Tempe Berdikari Produksi ITB
ITB memproduksi tempe berkualitas ketika krisis pangan pada dekade 1960. Higienis, cepat, dan murah.
Tahu dan tempe belakangan menghilang dari pasaran pada awal tahun baru 2021. Tak ada tempe dan tahu goreng di gerobak gorengan atau oreg tempe di warung Tegal. Pengusaha tahu dan tempe mogok membuat tempe karena harga kedelai impor naik drastis. Setelah itu, pengusaha kembali memproduksi. Tapi harga tempe dan tahu ikut mahal.
Tempe telah lama jadi makanan populer di Indonesia. Menurut sejarawan Onghokham dalam “Tempe Sumbangan Jawa untuk Dunia” termuat di Kompas, 1 Januari 2000, tahu dan tempe muncul pada abad ke-19 seiring berlakunya tanam paksa. Masa ini, tahu dan tempe menjadi penyelamat masyarakat.
“Tanam paksa makin membuat bahan makanan seperti tempe menjadi sangat vital sebagai penyelamat kesehatan penduduk,” ungkap Ong.
Baca juga: Sejarah Tempe
Beberapa kali pula tahu dan tempe muncul dalam krisis pangan dan upaya perbaikan gizi. Salah satunya terjadi pula pada 1960-an. Kala itu, Sukarno getol mengkampanyekan revolusi menu Indonesia dan operasi pemberantasan buta gizi. Melalui dua program itu, Sukarno menghendaki wujudnya perbaikan kualitas pangan bagi masyarakat Indonesia.
Kampanye itu didukung oleh berbagai pihak, dari lembaga pemerintahan sampai ke universitas. Lembaga Makanan Rakjat membuat informasi tentang gizi secara besar-besaran. Bersama itu pula muncul konsep gizi seimbang, Empat Sehat Lima Sempurna dari Prof. Poorwo Soedarmo. Sementara universitas berupaya mengenalkan cara mengolah bahan makanan secara lebih modern, higienis, dan murah sesuai tuntutan Revolusi Menu.
Baca juga: Sukarno dan Gerakan Makan Jagung
Pengolahan itu menargetkan pula kacang kedelai. Sebab, kacang kedelai menjadi sumber gizi protein utama dalam Revolusi Menu. Pengolahan itu misalnya dilakukan oleh Himpunan Mahasiswa Teknik Institut Teknologi Bandung (Himatek ITB). Sebermula mereka mempunyai program mengolah barang-barang kebutuhan rumah tangga.
Program itu muncul bersamaan seruan ekonomi berdikari. Tapi modal pengolahan barang-barang itu terlalu besar sehingga program tersendat beberapa lama. Mereka pun banting setir cari kemungkinan lain. “Maka proyek pertama yang dianggap paling murah modalnya dikerjakan lebih dulu, yaitu membuat tempe,” catat Selecta, No. 259, 1966.
Dasar pertimbangan lainnya tentang langkanya kacang kedelai saat itu. Konsep Revolusi Menu dan Empat Sehat Lima Sempurna juga belum laras dengan kondisi keuangan masyarakat.
Baca juga: Operasi Pemberantasan Buta Gizi Masa Sukarno
“Makanan rakyat kita ini sekarang betul-betul kekurangan protein. Saran-saran yang pernah dilancarkan oleh pejabat-pejabat kesehatan untuk melaksanakan 4 sehat 5 sempurna... sesungguhnya tak bisa dijalankan oleh kaum jelata,” lanjut Selecta.
Himatek ITB kemudian membentuk lima tim pengolahan kacang kedelai. Dipimpin oleh Hermanu, Tjiam Ay Bwan, dan Ira Nasution, tim ini bekerja di laboratorium Mikro Biologi untuk meneliti ragi berkualitas tinggi untuk tempe. Ragi itu berasal dari jamur Rhizopus Oryzae.
Penelitian ragi memakan waktu dua tahun. Meski berkualitas tinggi, ragi tempe itu bisa diperoleh dengan harga ekonomis. Karena itulah, harga tempe pun lebih rendah daripada harga tempe di pasaran.
Setelah memperoleh ragi, tim Himatek ITB mulai mengumpulkan kacang kedelai dan menciptakan alat pengolahannya. Mereka bisa membeli kacang kedelai 25 kilogram setiap hari. Mereka menjaga kedelai itu agar tanpa campuran sama sekali. Kedelai itu lalu direndam dan diinjak dengan alat khusus ciptaan ITB.
Baca juga: ITB Rayakan Seabad TH Bandung
Alat khusus ini membedakan proses menginjak tempe. Biasanya kedelai akan diinjak langsung oleh kaki manusia untuk menceraikan kedelai dari kulit arinya. “Seperti lazimnya petugas dengan kaki telanjang masuk ke dalam tempat kacang lalu bikin goyang sage atau tari shake atau tari twist sehingga meneteslah apa yang bisa menetes dari kedua celah kakinya itu,” terang Selecta.
Dengan alat khusus tersebut, Himatek ITB mengklaim pengolahan kedelai lebih higienis. Apalagi kemudian kedelai dicuci kembali selama setengah jam dengan air ledeng. Berikutnya, kedelai dibubuhi tepung kanji. Ini berbeda sekali dari lazimnya kebanyakan pengolahan tempe. Sebab kedelai hanya dibubuhi ampas tepung kanji, bukan tepungnya.
Lepas setengah jam proses pembubuhan tepung kanji, kedelai siap dimasak. Lalu kedelai itu ditaburi ragi yang dikeluarkan dari penyimpanannya. Proses berikutnya, petugas memasukkan kedelai itu dalam kantong plastik dan menyimpannya dalam ruang inkubator rapat dengan suhu 37 derajat celcius. Esok harinya, tempe siap dijual.
Produk itu berjenama Tempe ITB. Penjualannya dilakukan dalam lingkup kecil lebih dulu. Mengingat tingkat produksinya pun masih rendah. Tiap orang hanya boleh membeli tiga bungkus. Harganya satu rupiah uang baru.
Baca juga: Sejarah Tahu, Tahu Sejarah
Lambat-laun, produksi tempe meningkat. Pemasaran pun meluas. Tempe ini kemudian masuk kanal berita surat kabar dan majalah cetak. Khalayak mulai mengenalnya. AURI dari Lapangan Udara Hussein Sastranegara tertarik bekerja sama dengan Himatek ITB untuk memperluas pasarannya. Mereka berupaya memasukkan tempe ini ke Toserba Sarinah di Jakarta dan mengekspornya ke Belanda dengan dukungan pemerintah.
Berita MIPI Vol. 9–11 tahun 1965 menyebut tempe ini memiliki keunggulan dari tempe lainnya. Antara lain dari takaran gizinya. Menurut penelitian, nilai protein sebungkus tempe ini setara dengan dua butir telur ayam. Himatek ITB berulangkali menjelaskan pula tentang kebersihan pembuatan tempe ini.
Tapi tempe ini kurang mendapat tanggapan baik dari pemerintah. Kondisi politik saat itu terlalu menguras tenaga dan perhatian. Sehingga upaya berdikari dalam pangan kedelai ini pun menguap.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar