Repatriasi 472 Artefak dari Belanda dengan Modalitas Berbeda
Upaya repatriasi melewati proses panjang. Hasilnya diperlihatkan dalam “Pameran Repatriasi” untuk membuka pintu riset sejarah bagi para akademisi.
HAMPIR setiap agenda pengembalian benda bersejarah warisan peradaban Nusantara dari Belanda, modalitasnya adalah inisiatif niat baik dari Belanda atau sebagai hadiah dari negeri bekas penjajah. Itu berlangsung mulai dari 1970-an hingga 2020. Tetapi beda ceritanya saat ditangani Tim Repatriasi Koleksi Asal Indonesia di Belanda yang dibentuk pemerintah Indonesia. Proses repatriasi yang dilakukannya kurun 2021-2023 memasuki babak baru.
Gebrakan baru itu berangkat dari persoalan yang timbul sebelumnya. Pada 2016, Ditjen Kebudayaan Kemendikbudristek RI menerima ribuan koleksi benda bersejarah dari Museum Delft karena museumnya gulung tikar.
“Ketika Pak Hilmar (Farid, dirjen Kebudayaan RI) ke Belanda 2016 itu kan tadinya Museum Delft bangkrut. Koleksinya itu mau diserahkan saja ke Indonesia. Tapi Pak Dirjen tegas bilang, enggak begitu dong caranya. Masak you enggak butuh, sekarang mau dibuang lagi ke Indonesia? Bahwa harus ada proses riset yang berkaitan dengan benda-benda tersebut. Ada enggak keterkaitan sejarahnya? Ada enggak aspek kultural penting terhadap benda-benda tersebut,” ujar Ketua Tim Repatriasi I Gusti Agung Wesaka Puja kepada Historia.
Dalam kesempatan berbeda, Hilmar juga menegaskan hal serupa. Sudah semestinya, ujarnya, ada modalitas yang setara dalam kerjasama dalam hal repatriasi beserta prosesnya agar tidak lagi mengulang yang sudah-sudah.
“Modalitasnya selalu begitu: mereka berbaik hati mengembalikan. Padahal itu (benda-benda) milik kita. Saya masuk (menjabat dirjen kebudayaan) 2016, saya pikir ada yang salah arrangement-nya begini. Mei 2019 kita (RI-Belanda) diskusi. Ini modalitas pengembaliannya saya mau posisi yang setara. Jadi benda-benda yang dikembalikan, it’s not for you to decide. Kita punya ahli, Belanda juga, mestinya diskusi dalam proses ini,” ungkap Hilmar dalam program “Belanda Kembalikan Ratusan Benda Pusaka tapi Tak Ada Ganti Rugi Korban Westerling” di channel Youtube Akbar Faizal Uncensored, 17 Juli 2023.
Kesimpulannya, modalitas kesetaraan itu diwujudkan dalam diskusi bersama untuk menentukan artefak mana saja yang baiknya direpatriasi dari Belanda. Diskusi dan kerjasamanya berlandaskan Memorandum of Understandong (MoU) antara Kemendikbudristek RI dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, dan Ilmu Pengetahuan Belanda pada 2017.
Lantas di masa pandemi Covid-19, Belanda menggagas tim pilot project, PROCE (Provenance Research on Objects of the Colonial Era), dan membentuk Commissie Koloniale Collecties. Pihak Indonesia menyusul pada Februari 2021 dengan membentuk Tim Repatriasi Koleksi Asal Indonesia di Belanda yang diketuai Puja.
“Jadi menarik bahwa komite Belanda PROCE ini dibentuk karena justru yang men-trigger Pak Dirjen. Bahwa repatriasi tidak hanya pengembalian begitu saja tapi harus ada tindak lanjut, aspek creation of knowledge, dan follow up-nya seperti beasiswa, riset bersama,” sambung Puja.
Baca juga: Repatriasi "Mulus" Usai Normalisasi
Pada Oktober 2022, pihak Indonesia mulai mengajukan daftar benda-benda yang direncakan untuk direpatriasi. Lewat surat Ditjen Kebudayaan tanggal 1 Juli 2022 kepada Menteri Urusan Kebudayaan dan Media Belanda Gunay Uslu, delapan cluster benda yang diminta pun diajukan: 132 koleksi seni Pita Maha, tali kekang milik Pangeran Diponegoro, Al-Quran milik Teuku Umar, mahkota Kerajaan Luwu, empat arca Singhasari, 335 harta Lombok, sebilah keris Klungkung, dan fosil Homo erectus (Manusia Jawa) temuan Eugène Dubois.
Surat itu ditanggapi dengan kunjungan Menteri Uslu ke Magelang pada 14 September 2022. Hasilnya, Menteri Uslu menyanggupi lewat surat balasannya tertanggal 15 September 2022.
Sejak saat itu, baik perwakilan Indonesia maupun Belanda kian gencar dalam perdebatan dan diskusinya via daring lantaran ada pembatasan sosial. Akhirnya disepakati, tidak semua dari delapan cluster yang diminta bisa dikembalikan sekaligus.
Dalam hal Al-Quran Teuku Umar, rupanya ada empat versi yang diduga milik Teuku Umar sehingga masih harus diteliti lebih dalam untuk menentukan mana yang benar-benar asli milik pahlawan nasional asal Aceh itu. Lalu perihal fosil Homo erectus, perdebatannya terbilang sangat alot, utamanya dengan pihak Museum Naturalis yang menyimpan koleksi Dubois itu.
“Khusus koleksi (Dubois) kita minta untuk kepentingan kita di sini. Belanda bilang, itu bukan jarahan dan mereka yang menemukan. Cuma kemudian kita makin bersikukuh. Kalau alasannya keperluan scientific, sudah waktunya ilmuwan Indonesia punya akses langsung, dong. Kalau bicara kapasitas, ayo kita kerjasama, kembangkan, sehingga ilmiah kita juga bisa maju. Debatnya keras,” sambung Hilmar.
Untuk sementara, fosil Homo erectus itu batal masuk daftar repatriasi. Meski begitu, ungkap Puja, setidaknya tercapai tiga poin kesepakatan pasca-perdebatan alot itu.
“Pertama, kita terus menjalin komunikasi sehingga gap persepsi dan understanding-nya bisa makin dijembatan. Kedua, perlu membangun momentum-momentum supaya pada waktunya ada level convenience yang terbangun, juga trust dan confidence. Ketiga, bagaimana membentuk pengetahuan tentang manusia purba tersebut,” terang eks-Dubes RI untuk Belanda periode 2015-2020 tersebut.
Alhasil, yang disepakati untuk direpatriasi meliputi empat cluster koleksi: sebilah keris Klungkung, empat arca Singhasari, 132 benda seni Pita Maha, dan 335 harta Lombok.
Peresmian serah-terimanya dilakukan Menteri Uslu dan Dirjen Hilmar di Museum Volkenkunde, Leiden, pada 10 Juli 2023. Lantas satu per satu koleksinya pun tiba di tanah air bebas “ongkir” dari Belanda mulai medio Agustus 2023.
Sebagai bentuk tanggungjawab kepada publik, koleksi-koleksi itu dipamerkan dalam pameran “Repatriasi: Kembalinya Saksi Bisu Peradaban Nusantara” di Galeri Nasional, Jakarta, sepanjang 28 November-10 Desember 2023. Pamerannya sendiri digelar Museum Nasional Indonesia, Galeri Nasional, Historia.id, dan Museum Cagar Budaya (MCB), dengan semangatnya repatriasi bukan sekadar mengedepankan benda tapi juga pengetahuan, bentuk tanggungjawab kepada publik, serta menunjukkan bahwa Indonesia terbebas dari kolonialisme dalam arti yang lebih luas.
“Upaya pemulangan benda-benda yang tak ternilai harganya ini, sudah sepatutnya mendapat apresiasi yang luas dari masyarakat Indonesia. Dengan diselenggarakannya pameran Repatriasi ini, kita ingin memastikan bahwa proses panjang repatriasi yang kita lakukan bukan sekadar pemulangan benda-benda sejarah saja tapi sebuah upaya transfer pengetahuan,” ujar Mendikbudristek RI Nadiem Anwar Makarim dalam pembukaan pameran, Senin (27/11/2023) malam.
Sementara itu, sejarawan Bonnie Triyana yang juga menjadi kurator pameran, berharap benda-benda yang dipamerkan akan membuka pintu riset dan memicu gairah para akademisi untuk bisa menggali lebih dalam setiap bendanya.
“Sebetulnya ini suatu tantangan buat para peneliti karena misalkan kalau kita lihat, misalnya koleksi Lombok, sebagian belum bisa mendapatkan cerita yang lebih dalam. Ada banyak cincin emas dengan batu permata, rubi, berlian, tapi kita tak pernah mengetahui siapa pemiliknya. Sementara ada benda-benda lain yang sudah diketahui karena ada provenance research (penelitian asal-usul, red) yang sudah dilakukan. Nah, di sini suatu peluang sebetulnya, untuk riset yang harus dilakukan oleh para sarjana untuk menelaah lebih jauh informasi yang tekandung dalam setiap benda,” timpal Bonnie.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar