Sejak Kapan Pengantin Baru Berbulan Madu?
Kendati kerap dikaitkan dengan kehidupan pernikahan yang hanya manis di awal, honeymoon atau bulan madu berperan dalam proses transisi memasuki hubungan suami-istri.
SEPERTI halnya gaun pengantin berwarna putih, honeymoon atau bulan madu juga telah menjadi tradisi yang umum dilakukan oleh pengantin baru. Para pengantin baru di masa kini, di mana sebagian besar berasal dari kelas pekerja, biasanya menghabiskan waktu selama beberapa hari –disesuaikan dengan jumlah cuti– untuk bulan madu ke tempat-tempat wisata populer di dalam maupun luar negeri.
Terkait sejarah kemunculan tradisi bulan madu, Charles Panati menulis dalam Panati's Extraordinary Origins of Everyday Things, ada beragam cerita yang melatari munculnya istilah honeymoon yang di antaranya dikenal sebagai cerita rakyat yang disebarkan secara mulut ke mulut dari generasi ke generasi.
“Ketika seorang pria dari komunitas Eropa Utara menculik seorang wanita dari desa tetangga yang akan dijadikan sebagai pasangan pengantinnya, ia harus membawa pengantin wanita tersebut bersembunyi selama beberapa waktu. Keberadaan mereka hanya diketahui oleh pendamping pria yang dikenal sebagai best man. Ketika keluarga pengantin wanita menghentikan pencarian mereka, pria itu bersama dengan pasangannya akan kembali ke kelompoknya. Setidaknya, itulah penjelasan populer yang ditawarkan oleh ahli cerita rakyat tentang asal mula honeymoon,” tulis Panati.
Baca juga:
Ada pula yang mengaitkan kemunculan istilah honeymoon dari kebiasaan meminum secangkir anggur madu setiap hari yang dilakukan pengantin baru di bulan pertama pernikahannya. Tak sedikit juga yang menganggap istilah honeymoon, yang berasal dari kata honey (madu) dan moon (bulan), sesungguhnya gambaran kehidupan pernikahan. Pada awalnya pengantin baru akan merasakan kehidupan rumah tangga yang manis, namun seiring dengan berjalannya waktu –seperti halnya bulan yang memiliki banyak fase– mengalami perubahan yang berdampak pada memudarnya kasih sayang dalam pernikahan.
Terlepas dari beragam cerita rakyat tentang awal mula munculnya istilah honeymoon, menurut sejarawan Inggris, Emily Brand dalam “A Brief History of Honeymoons (and How the Post-Wedding Holiday Got It’s Name)”, termuat di History Extra, 3 September 2020, hingga akhir tahun 1800-an, istilah honeymoon tidak merujuk pada perjalanan pasca pernikahan, tetapi hanya pada bulan pertama pernikahan. Sebagai salah satu penggunaan paling awal yang tercatat, sebuah buku dari tahun 1552 menjelaskan bahwa istilah hony mone secara umum ditujukan kepada orang yang baru menikah, yang pada awalnya tidak saling jatuh cinta, namun pada akhirnya saling mencintai dengan sangat baik, hal ini terlihat dari ekspresi kebahagiaan mereka di awal-awal pernikahan.
“Pada pertengahan abad ke-18, Samuel Johnson’s Dictionary mendefinisikan istilah ini sebagai ‘bulan pertama setelah menikah ketika tidak ada yang lain kecuali kelembutan dan kesenangan’ –implikasinya adalah bahwa kasih sayang mereka akan memudar seiring berjalannya waktu. Klaim bahwa hal ini terkait dengan praktik minum madu selama 30 hari tampaknya telah disebarkan oleh orang-orang Victoria,” tulis Brand.
Pada akhir abad ke-19, istilah honeymoon semakin sering digunakan untuk merujuk pada perjalanan pernikahan yang dilakukan pengantin baru setelah keduanya mengucapkan janji sehidup semati. Sebelum abad ke-19, kegiatan ini dikenal dengan tur pengantin atau perjalanan setelah pernikahan yang dilakukan orang-orang kaya dan bangsawan Eropa, khususnya Inggris. Profesor di Departemen Bahasa Inggris University of Missouri-Kansas City, Jennifer Phegley menulis dalam Courtship and Marriage in Victorian England, mereka yang sangat kaya dapat melakukan perjalanan keliling Eropa dalam waktu yang panjang selama berbulan-bulan. Perjalanan ini dipandang sebagai momen bagi para pengantin baru untuk menjauh selama beberapa saat dari tempat tinggal mereka sembari bersiap untuk bertransformasi dari seorang lajang menjadi pasangan suami-istri.
Baca juga:
Tur pengantin juga kerap dimanfaatkan untuk mengunjungi kerabat di luar kota atau luar negeri. Pengantin baru tersebut biasanya ditemani atau bertemu dengan teman maupun anggota keluarga selama melakukan perjalanan. Lambat laun tur pengantin menjadi lebih bersifat pribadi dan tak lagi bertujuan mengunjungi anggota keluarga yang tinggal jauh dari rumah. “Konsepnya adalah bahwa pasangan tersebut dapat mulai membina hubungan yang lebih dekat dan mesra secara pribadi, jauh dari pengawasan keluarga dan teman-teman mereka. […] Bulan madu berfungsi sebagai ‘proses menjadi suami-istri’ di mana pasangan lebih diutamakan daripada keluarga atau masyarakat,” tulis Phegley.
Berbulan madu semula kebiasaan kelas menengah ke atas, akan tetapi revolusi industri yang berdampak pada berkembangnya transportasi massal yang terjangkau membuat kebiasaan ini merambah kelas pekerja dan masyarakat umum. Pilihan lokasi dan waktu perjalanan disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan mereka. Praktik ini tak hanya populer di wilayah Eropa, tetapi juga dikenal di Amerika Serikat. Berkembangnya industri pariwisata berdampak besar pada meningkatnya popularitas honeymoon. Mereka yang melihat peluang memanfaatkan kebiasaan ini untuk mengumpulkan pundi-pundi uang dengan membuka penginapan yang mengakomodasi kebutuhan pengantin baru atau membuka layanan wisata bagi pasangan yang baru menikah.
Meski begitu, honeymoon tak luput dari kritik. Di era Victoria, ketika moralitas dan kesopanan menjadi standar dengan aturan-aturan tertentu dalam kehidupan sosial masyarakat, sebagian orang menganggap honeymoon sebagai kebiasaan yang dapat mengancam kehidupan rumah tangga. Bulan madu dipandang sebagai “ajang transformasi secara geografis dan psikologis dari lajang menjadi subjek yang sudah menikah”. Transformasi ini mencakup ikatan seksual yang baru terbentuk serta ikatan emosional yang semakin kuat. Pengalaman ini terbukti luar biasa bagi sebagian orang. Ekspektasi tentang konsep rumah tangga ideal yang ada di benak pasangan pengantin baru seringkali berbeda, dan hal ini tak jarang menimbulkan kesulitan karena minimnya pengalaman.
“Bagi wanita, khususnya, perpisahan dengan keluarga mereka dan kebangkitan seksualitas serta pengabdian pada pasangan dapat menjadi hal yang traumatis, yang memicu hilangnya ikatan dan bukannya menumbuhkan suatu identitas yang baru,” tulis Phegley.
Sementara itu, menurut Barbara Penner dalam Newlyweds on Tour: Honeymooning in Nineteenth-century America, promosi besar-besaran terhadap konsep pernikahan impian yang digelar mewah dan bulan madu yang menakjubkan dikhawatirkan menumbuhkan relasi antara cinta dan materialisme. “Bahaya dari tradisi yang mempesona seputar cinta dan pernikahan terletak pada kemampuannya untuk membutakan perempuan terhadap tugas dan tanggungjawab praktis dari perkawinan. Para wanita, yang termakan oleh mimpi-mimpi sentimental tentang perkawinan mewah atau bulan madu untuk sekali seumur hidup, dapat melompat ke dalam perkawinan tanpa pikir panjang dan mendapati diri mereka kecewa setelah kegembiraan itu mereda,” tulis Penner.
Namun, terlepas dari kritik tersebut, perayaan pernikahan dengan melakukan perjalanan yang jauh selama beberapa waktu telah menjadi kebiasaan yang tak ingin dilewatkan oleh para pengantin baru. Seiring dengan semakin pendeknya durasi perayaan tradisional, honeymoon dipandang sebagai liburan singkat yang penuh kegembiraan bagi pengantin baru.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar