7 Pejuang Asing dalam Perang Kemerdekaan di Indonesia
Mereka datang dari berbagai latarbelakang bangsa dan negara. Bergabung dengan gerakan pembebasan Indonesia karena hati nurani.
PERANG Kemerdekaan di Indonesia (1945-1949), ternyata tidak melibatkan para pejuang bumiputera semata. Sejarah mencatat beberapa nama orang asing yang aktif berjuang sebagai kombatan, demi Indonesia merdeka.
Awalnya mereka sebagian besar tergabung dalam pasukan musuh. Namun karena bisikan hati nurani mereka menjadi ragu terhadap apa yang mereka sedang lakukan: memerangi bangsa yang ingin merdeka. Ketika rasa berdosa itu semakin kuat, pada akhirnya mereka justru menjadi pembelot dan bergabung dengan gerakan pembebasan tanah air di Indonesia.
Siapa saja mereka? Berikut 7 serdadu asing dari Belanda, Jepang, India, Nepal, Jerman, Korea dan Inggris yang kemudian menjadi gerilyawan Republik Indonesia.
J.C. Princen
Semula dia adalah seorang kopral wajib militer dari Divisi 7 Desember. Adalah Johannes Cornelis Princen yang sejak semula sudah merasa tak sreg dengan pengiriman tentara Belanda ke Indonesia.
“Rasanya ironis saja, kita yang baru saja bebas dari Jerman lalu menjadi penjajah bagi bangsa lain yang ingin merdeka,”ungkapnya.
Namun karena terancam hukuman mati, Princen tetap dipaksa untuk ikut dalam rombongan tentara yang berangkat ke tanah Jawa. Singkat cerita awal 1947, dia tiba di Pelabuhan Tanjung Priok dan kemudian ditempatkan di Purwakarta, Jakarta dan Bogor. Saat di Jakarta dan Bogor inilah dia melihat prilaku para serdadu yang membuatnya semakin muak dengan penindasan yang dilakukan bangsanya.
“Mereka memperlakukan orang-orang pribumi laiknya anjing kudisan. Di Bogor mereka bahkan menembak Asmuna, seorang perempuan setempat yang menolak untuk dilecehkan oleh para serdadu,” kenangnya.
Baca juga: Seks Serdadu Belanda
Sekira Agustus 1948, Poncke (nama panggilan akrab Princen) melarikan diri dari kesatuannya. Dia kemudian ditangkap oleh Tentara Merah (pasukan pro FDR PKI) dan dipenjarakan di Pati. Sebulan kemudian, Batalyon Kala Hitam dari Divisi Siliwangi membebaskannya dan memberikan kebebasan untuk kembali kepada pasukannya. Namun dia kukuh memilih untuk ikut Siliwangi long march ke Jawa Barat.
Selanjutnya lelaki kelahiran Den Haag pada 21 November 1925 itu tercatat aktif sebagai gerilyawan Republik yang berjuang di wilayah Cianjur-Sukabumi pada 1949. Akibatnya, seperti dituliskan dalam otobiografinya: Kemerdekaan Memilih, militer Belanda terus memburunya dan coba menghilangkan nyawanya. Namun selalu gagal, termasuk suatu operasi khusus yang dilakukan oleh KST (Korps Pasukan Khusus Angkatan Darat Belanda) pada 10 Agustus 1949 di Cilutung Girang, Cianjur.
Baca juga: Perburuan Desersi Princen
Shigeru Ono
Nampaknya Shigeru Ono (95), adalah pejuang Indonesia asal Jepang terakhir yang masih ada sampai beberapa tahun lalu. Tepat pada 25 Agustus 2014, Shigeru meninggal akibat penyakit tifus dan pembengkakan pembuluh darah. Semasa menjadi pejuang, selain ikut bergerilya di kaki Gunung Semeru, Jawa Timur, Shigeru juga tercatat ikut terlibat dalam pembuatan buku petunjuk khusus taktik perang gerilya bersama "Bapak Intel Indonesia" almarhum Kolonel Zulkifli Lubis.
Banyak alasan yang membuat Shigeru enggan bertekul lutut kepada pihak Sekutu. Selain kata "menyerah" tak ada dalam kamusnya, rata-rata mereka melihat jasa orang-orang Indonesia kepada mereka kala memerangi pihak Sekutu.
“Indonesia sudah banyak membantu Jepang. Kami ingin memberikan yang tidak bisa dilakukan oleh negara kami,” ujar Shigeru Ono dalam Mereka yang Terlupakan: Memoar Rahmat Shigeru Ono, Bekas Tentara Jepang yang Memihak Republik karya Eiichi Hayashi.
Demi membela tanah air barunya itu, Shigeru harus kehilangan tangan kanannya akibat ledakan mortir. Dan selama berjuang di wilayah Jawa Timur, dia menjadi buronan militer Belanda karena dinilai banyak merugikan mereka dengan segala aksi penyerangan pasukan yang dipimpinnya.
Baca juga: Shigeru Ono, Pejuang Jepang Telah Berpulang
Abdullah Sattar
Tak jelas benar, bagaimana awalnya lelaki asal India (bagian tersebut sekarang menjadi Pakistan) itu bergabung dengan kekuatan pasukan Republik di Medan. Namun menurut jurnalis sejarah Muhammad TWH, Sattar membelot dari BIA (British India Army) dengan membawa puluhan anak buahnya dan persenjataan lengkap. Oleh para petinggi tentara Republik di Medan, pasukan pembelot ini kemudian dibuat kompi tersendiri dalam Batalyon I.
“Sattar sendiri selain menjadi komandan kompi juga dijadikan komandan Batalyon I Resimen III Divisi X dengan pangkat mayor,”ungkap Muhammad TWH.
Dalam perkembangan selanjutnya, mereka banyak dilibatkan dalam berbagai operasi tempur di wilayah Medan dan sekitarnya. Bahkan, sebagai tenaga bantuan latih sekaligus petempur, Sattar pernah mengirimkan 17 anggotanya ke palagan Aceh. Diantaranya adalah prajurit yang bernama John Edward (lebih dikenal sebagai Abdullah Inggris), dan Chandra, yang karena kelihaian dalam beretorika lalu didapuk menjadi penyiar Radio Perjuangan Rimba Raya masing-masing untuk program bahasa Inggris dan bahasa Urdhu (India).
Saat Muhammad Hatta melakukan muhibah ke Sumatera pada awal 1948, pasukan Sattar didapuk untuk mengawal Wakil Presiden pertama RI itu saat berkunjung ke Pematang Siantar. Beberapa saat usai Hatta meninggalkan kota tersebut, militer Belanda kemudian datang menyerang.
Terjadilah pertempuran hebat hingga para prajurit dari selatan Asia itu kehabisan amunisi. Kendati sudah terkepung, mereka tidak lantas menyerah, malah justru mencabut bayonet dan memutuskan untuk berduel satu lawan satu melawan prajurit-prajurit Belanda. Pada akhirnya, sebagian besar dari mereka tewas diberondong senjata militer Belanda.
“Jasad mereka lantas dimakamkan di Pematang Siantar, namun beberapa waktu lalu kerangka-kerangka itu dipindahkan ke Makam Pahlawan Medan,”kata Muhammad TWH.
Mayor Sattar sendiri selamat dari insiden tersebut. Setelah penyerahan kedaulatan pada 27 Desember 1949, Sattar memutuskan untuk berhenti menjadi tentara dan berwiraswasta. Namu usahanya bangkrut hingga menjadikannya sebagai gelandangan di kota Medan. Menurut TWH, terakhir Sattar menjadi seorang petinju profesional. Orang-orang Medan tahun 1950-an mengenalnya dalam nama populer: Young Sattar.
Baca juga: Kisah Desersi di Front Karawang-Bekasi
Warner dan Losche
Orang-orang Jerman juga pernah terlibat dalam kecamuk Perang Kemerdekaan di Indonesia. Menurut sejarawan Jerman Herwig Zahorka, mereka yang pada awalnya memang ditugaskan di Indonesia pada era militer Jepang berkuasa (1942-1945) pada saat Perang Dunia II berakhir, diwajibkan untuk menyerahkan diri kepada pihak Sekutu.
Tersebutlah Warner dan Losche. Mereka berdua adalah anggota Angkatan Laut Jerman (Kriegsmarine) yang pada 1945 ditawan tentara Inggris di Jakarta lalu “dibuang” ke Pulau Onrust, Kepulauan Seribu. Selanjutnya militer Belanda menangani mereka sebelum diberangkatkan ke Eropa.
Di Onrust, para tawanan perang ini mendapat perlakuan yang sangat buruk dari Belanda. Begitu buruknya, sehingga banyak orang-orang Jerman yang mati dimakan penyakit demam berdarah, malaria dan kelaparan. Sebagian yang masih hidup, bertahan dalam penderitaan. Banyak dari mereka yang coba melarikan diri dari "neraka" di Kepulauan Seribu itu. Ada yang berhasil dan ada pula yang gagal dan ditembak mati seperti seorang prajurit AL Jerman bernama Freitag.
Menurut Zahorka, Werner dan Losche yang merupakan eks awak Kapal Selam U-219, berhasil lolos dari neraka Onrust. Begitu sampai di daratan Jakarta, mereka bergabung dengan para gerilyawan Indonesia dan menurut Ken Conboy dalam Intel, Warner dan Losche kemudian oleh Kolonel Zulkifli Lubis ditempatkan di Ambarawa selaku instruktur militer untuk pelatihan intelijen Republik Indonesia.
“Salah seorang dari mereka yakni Losche bahkan gugur akibat kecelakaan saat merakit sejenis alat pelontar api,” ungkap Zahorka.
Besin
Baru-baru ini, saya juga mendapatkan informasi menarik dari arsip-arsip sejarah lokal dan para saksi sejarah Perang Kemerdekaan di wilayah Ciranjang, Cianjur. Dalam pertempuran brutal di sekitar Jembatan Cisokan Lama pada Maret 1946, 4 prajurit Gurkha tertawan pasukan Republik. Salah satunya bernama Besin dari Batalyon Gurkha Rifles 3/3.
“Ia berhasil kami tangkap dan langsung kami tahan sebagai tawanan perang,” ungkap R.Makmur, veteran pejuang yang terlibat dalam pertempuran di Cisokan.
Saat dilakukan tukar menukar tawanan, Besin menolak dikembalikan ke pasukannya. Dia lebih memilih untuk bergabung dengan pihak Republik sebagai ajudan wedana Ciranjang. Terakhir menurut Makmur, Besin menikahi perempuan setempat dan menghabiskan masa senjanya berkeliling menjajakan bilik (bahan untuk dinding rumah yang terbuat dari anyaman bambu).
“Sebelum meninggal pada 1970-an, Besin berprofesi sebagai penjaga sebuah sekolah dasar di Ciranjang,” ujar Makmur.
Baca juga: Neraka Pasukan Gurkha
John Edward
John adalah seorang letnan berkebangsaan Inggris dari Batalyon 6 South Wales Border Brigade 4 pimpinan Brigjen TED Kelly. Dia membelot ke pihak Republik pada 1946 dan bergabung dengan Batalyon B pimpinan Kapten Nip Xarim.
Dia lantas dibawa ke Aceh dan menjadi penyiar bahasa Inggris Radio Rimba Raya. Kadang-kadang dia menjadi ajudan Komandan Divisi X Kolonel Husein Yusuf. Beberapa waktu kemudian, pangkatnya dinaikan menjadi kapten. Di kalangan gerilyawan Indonesia kawasan Sumatera, John Edward lebih dikenal sebagai Kapten Abdullah Inggris.
“Setelah memperistri perempuan Pematang Siantar, dia masuk Islam dan berganti nama menjadi Abdullah Siregar. John Edward meninggal di Pematang Siantar pada tahun 1956 sebagai orang biasa yang hidupnya sangat sederhana,” ujar Muhammad TWH, jurnalis sepuh Medan yang pernah mendalami kehidupan Edward.
Baca juga: Orang-orang di Balik Radio Rimba Raya
Yang Chil Sung
Yang Chil Sung dikenal oleh masayarakat Wanaraja di Garut dengan nama Komaruddin. Sebagai pemuda Korea yang ikut tentara Jepang ke Indonesia, Chil Sung bersama pasukannya pada Maret 1946 terlibat dalam pertempuran dengan Pasukan Pangeran Papak (PPP). Mereka kemudian tertawan dan menyatakan bergabung dengan kekuatan lasykar asal Garut tersebut.
Menurut Utsumi Aiko dalam Sekidoka no Chosenjin hanran (Pemberontakan Orang Korea Di Bawah Garis Khatulistiwa), selama bergabung dengan PPP, Chil Sung menjadi insiator berbagai penyerangan terhadap basis-basis militer Belanda di Garut selama 1946-1948. Salah satu aksinya yang paling dikenal adalah ketika dia berhasil menghancurkan Jembatan Cinunuk sehingga militer Belanda gagal menguasai Wanaraja.
Pada 25 Oktober 1948, bersama enam anggota PPP lainnya, Chil Sung berhasil diciduk militer Belanda di Parentas (perbatasan Garut-Tasikmalaya). Tujuh bulan kemudian, bersama koleganya dari Jepang yang tergabung dalam PPP (Katsuo Hasegawa dan Masharo Aiko), Chil Sung ditembak mati di Kerkof, Garut. Makamnya sekarang ada di Taman Makam Pahlawan Tenjolaya Garut.
Baca juga: Gerilyawan Korea di Pihak Indonesia
Tambahkan komentar
Belum ada komentar