Ketika Firaun Keliling Dunia
Sosoknya bukanlah ilusi. Kenali bagaimana sang firaun melewati gerbang kematian dan makamnya ditemukan.
TAK ada firaun yang lebih terkenal ketimbang Tuthankhamun. Relik-relik dari makamnya sering keliling dunia. Membangunkan imajinasi banyak orang akan sosok firaun muda ini.
Tuthankhamun memerintah Mesir selama tahun 1332-1323 SM. Ia naik takhta saat berusia 9-10 tahun, menikahi saudari tirinya (Ankhesenamun) dan punya dua anak perempuan, kemudian meninggal dunia saat berusia 18-19 tahun.
Menikahi saudari perempuan adalah kebiasaan di Mesir Kuno. Ibunda Tuthankamun adalah istri dan juga saudari perempuan sang ayahandanya, firaun Amenhotep IV.
Sejak makamnya ditemukan arkeolog Inggris Howard Carter tahun 1922, Tuthankhamun melejit sebagai simbol peradaban Mesir Kuno. Relik-relik dari makamnya melanglang Eropa dan Amerika sejak awal 1960-an.
Kali ini, Kementerian Purbakala Mesir kembali menggelar pameran dunia. Dimulai dari dari Los Angeles (24 Maret 2018–6 Januari 2019), Paris (23 Maret–15 September 2019, diperpanjang hingga 22 September), dan kemudian London (2 November 2019–3 Mei 2020).
Pameran ini akan jadi yang terakhir digelar di luar Mesir. Pasalnya, saat ini pemerintah Mesir sedang membangun Grand Egyptian Museum (Museum Mesir Raya) di kawasan Giza. Museum Nasional di Kairo dianggap tak mampu lagi menampung barang koleksi. Rencananya, museum baru kelar tahun 2021. Selesai pameran ini, semua barang koleksi akan disimpan di museum baru untuk selamanya.
Gerbang Kematian
Pameran ini menyajikan 150 relik dari makam Tuthankhamun. Jumlah ini tentu kecil. Sebab, ada sekitar 5.000 lebih relik yang ditemukan dan disusun katalognya oleh Howard Carter. Meski demikian, pameran tetap mengesankan karena 150 relik itu lumayan mewakili keberagaman relik dari makam Tuthankhamun.
Pameran terdiri dari sembilan bagian: enam bagian pertama menggambarkan 12 gerbang kematian yang mesti dilalui sang firaun, dan tiga bagian terakhir mengisahkan proses penemuan makam Tuthankhamun oleh Carter.
Baca juga: Makam Firaun di Indonesia?
Jadi, 150 relik yang disajikan dalam pameran ini disusun berdasarkan prosesi sang firaun saat melalui 12 gerbang kematian. Gerbang kematian ini menjadi konteks fungsi simbolisasi dari keberadaan relik di dalam keseluruhan prosesi. Dengan ini, pengunjung seakan diajak-serta melalui 12 gerbang kematian sang firaun. Dari situ, pengunjung mengenali arti penting setiap gerbang dan mengerti mengapa relik itu ada di dalam makam sang firaun.
Bagian pertama menggambarkan Tuthankhamun sebagai firaun muda dan kematiannya. Di sini disajikan antara lain dua set permainan senet (mirip catur ala Mesir Kuno) yang kerap dimainkan Tuthankhamun dan sang istri, kursi Tuthankhamun saat berusia 9 tahun, dan ranjang kematian yang memiliki kaki berukir cakar singa sebagai lambang penjaga sang firaun.
Bagian kedua dan ketiga menggambarkan gerbang-gerbang kematian yang dilalui Tuthankhamun sebagai seorang penguasa tangguh. Di sini disajikan antara lain alat-alat perang yang digunakan Tuthankhamun guna memerangi roh jahat dan binatang buas di dunia kematian, kendaraan yang dipakai Tuthankhamun, dan patung-patung yang menggambarkan kekuatan Tuthankhamun.
Bagian keempat dan kelima menggambarkan gerbang-gerbang kematian yang dilalui Tuthankhamun sebagai seorang penguasa kaya-raya. Di sini disajikan antara lain sejumlah perhiasan yang dikenakannya sebagai simbolisasi seorang firaun dan patung-patung yang menggambarkan kelengkapan pakaian kebesarannya.
Bagian keenam menggambarkan gerbang kematian yang membawa Tuthankhamun menuju kelahiran-kembali. Di sini disajikan antara lain sandal emas (emas sebagai lambang fisik dewa), kalung emas bermotif elang/rajawali sebagai lambang Dewa Horus, dan piala bermotif teratai sebagai lambang Dewa Heh (dewa kekekalan).
Egiptologi Modern
Tiga bagian terakhir menyodorkan kisah pencarian makam Tuthankhamun. Carter memulai penggalian awal 1914. Sempat terhenti karena Perang Dunia I (1914-1918), proses penggalian berlanjut usai perang. Lima tahun berlalu tiada hasil, Lord Carnarvon sebagai penyokong dana bermaksud menghentikan penggalian.
Pada tahap inilah terdapat peran seorang bocah pembawa air, yakni Hussein Abdel-Rassoul. Secara tak sengaja, ia tersandung batu. Ternyata batu atas tangga menuju pintu makam. Inilah yang mendorong Carter melakukan penggalian lebih lanjut dan memaksa Carnarvon tetap menyokongnya.
Baca juga: Sekuat Dupa, Sewangi Cleopatra
Dari kisah penemuan makam Tuthankhamun ini terlihat jelas peran dua cabang ilmu: filologi dan arkelogi, yang membentuk egiptologi modern di Barat.
Meneliti Mesir Kuno bukanlah perihal kisah romantis ala Cleopatra, kisah magis ala novel Ibu Susu, atau kisah petualangan ala Indiana Jones. Sejak hieroglif Mesir Kuno dipecahkan pertama kali oleh Jean-François Champollion, sejawaran-cum-linguis asal Prancis yang dijuluki “Bapak Egiptologi”, pada awal abad ke-19, filologi punya peran besar dalam perkembangan penelitian Mesir Kuno.
Di kemudian hari, perkembangan teknologi selama abad ke-19 memperluas peran arkeologi. Penggalian tak lagi dilakukan para petualang pemburu harta-karun seperti penjelajah-arkeolog Giovanni Belzoni yang menjual relik-relik eksotis Mesir Kuno, melainkan oleh para sarjana yang punya dedikasi bagi perkembangan ilmu pengetahuan seperti Auguste Mariette, egiptologi berkebangsaan Prancis, yang menemukan patung Dewa Amun pelindung Tuthankhamun pada 1857.
Baca juga: Menggali Sejarah Pemakaman
Menarik dicatat, penemuan patung Dewa Amun justru mendorong pencarian makam Tuthankhamun. Sebelumnya, kisah tentang Tuthankhamun dianggap ilusi belaka. Tapi lewat patung ini, ilmuwan semakin yakin keberadaan makam Tuthankhamun yang belum dijarah para pemburu harta-karun.
Pula, Auguste Mariette menunjuk Gaston Maspero sebagai pengganti dirinya pada 1880 sebagai direktur jenderal arkeologi Mesir. Maspero punya peran menggagalkan penyelundupan barang-barang antik Mesir Kuno. Maspero pula yang memperkenalkan Carter kepada Lord Carnarvon sebagai penyandang dana. Di sini kita bisa lihat pentingnya keberlanjutan kerja sama dan jaringan dalam egiptologi modern di Barat.
Tut-mania di Barat
Pameran ini menawarkan oase bagi para penggemar Tuthankhamun di Eropa dan Amerika. Pengunjung yang membludak bukan hanya menjadi tolak ukur keberhasilan pameran, tapi juga bagaimana imajinasi masyarakat Barat akan Tuthankhamun terbentuk sejak penemuan makamnya. Inilah yang disebut “Tut-mania”.
Baca juga: Lebih Dekat dengan Museum Nasional
Fenomena ini disokong beragam koleksi Mesir Kuno di banyak museum di Eropa. Museum di Berlin (Ägyptisches Museum und Papyrussammlung), Paris (Musée du Louvre), dan London (British Museum) memiliki koleksi-koleksi penting Mesir Kuno. Koleksi di museum Paris, misalnya, tak pernah sepi pengunjung yang tertarik melihat koleksi sarkofagus para firaun dari berbagai zaman.
Pameran ini memang tak mampir ke negara-negara Selatan seperti Indonesia. Ada banyak sebab yang bisa diduga mengapa tak pernah terlaksana. Kiranya perkembangan ilmu punya peran membangkitkan ketertarikan masyarakat umum akan Mesir Kuno. Apakah ada sarjana Indonesia yang mendalami egiptologi?
Tambahkan komentar
Belum ada komentar