diamati secara teliti. Jika ditemukan pasien yang menderita luka baru akibat pertempuran, pasukan Jepang langsung menyeret dan menghajarnya tanpa ampun sampai tewas. Beberapa perawat yang kebetulan kepergok sedang mengubur jenazah korban pertempuran ikut kena hajar dan dianiaya pasukan Jepang.
Seturut Moehkardi, para pejuang yang terluka diselundupkan ke Purusara secara sembunyi-sembunyi agar tidak ketahuan Jepang. Mereka yang meninggal terpaksa dikebumikan di halaman dalam rumah sakit. Itulah sebabnya, pasukan Jepang juga mencurigai pihak Purusara. Selesai menggeledah, pasukan Jepang memerintahkan agar seluruh anggota Purusara dikumpulkan dan diabsen. Beberapa di antaranya kemudian dibawa ke markas Jepang di Jatingaleh.
“Mereka baru dibebaskan kembali pada sore harinya, tetapi delapan orang di antaranya tidak pernah kembali dan hilang. Kemarahan Jepang itu diduga ada kaitannya dengan hilangnya dr. Miaci, dokter Jepang yang kemungkinan diculik oleh pemuda,” terang Moehkardi.
Hingga hari keempat, tppertempuran masih berlangsung dengan serunya di Semarang. Banyak korban berjatuhan di pihak Indonesia. Selain para pejuang yang bertempur, orang sipil para tenaga medis Purusara juga patut dicatat sumbangsihnya. Mereka berjuang merawat para pejuang, bahkan harus mempertaruhkan nyawanya sendiri.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar