Riwayat Para Firaun di Lembah Sungai Nil
Awalnya Firaun bukanlah gelar untuk raja Mesir Kuno. Gelar Firaun untuk raja baru dipakai ribuan tahun setelah Kerajaan Mesir berdiri.
Sejarah Mesir Kuno mengalir selama lebih dari 3.000 tahun. Dari penyatuan dua kekuatan Mesir di utara dan selatan pada sekira 3.100 SM hingga penaklukkan oleh Alexander Agung pada 332 SM Mesir Kuno tumbuh menjadi peradaban terkemuka di kawasan Mediterania.
Firaun adalah tokoh kunci dalam sejarah peradaban di lembah Sungai Nil itu. Menurut Jean Yoyotte, ahli egiptologi dari Prancis, dalam “Pharaonic Egypt: Society, Economy, and Culture” yang terbit dalam General History of Africa II: Ancient Civilizations of Africa, istilah “Firaun” berasal dari per-ao. Istilah ini pada era Kerajaan Lama bermaksud merujuk pada “Rumah Besar” bagi sang pangeran, termasuk kediamannya dan para menterinya. Baru pada masa Kerajaan Baru (1570–1070 SM), istilah Firaun menjadi sebutan bagi raja.
Sementara kata Ronald Leprohon, profesor egiptologi di Universitas Toronto, dalam The Great Name: Ancient Egyptian Royal Titulary, pada zaman kuno para penguasa Mesir Kuno masing-masing memiliki serangkaian nama sebagai bagian dari gelar kerajaan. Namun, pada masa kini, yang lebih dikenal hanya gelar Firaun-nya.
Baca juga: Mengintip Isi Dapur Firaun
Firaun yang Terkenal
Peneliti Mesir Kuno di masa yang lebih modern cukup beruntung karena orang Mesir Kuno cukup cermat mencatat sejarah bangsanya yang berdiri selama ribuan tahun. Apa yang kini dikenal sebagai Batu Palermo adalah salah satu catatan yang berisi daftar raja sejak dinasti paling awal hingga pertengaan Dinasti Ke-5.
Dinamakan Batu Palermo karena disimpan di Antonio Salinas Regional Archaeological Museum di kota Palermo, Italia. Dimulai dari masa Dinasti Ketiga, Batu Palermo tidak hanya mencantumkan nama-nama penguasa dalam urutan suksesi mereka, tapi juga tahun demi tahun dan peristiwa terpenting dari setiap pemerintahan.
Ada lagi yang disebut Daftar Raja Abydos (Abydos Kinglist). Catatan ini diukir pada dinding Kuil Firaun Seti I di Abydos.
Sementara Daftar Raja Turin, disebut begitu karena disimpan di Museo Egizio (Museum Mesir) di Turin, memuat nama-nama raja dari dinasti awal hingga masa pemerintahan Firaun Ramses II. Catatan ini tertera pada gulungan papirus yang tak lagi utuh.
Baca juga: Mumi Berlidah Emas dari Mesir
Para peneliti dalam menyusun urutan penguasa Mesir Kuno juga mengandalkan catatan yang ditulis oleh Manetho, penulis History of Egypt pada abad ke-3 SM. Sebagai pendeta kuil di Heliopolis, Manetho memiliki akses ke banyak sumber asli. Dia pula yang membagi pemerintahan Mesir Kuno ke dalam 30 dinasti seperti yang kini dikenal.
Seperti dikutip dari Live Science, para sarjana zaman modern sering mengelompokkan dinasti-dinasti itu ke dalam beberapa periode. Dinasti satu dan dua berasal dari sekira 5.000 tahun yang lalu. Periode ini sering disebut periode Dinasti Awal.
Banyak ahli percaya bahwa Firaun pertama adalah Menes. Ia yang menyatukan dua kekuatan di Mesir, utara dan selatan lalu menjadi raja pertama dari Dinasti Pertama pada periode Dinasti Awal Mesir (3.100–2.686 SM).
“Kita tahu kini bahwa itu tidak benar –ada sekelompok penguasa Mesir yang mendahului Menes. Para sarjana terkadang menyebut penguasa pra-Menes ini sebagai bagian dari Dinasti ke-0,” catat Live Science.
Baca juga: Ratu Mesir di Antara Temuan Baru Saqqara
Raja terkenal lain adalah Djoser berasal dari Dinasti Ketiga yang mengawali Periode Kerajaan Lama (2.686–2.161 SM). Menurut History, sekira 2.630 SM, Raja Djoser meminta Imhotep, seorang arsitek, pendeta dan penyembuh, untuk merancang monumen penguburan untuknya. Hasilnya adalah bangunan piramida besar bertingkat di Saqqara, dekat Memphis.
Kemudian ada Khufu, raja kedua yang memerintah Dinasti Keempat Mesir. Pada masanya pembangunan piramida Mesir mencapai puncaknya dengan pembangunan Piramida Agung di Giza, di pinggiran Kairo. Bangunan ini diperuntukkan bagi Khufu yang memerintah sejak 2.589–2.566 SM.
Firaun memang biasanya laki-laki. Namun, ada juga beberapa pemimpin perempuan, salah satunya Hatshepsut. Menurut History, Hatshepsut, Firaun ke-6 dari Dinasti ke-18 pada masa yang disebut Kerajaan Baru Mesir, adalah yang paling sukses sejauh ini dari sedikit perempuan yang pernah memerintah Mesir sebagai Firaun.
Dari dinasti yang sama, Amenhotep III maju menjadi penguasa ke-9 dan memerintah sejak 1.388–1.351 SM. Pada masanya, Mesir mencapai puncak karya arsitektur dan artistiknya.
Putranya, Akhenaten yang memerintah 1.351–1.334 SM juga menandai eranya dengan melakukan revolusi agama. Ia mengganti nama lahirnya, Amenhotep IV, menjadi Akhenaten yang berarti “dia yang melayani Aten”.
Baca juga: Rahasia Membuat Mumi di Mesir Kuno
Sang Firaun meyakini Dewa Matahari Aten sebagai satu-satunya dewa yang benar. Dengan begitu, dia menyangkal kepercayaan politeisme dan dewa tradisional Mesir. Istrinya yang terkenal, Nefertiti, turut memainkan peran penting dalam revolusi agama dan pemerintahan Akhenaten.
Tutankhamun mungkin menjadi Firaun paling terkenal dari semuanya. Pada 1922, makamnya ditemukan oleh arkeolog Howard Carter. Sejak itu, Tutankhamun menjadi ikon populer dari peradaban Mesir Kuno.
Tutankhamun memerintah Dinasti ke-18 sejak 1.332–1.323 SM. Putra Akhenaten ini merupakan Firaun termuda dalam sejarah Mesir yang menggenggam takhta pada usia sembilan tahun. Raja Tut meninggal pada usia 19 tahun. Penyebab kematiannya masih menjadi misteri bagi para ahli Mesir Kuno.
Baca juga: Di Balik Kutukan Makam Firaun
Adapun Dinasti ke-19 dan ke-20 dikenal sebagai periode Ramesside atau garis raja bernama Ramses. Pada masa ini terjadi pemulihan kerajaan Mesir yang tadinya sempat melemah. Berdiri pula sejumlah bangunan yang mengesankan, termasuk kuil dan kota besar.
Firaun yang paling terkenal adalah Ramses II (1.304–1.237 SM), Firaun ke-3 yang naik takhta. “Menurut kronologi Alkitab, eksodus Musa dan bangsa Israel dari Mesir kemungkinan terjadi pada masa pemerintahan Ramses II,” catat History.
Pemerintahan Absolut
Ketika naik takhta, seorang Firaun akan dipandang laiknya dewa. Menurut A. Abu Bakar dalam “Pharaonic Egypt” yang terbit dalam General History of Africa II: Ancient Civilizations of Africa, dogma kedewaan Firaun mungkin merupakan konsep yang dibuat selama dinasti awal. Tujuannya untuk mengkonsolidasikan satu aturan atas dua negeri yang baru bersatu kala itu.
“Sejak dinasti ketiga dan seterusnya, orang dibenarkan jika mengatakan bahwa kepala negara bukanlah seseorang dari Mesir Hulu atau Mesir Hilir, tetapi seorang dewa,” catat Abu Bakar.
Baca juga: Mumi-mumi Tertua yang Terjadi Secara Alami
Sebagaimana ditulis Arnold Toynbee, sejarawan Inggris, dalam Sejarah Umat Manusia, absolutisme monarki Firaun mencapai puncaknya pada masa Dinasti Ke-4 pada sekira 2.613–2.498 SM. Firaun merupakan pemimpin politik sekaligus agama.
“Firaun-firaun ini tampak seolah menggenggam kekuasaan yang besar sekali tanpa merasa kesulitan. Laiknya dewa-dewa yang mereka klaim sendiri,” catat Toynbee.
Orang Mesir percaya bahwa Firaun akan bersatu dengan dewa-dewa melalui sebagian jiwanya. Bahkan, mereka mempunyai kepercayaan bahwa Firaun akan melahap dewa-dewa. Dengan begitu dia akan menggenggam seluruh kekuasaan mereka.
Baca juga: Makam Firaun di Indonesia?
Namun, pada kenyataannya absolutisme bukannya tak tertandingi. Firaun harus berhubungan dengan dewa-dewa yang telah disembah di Mesir sebelum Firaun pertama didewakan.
Hilangnya jalur perdagangan dan pendapatan mungkin berperan dalam melemahnya pemerintah pusat Mesir. Dinasti ke-25 sampai ke-31 pada sekira 712–332 SM sering disebut sebagai “periode akhir” oleh para sarjana. Selama periode ini, Mesir beberapa kali berada di bawah kendali kekuatan asing.
Misalnya, penguasa Dinasti ke-25 berasal dari Nubia, sebuah wilayah yang sekarang terletak di Mesir selatan dan Sudan utara. Persia dan Assyria juga menguasai Mesir pada waktu yang berbeda selama periode akhir.
Itu sampai pada 332 SM ketika Alexander Agung mengusir Persia keluar dari Mesir dan memasukkan negara itu ke dalam Kekaisaran Makedonia. Setelah kematian Alexander Agung, kekaisaran peninggalannya berangsur mulai terpecah.
Baca juga: Di Balik Kematian Cleopatra
Salah satu jenderal Alexander, Ptolomeus pun mengambil alih kekuasaan di Mesir. Era Ptolemaik pun dimulai pada 305 SM. Dinasti ini berakhir saat Cleopatra VII dikalahkan Kaisar Octavianus pada 30 SM. Cleopatra menjadi penguasa dari klan Ptolomeus terakhir di Mesir.
Mesir pun kemudian berada di bawah kekuasaan Romawi Kuno. Kendati kaisar Romawi berbasis di Roma, orang Mesir tetap memperlakukan penguasa mereka itu sebagai Firaun. Sebagaimana ditulis Live Science, salah satu ukiran yang baru-baru ini digali menunjukkan Kaisar Claudius, memerintah pada 41-54 M, berpakaian seperti Firaun. Ukiran itu memiliki prasasti hieroglif yang mengatakan bahwa Claudius adalah “Putra Ra, Penguasa Mahkota”, dan “Raja Mesir Hulu dan Hilir, Penguasa Dua Negeri”.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar