Seks Serdadu Belanda
Bagaimana para prajurit muda Belanda memenuhi kebutuhan biologis saat bertugas di sebuah negeri tropis bernama Indonesia.
ITJAH masih berusia 11 tahun ketika para serdadu berkulit putih itu datang ke Panyindangan, kampungnya di Sumedang. Mereka yang sebagian besar anak muda belasan tahun tersebut lantas mendirikan pos yang menempati sebuah rumah besar milik salah satu pemuka kampung. Kedatangan mereka disertai lima perempuan muda pribumi yang berfungsi sebagai babu (pembantu).
“Saya hanya ingat tiga di antaranya yakni Ceu Ipoh, Ceu Isah dan Ceu Marni. Mereka semuanya bertugas sebagai tukang masak, tukang setrika dan tukang cuci baju para serdadu,” kenang perempuan kelahiran tahun 1936 itu.
Dalam pengamatan Itjah, kelima babu itu sangat disayang. Para serdadu itu tak segan menghadiahi uang dan makanan kepada mereka. Bahkan ada di antaranya selalu terlihat mesra dengan anak-anak muda Belanda itu.
“Saya tidak tahu mereka bobogohan (pacaran) atau tidak, yang jelas mereka terlihat sangat akrab dengan tentara-tentara Belanda itu. Kadang saya lihat saling pegangan tangan,” ujar Itjah.
Bisa jadi mereka bukan sekadar babu semata. Menurut sejarawan Belanda Step Scagliola dan penulis Annegriet Wietsma, pada 1946-1948 banyak perempuan pribumi yang berprofesi sebagai babu di pos-pos militer Belanda juga berlaku sebagai “kekasih” atau bahkan “istri” bagi para serdadu.
“Ribuan anak lahir dari hubungan dengan perempuan-perempuan pribumi,” tulis Wietsma dan Stef Scagliola dalam Liefde in Tijden van Oorlog (Cinta di Zaman Perang).
Kisah Princen
Sebagai eks serdadu Belanda yang dikirim ke Indonesia, J.C. Princen tak menafikan kebutuhan biologis di kalangan prajurit-prajurit muda selama bertugas di negeri tropis itu begitu tinggi. Ada kalanya ketika sedang tidak bertugas, mereka keluyuran sampai ke pelosok dan gang-gang hanya untuk mencari perempuan. Sebuah kebiasaan yang sebenarnya sangat dilarang oleh kesatuan mereka.
“Kami melakukannya dengan cara masing-masing. Ada yang sedikit memaksa, suka sama suka atau pergi ke para pelacur,” ujar lelaki kelahiran Den Haag tahun 1920 itu.
Princen masih ingat, ketika bertugas di Bogor, dirinya pernah memacari seorang perempuan setempat. Namanya Asmuna, yang tinggalnya persis di belakang pasar dekat Kebun Raya Bogor. Suatu hari Asmuna datang mencari Princen ke markasnya yang terletak persis depan Istana Bogor (sekarang Hotel Salak). Alih-alih diantarkan menemui Princen, perempuan itu malah ditembak mati karena melawan saat dilecehkan oleh para petugas jaga.
“Ketika terdengar tembakan, aku langsung berlari ke depan sambil membawa sten. Betapa terkejut dan marahnya aku ketika melihat Asmuna terbaring di ruangan jaga dengan tubuh penuh dengan lubang peluru dan bersimbah darah,” kenang serdadu Belanda yang kemudian membelot ke TNI tersebut.
Kala mengetahui Asmuna adalah pacar Princen, sang serdadu langsung diperiksa MP (Polisi Militer). Dia dipaksa menunjukan tempat tinggal sang gadis untuk memastikan bahwa pacarnya itu tidak memiliki penyakit kelamin atau berkaitan dengan TNI.
Namun Princen menolak. Dengan dalih lupa jalan menuju rumah gadis tersebut, dia hanya mengajak dua prajurit MP dan seorang petugas kesehatan tentara yang mengawalnya berkeliling wilayah gang-gang sekitar Kebun Raya Bogor saja. Akhirnya sang sopir menyerah dan memutuskan kembali ke markas yang terletak di depan Istana Bogor (sekarang Hotel Salak).
“Hai, lebih baik kamu memeriksakan dirimu ke dokter. Kamu kan tidak tahu perempuan itu berpenyakit sifilis atau tidak,” ujar salah seorang anggota MP tersebut.
Baca juga: Pekerja seks dalam pusaran revolusi Indonesia
Princen mengungkapkan hampir sebagian kawannya memiliki hubungan istimewa dengan para perempuan pribumi. Biasanya berhubungan intim merupakan sesuatu yang sulit untuk dihindari dalam relasi tersebut.
“Peraturan memang melarang itu. Tapi apa boleh buat. Kami hanya berkompromi dengan berlaku secepatnya mengoleskan salep hitam ke alat vital kami begitu selesai bercinta. Salep itu memang bau tapi sangat berguna,” ujar Princen.
Pacar Pribumi
Pemenuhan kebutuhan biologis dengan memacari perempuan pribumi juga diungkap oleh Gert Oostindie. Dalam Serdadu Belanda di Indonesia 1945-1950: Kesaksian Perang pada Sisi Sejarah yang Salah), Oostindie menyatakan bahwa banyak serdadu Belanda yang jatuh cinta dan memacari para perempuan pribumi.
“Tetapi mungkin banyak juga hubungan yang lebih berlandaskan perhitungan dan egoisme,” ungkapnya.
Seperti kasus di Sumedang, penelusuran Oostindie pun mengakui adanya fakta sebagian serdadu Belanda memacari para babu yang dipekerjakan di barak-barak militer. Bahkan sampai hamil, seperti diungkapkan dalam kesaksian seorang serdadu bernama Kees de Jong. Menurut de Jong, lebih sering mereka menghindar dari pertanggungjawaban daripada menikahi perempuan-perempuan pribumi itu.
“Di Buitenzorg (Bogor), saya memiliki kawan yang berkencan dengan seorang pembantu sampai hamil lalu dia menikahinya. Saya jauh lebih menghormati laki-laki ini,” ujar de Jong seperti dikutip oleh Oostindie.
Baca juga: Maling pun ikut revolusi kemerdekaan
Kendati terdapat propaganda untuk tidak melakukan praktek seks dengan perempuan pribumi, namun pimpinan militer Belanda menyadari bahwa hal tersebut tidak realistis. Sebuah brosur KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda) memuat pesan bahwa melakukan kunjungan ke tempat pelacuran memang tidak diperbolehkan. Namun dalam kenyataannya tidak ada pengawasan terhadap larangan tersebut, sehingga kepada para serdadu ditegaskan agar mereka paling tidak “membersihkan diri dengan seksama secara profikasis.”
Situasi perang yang serba susah di tanah Hindia juga berpengaruh terhadap “mudahnya” para serdadu mencari pasangan untuk bercinta. Dengan latar belakang kemiskinan kaum pribumi, praktek pelacuran pun tumbuh subuh bak cendawan di musim hujan.
“Di sini (Indonesia) banyak laki-laki yang sudah kehilangan akal (terutama dalam hal seks). Di sini kami mendapatkan begitu banyak tawaran untuk bermain seks, baik dengan cara yang wajar maupun tidak wajar, tanpa perlu mencari-cari sendiri,” demikian pengakuan seoran veteran bernama Jan Fokkens.
Baca juga: Kupu-kupu malam dalam revolusi Indonesia
Begitu banyaknya para serdadu yang terjebak dalam kehidupan seks yang tidak sehat, menjadikan seorang perawat kesehatan militer Belanda bernama Klaas Soetten menyimpulkan bahwa kondisi tersebut sebagai situasi yang memang diinginkan dan diusahakan oleh tentara musuh.
“Saya sangat yakin bahwa sebagian pemuda-pemuda kami di Hindia Belanda telah diracuni dengan penyakit kelamin,” kata Klaas.
Dugaan itu memang bukan tanpa dasar. Seorang petinggi militer Indonesia bernama Jenderal Mayor Moestopo pada 1946-1947 memang pernah secara sengaja membuat suatu grup eksklusif bernama BWP (Barisan Wanita Pelatjoer). Sesuai namanya, mereka terdiri dari para pelacur yang kemudian diturunkan di Yogyakarta dan sektor Bandung Utara. Namun alih-alih menjadikan para serdadu Belanda menurun secara moril, yang ada para pelacur itu malah menebarkan penyakit kelamin di kalangan para gerilyawan TNI sendiri.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar