Mumi-mumi Tertua yang Terjadi Secara Alami
Mumi tertua bukan dari Mesir Kuno. Mulanya mumi terjadi melalui proses alami.
Memumikan jenazah tersebar di dunia kuno. Praktik ini untuk menghormati orang mati dan mengekspresikan keyakinan agama tentang adanya akhirat.
Tujuan mumifikasi untuk mengawetkan jenazah dengan mengeringkannya atau membubuhkan balsem pada sekujur tubuhnya. Bahan yang digunakan adalah bahan pengawet alami, seperti resin untuk mengeringkan daging dan organ.
Mumifikasi paling terkenal dilakukan bangsa Mesir Kuno. Namun, peradaban di Lembah Sungai Nil itu bukanlah yang pertama kali memulai tradisi ini.
Mumifikasi bisa juga terjadi secara alami karena paparan suhu dingin ekstrem, kondisi sangat kering, atau faktor lingkungan lain yang menghambat pembusukan.
Mumi Spirit Cave
Mumi tertua yang diketahui ditemukan di Amerika Utara. Ia tersembunyi di dalam gua Spirit Cave, terletak 21 km ke timur Fallon, Nevada, Amerika Serikat.
Mumi Spirit Cave ditemukan pada 1940 di kuburan dangkal. Ia contoh mumifikasi alami. Jasadnya terawetkan oleh udara kering dan udara yang dijernihkan di dalam gua.
Dijelaskan Ancient Origins, mumi itu seorang lelaki berusia sekira 40 tahun ketika meninggal. Ia mengenakan sepatu mokasin. Tubuhnya dibungkus selimut kulit kelinci dan ditutupi tikar alang-alang.
Baca juga: Naluri Mengubur Mayat
Awalnya, mumi itu diyakini berusia antara 1.500 dan 2.000 tahun. Penanggalan karbon pada 1990-an menunjukkan mumi itu dimakamkan sekira 10.600 tahun yang lalu.
History melansir bahwa melalui analisis DNA yang dilakukan peneliti gabungan University of Cambridge dan University of Copenhagen dapat diketahui mumi Spirit Cave merupakan leluhur suku asli Amerika modern di Nevada, yakni Suku Fallon Paiute-Shoshone. Sisa kerangkanya dikembalikan ke suku asalnya pada 2016. Ia dikuburkan kembali dalam upacara pada 2018.
Mumi Chinchorro
Mumi tertua berikutnya berasal dari budaya Chinchorro di Amerika Selatan, di daerah Peru selatan dan Chili utara. Chinchorro merupakan budaya paling awal yang tercatat dengan sengaja membuat mumi.
Mumifikasi di Peru Kuno adalah cara untuk menghormati, mengingat, dan tetap terhubung dengan orang mati. Seperti dijelaskan Livescience, prosesnya cukup rumit. Mereka mengangkat kulit dan organ orang mati, mengikis daging dari tulang, lalu memperkuat kerangka dengan alang-alang dan tanah liat. Mereka kemudian menempelkan kembali kulitnya, mengecat jenazah dengan warnah hitam atau merah, serta memasang wig dan masker tanah liat di kepalanya.
Baca juga: Mumi Berlidah Emas dari Mesir
Arthur C. Aufderheide dalam “Seven Chinchorro mummies and the prehistory of Northern Chile” yang terbit dalam American Journal of Physical Anthropology, menyebutkan bahwa mumifikasi Chinchorro bertahan lebih dari 4.000 tahun. Kerumitannya berkurang seiring waktu dan secara bertahap menghilang setelah 2.000 SM.
“Mumifikasi buatan yang dikembangkan 3.000 tahun lebih awal dari teknik mumifikasi di Mesir. Tradisi ini berlangsung 4.000 tahun,” tulis Nuria Sanz dalam The Chinchorro Culture: a Comparative Perspective. The Archaeology of the Eearliest Human Mummifiction.
Salah satu dari tujuh orang yang terawetkan secara alami adalah mumi tertua yang dilaporkan hingga saat ini. Usianya sekira 9.000 tahun atau kira-kira 6.979 SM.
Mumi Gebelein, Mesir
Hingga akhir periode pradinastik, orang Mesir menguburkan jenazah dengan menempatkannya di kuburan dangkal, bersentuhan langsung dengan pasir, dan tertutup gundukan tanah. Pasir kering berfungsi sebagai pengawet.
Ada sejumlah kuburan dari periode awal ini yang jenazahnya masih dalam kondisi prima. Dua di antaranya, seorang pria dan wanita, disimpan di British Museum.
Baca juga: Di Balik Kutukan Makam Firaun
Mumi Gebelein Man dan Gebelein Woman itu pertama kali ditemukan di Gebelein, Mesir, sekitar 100 tahun lalu. Penanggalan radiokarbon mengungkapkan kedua orang tersebut hidup antara 3.351 dan 3.017 SM, tak lama sebelum Mesir bersatu dan periode dinasti awal dimulai.
Sebagaimana ditulis Smithsonianmag mumi Gebelein dimakamkan di kuburan dangkal. Tak ada perawatan khusus untuk mengawetkan tubuh mereka. Salinitas (keasinan) dan kekeringan di kawasan itu membuat jenazah mereka menjadi mumi secara alami.
Ötzi Manusia Es
Pada 1991, pejalan kaki menemukan sisa-sisa mumi beku Ötzi dengan pakaian dan peralatan di Pegunungan Alpen Ötztal, dekat perbatasan Italia-Austria.
Jurnalis Austria, Karl Wendl, memberikan nama Ötzi, yang mengacu pada situs penemuannya. Ia diyakini hidup antara 3.350 dan 3.100 SM. “Sebelum Stonehenge atau piramida Giza dibangun,” tulis Livescience.
Ötzi meninggal karena kehilangan darah akibat luka panah. Tubuhnya berada di selokan yang terlindung di kawasan gletser yang dingin. Salju menutupi tubuhnya yang terlindungi dari aliran gletser.
Baca juga: Apakah Naga Benar-Benar Ada?
Menurut laman resmi South Tyrol Museum of Archaeology, Ötzi hidup selama Zaman Tembaga, periode Neolitik akhir. Ia masih menggunakan perkakas batu, tetapi memiliki kapak tembaga yang inovatif dan sangat berharga.
Pakaian dan peralatan Ötzi telah diperbaiki dengan susah payah. Muminya dipamerkan di Museum Arkeologi Tyrol Selatan di Bolzano, Italia, sejak 1998. Ia disimpan dalam sel dingin yang dirancang khusus. Pengunjung dapat melihatnya lewat jendela kecil.
Mumi Mesir yang Sakral
Mumifikasi diketahui telah dipraktikkan pada tahap akhir periode prasejarah, khususnya pada peradaban Mesir Kuno. Sementara penggunaan resin dan pembungkus linen untuk jenazah diketahui mulai dilakukan sejak Hierakonpolis, yakni sekira 3.500 SM.
Orang Mesir percaya bahwa tubuh manusia bagian dari jiwa. Karenanya penting menjaga tubuh tetap utuh untuk kehidupan setelah kematian. Sebagaimana disebutkan dalam Ancient Origins bahwa tubuh adalah penghubung ke esensi manusia yang pernah menghuninya.
Baca juga: Rahasia Membuat Mumi di Mesir Kuno
Seperti ditulis dalam Phys, bagi masyarakat Mesir Kuno, pembalseman dianggap sebagai seni sakral. Pengetahuan tentang prosesnya hanya dimiliki oleh sedikit orang. Kebanyakan rahasia seni mungkin diteruskan secara lisan dari satu tempat pembalseman ke tempat pembalseman lainnya.
Karenanya bukti tertulis proses mumifikasi sangat langka. Hingga saat ini hanya dua teks tentang mumifikasi yang berhasil diidentifikasi.
Mumi Bersegel dari Dinasti Han
Mumi Xin Zhui atau Lady of Dai ditemukan di Perbukitan Mawangdui, dekat kota Changsha, Cina.
Menurut Dong Hoon Shin, dkk. dalam “Mummification in Korea and China: Mawangdui, Song, Ming and Joseon Dynasty Mummies” yang terbit dalam jurnal Hindawi BioMed Research International, Xin Zhui adalah istri Li Chang atau Marquis of Dai yang memerintah wilayah itu hampir 2.200 tahun yang lalu selama masa Dinasti Han. Ia wafat pada 168 SM.
Baca juga: Di Balik Kematian Cleopatra
Berbeda dengan mumi Mesir Kuno yang diawetkan dengan mengeringkan tubuh dari semua cairan dan mengeringkan jaringan mereka dengan garam sebelum dibungkus dan dikuburkan. Di Cina, segel rapat pada peti mati bagian dalam bertanggung jawab atas mumifikasi. Itu baik dengan tanah liat kaolin atau campuran tanah kapur. Adat istiadat penguburan juga berperan penting dalam mumifikasi. Misalnya, pengepakan kain yang ketat di dalam peti mati.
Seperti tubuh Xin Zhui yang kemungkinan besar terendam dalam beberapa jenis cairan asam yang menghambat pertumbuhan bakteri dan proses pembusukan. “Jejak merkuri ditemukan pada kulitnya, yang memiliki efek serupa,” sebut History Daily.
Baca juga: Mengintip Isi Dapur Firaun
Tubuhnya kemudian dibungkus erat dengan 20 lapis sutra. Ia lalu ditempatkan dalam serangkaian empat peti mati, yang semuanya bersarang satu sama lain. Masing-masing peti diisi dengan arang dan disegel rapat dengan tanah liat.
“Arkeolog percaya bahwa ini mencegah air dan udara yang akan menyebabkan pembusukan,” lanjut laman itu.
Alhasil, mayatnya masih terawat baik. Kulitnya lembut dan kenyal, rambut dan organnya utuh, kulit, persendian, dan ototnya masih lentur. Bahkan ada darah di pembuluh darahnya, kendati wajahnya sangat bengkak.
Livescience menyebut bahwa mumifikasi adalah seni yang hilang. Kebanyakan masyarakat menganggapnya aneh, kuno, atau sisa dari waktu lampau. Tapi gema dari proses tersebut tetap dapat dilihat di rumah duka modern, di mana pembalseman orang mati berperan dalam menghormati orang yang dicintai.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar