Rias Pengantin ala Serat Centhini
Merias pengantin, satu tahap awal kesakralan prosesi pernikahan dalam budaya Jawa.
Usai pelaksanaan ijab kabul, doa-doa dan salawat dilantunkan. Pengantin kakung (laki-laki) menggunakan kampuh (jenis kain untuk pengantin Jawa) dan celana cindhe (motif kain Jawa dengan teknik jumputan) berenda, dilengkapi kuluk (penutup kepala) di bagian kepala dan dhuwung (keris) di sisi kampuh. Boreh kuning melumuri tubuhnya. Ada hiasan gombyok dari rangkaian bunga setaman. Ia lalu bersalaman dengan penghulu.
Di saat yang bersamaan, pengantin putri terlihat sangat cantik hasil karya perias pengantin. Dahinya dihiasi goresan paes (riasan pada dahi pengantin Jawa). Prosesnya dimulai dari mengerik anak rambut, meletakkan pidih (bahan untuk membuat paes), lalu membuat jamang (ukiran di bagian pipi menuju rambut) di bagian kanan dan kiri. Digunakannya pula gelang kana dan kalung susun. Kampuh serta kain cinde membalut tubuhnya dari bahu hingga mata kaki. Lalu, sanggulnya berbentuk gelung bokor mengkureb. Wangi pandan menyeruak dari balik sanggulnya. Wangi itu berpadu dengan wangi rangkaian bunga melati. Cunduk mentul (aksesori pengantin, biasanya terbuat dari kuningan atau logam) berjumlah sembilan menambah kesan mewah hiasan kepala.
Itulah gambaran pernikahan dalam Serat Tatacara karangan Ki Padmasusastra yang ditulis tahun 1911. Deskripsi tersebut menjadi gambaran visual pernikahan Jawa di eranya kendati tidak jauh berbeda dari pernikahan adat Jawa pada masa kini, yang sama-sama menggunakan paes.
Baca juga: Pernikahan Bung Hatta Gunakan Adat Jawa
Pada masa lalu, proses pembuatan paes merupakan sebuah ritual. Ada beberapa hal yang harus dilakukan baik untuk calon pengantin maupun tenaga perias.
Serat Centhini menggambarkan hal-hal yang perlu dilakukan oleh perias pengantin Jawa. Antara lain, perias memiliki doa khusus saat merias pengantin. Lalu, perias membaca mantra-mantra dengan harapan sang pengantin putri terlihat semakin cantik. Sebelum merias, perias disarankan melengkapi dengan sesaji.
“Sesaji paes terdiri dari panggang tumpeng krambil wutuh, pitik urip gula klapa, jadah jenang pondhoh biru, kembang boreh jajan pasar, gedhang ayu suruh ayu, langkep saadune pisan, jungkat suri kaca timur, lenga sundhul mega biru, tindhihe salawe uwang,” kata buku hasil transliterasi Kamajaya tahun 1989, Kuliner dalam Serat Centhini.
Tumpeng, kelapa utuh, ayam hidup, gula kelapa, bubur, jajanan pasar, dan pisang satu sisir adalah bahan makanan yang dijadikan sesaji saat membuat paes. Sesaji itu lalu dilengkapi uang sebesar 25 real yang ditindih dengan sisir dan cermin.
Pengantin putri disarankan duduk di atas tikar yang dilapisi berbagai daun, utamanya daun alang-alang, dan jarik besar untuk semekan (kain lilit di bagian dada) saat dirias.
Baca juga: Pernikahan Orang Jawa Kuno
Berbeda dari riasan pengantin putri, riasan pengantin pria lebih simpel. Pengantin pria hanya mengerik alis dan mengerik kumis. Alas duduk yang digunakan sama seperti pengantin putri. Pakaiannya berupa kampuh dengan motif gadhung melati atau bangun tulak.
Dari jasa merias itulah sang perias mendapat suguhan makanan dan minuman enak yang wajib diberikan pihak calon pengantin. Makanan untuk perias minimal nasi serta iwak (lauk).
Selain itu, perias juga berhak membawa pulang jarik alas duduk pengantin. Paling utama tentu upah dalam bentuk uang. Serat Centhini menyebutkan besaran upah yang biasa diterima perias. “Upahnya uang dua real, totalnya empat real, yang diberikan hari itu juga. Baju, jarik, kemben, semua menjadi milik nyai tukang juru paes sekaligus satu set pakaian pengantin.”
Tambahkan komentar
Belum ada komentar