Menuntut Repatriasi Jarahan Belanda Usai Bertikai
Pemerintah republik sudah menjajaki repatriasi benda-benda bersejarah sejak KMB. Gagal terealisasi di era Bung Karno karena terganjal resistensi Belanda.
SEJAK republik ini merdeka, penjajakan untuk merepatriasi benda-benda budaya dan bersejarah Indonesia dari Belanda sudah dilakukan seiring penyelesaian pertikaian di Konferensi Meja Bundar (KMB) pada pengujung 1949. Kesadaran akan pentingnya benda budaya untuk dipulangkan bahkan sudah bergaung jauh sebelum itu.
Pada 10 Juli 2023 ini, Belanda resmi menyerahkan kembali 472 benda bersejarah Indonesia setelah upaya repatriasinya dilakukan dengan cara berbeda, yakni melalui penelitian bersama tim ahli Belanda dan Indonesia terlebih dulu. Meski begitu, pulangnya ke-472 benda bersejarah tersebut tetap merupakan kelanjutan cita-cita yang sudah ada sejak era pergerakan hingga KMB.
“Kalau kita flashback ke belakang, sudah dari zaman Boedi Oetomo 1908 ketika terjadi apa yang disebut sebagai politik identitas dan warisan budaya. Kemudian di tahun 1930-an ada politik kebudayaan mempertanyakan, apakah patut benda-benda tersebut berada di luar negara asalnya?” ujar I Gusti Agung Wesaka Puja, ketua Tim Repatriasi Koleksi Asal Indonesia di Belanda dalam program “Dialog Sejarah: Ada yang Mau Pulang” di kanal Youtube Historia.id, 28 Juli 2023.
Upaya tersebut terhenti ketika Jepang mengusir Belanda dari bekas koloninya, Hindia Belanda. Ketika Jepang kalah perang, upaya repatriasi masih belum dilakukan lagi karena orang Indonesia masih sibuk perang mengusir Belanda.
“Kemudian setelah Indonesia merdeka kan baru muncul lagi perdebatan-perdebatan itu yang lebih diformalkan seperti pada waktu KMB 1949, Pasal 19 mengenai draft persetujuan kebudayaan itu sudah disebutkan mengenai transfer benda-benda budaya tapi tidak terealisasi karena hubungan kita dengan Belanda pada waktu itu buruk sekali,” lanjut duta besar Indonesia untuk Belanda periode 2015-2020 tersebut.
Buruknya hubungan Indonesia-Belanda, kata sejarawan Universitas Indonesia Bondan Kanumoyoso, membuat titik temu soal realisasinya tak bisa didapat kedua negara.
“Saya kira ini terkait juga dengan suasana atau kondisi hubungan Indonesia dengan Belanda. Repatriasi ini juga terkait dalam konteks hubungan bilateral kedua negara. Nah sekarang ini, kondisi hubungannya baik sekali antara Indonesia dan Belanda, karenanya proses ini bisa dilakukan dengan baik. Tapi kalau kita merunut kepada apa yang terjadi pada abad ke-20, apalagi setelah Indonesia mendapat pengakuan kedaulatan tahun 1949, hubungan kita ketika itu dengan Belanda tidak sebaik sekarang,” timpal Bondan dalam program yang sama.
Upaya-Upaya yang Buntu
Usulan dan draft Persetujuan Kebudayaan itu sejatinya sudah muncul di sela-sela pertemuan KMB, 23 Agustus-2 November 1949, yang dimediasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Tepatnya di dalam satu dari tiga dokumen utama yang dibahas dalam KMB.
“Tiga dokumen utama itu adalah Statuta Uni Belanda-Indonesia, Piagam Penyerahan Kedaulatan, dan Langkah-Langkah Transisi. Ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang kerjasama antara mitra-mitra relasi asing, pertahanan, keuangan, dan hubungan ekonomi, serta bidang kebudayaan diwujudkan dalam perjanjian-perjanjian khusus yang melekat kepada Statuta (Uni Belanda-Indonesia),” tulis sejarawan politik University of Kentucky, Amry Vandenbosch dalam artikel “The Netherlandas-Indonesian Union” yang termaktub dalam South East Asia: Colonial History.
Lantaran masih dalam tahap “penjajakan”, detail benda-benda apa saja yang ingin dituntut pihak Indonesia untuk dikembalikan dari Belanda belum disertakan dalam draf Persetujuan Kebudayaan itu. Yang ada baru sekadar pernyataan keinginan untuk mempromosikan hubungan mutualisme terkait pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan secara umum.
“Draf itu punya potensi besar karena di dalamnya (dalam Pasal 3) juga terdapat usulan membentuk komite bersama dengan 14 anggota yang terdiri dari masing-masing tujuh (anggota) dari tiap negara untuk bekerjasama membahas proyek-proyek khusus,” ungkap sejarawan Claremont Graduate University, Cynthia Scott, dalam Cultural Diplomacy and the Heritage of Empire: Negotiating Post-Colonial Returns.
Soal repatriasi sedianya sudah ditegaskan dalam Pasal 19 perjanjian itu. Bunyinya: “Benda-benda bernilai budaya yang berasal dari Indonesia dan sebelumnya dimiliki pemerintah Belanda atau bekas Pemerintah Hindia-Belanda harus diserahkan kepada pemerintah Republik Indonesia Serikat sebagai konsekuensi penyerahan kedaulatan dari Kerajaan Belanda kepada Republik Indonesia Serikat”. Meski begitu, implementasinya harus menyesuaikan ketentuan-ketentuan yang disepakati dalam komite bersama, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 3 dan Pasal 5.
Namun seiring penyerahan kedaulatan, hubungan kedua negara memburuk. Penolakan Belanda membahas kelanjutan status kepemilikan Irian Barat membuat Presiden Sukarno berang.
“Meningkatnya tensi politik antara kedua negara membuat pemerintah Indonesia menolak Draf Perjanjian Kebudayaan, mengingat draf itu masih merepresentasikan kebudayaan imperialisme. Meski begitu kewajiban yang tertulis dalam Pasal 19 tetap dipegang kedua pihak, di mana di kemudian hari menjadi salah satu dasar sebuah protokol khusus pada 1954,” tulis sejarawan Opole University Andrzej Jakubowski dalam State Succession in Cultural Property.
Kendati draf itu gagal terwujud, bukan berarti pihak Indonesia tak mengupayakannya lagi. Pada awal April 1951, Menteri Kehakiman Mohammad Yamin menyuarakannya lagi setelah mendengar kehebohan hilangnya fosil Sinanthropus pekinensis atau “Manusia Peking” di Beijing, China.
“Kabar itu mengejutkan komunitas akademisi Indonesia karena Indonesia juga punya banyak benda sejarah yang tak ternilai harganya yang hilang. Oleh karenanya saya akan segera mengirim catatan kepada pemerintah Republik Indonesia, Universitas Indonesia, dan Universitas Gadjah Mada, untuk meminta mereka segera menginvestigasi dan mengambil langkah-langkah positif,” kata Menteri Yamin saat diwawancara Aneta, dikutip suratkabar Het nieuwsblad voor Sumatra edisi 3 April 1951.
Baca juga: Jalan Panjang Memulangkan Jarahan Belanda
Menteri Yamin juga sudah menyinggung detail benda-benda yang ingin dituntut kepulangannya dari Belanda. Mulai dari Kakawin Nagarakrtagama, manuskrip-manuskrip kuno dari Jawa Barat dan Makassar, harta karun Lombok yang dijarah dari Pura Cakranegara pada 1896, hingga koleksi fosil-fosil manusia purba yang meliputi Pithecanthropus robustus, Meganthropus paleojavanicus, Pithecanthropus erectus, Homo soloensis, Homo wadjakensis, dan Homo modjokertensis.
“Indonesia kehilangan lebih banyak objek bersejarah yang lebih penting daripada Sinanthropus pekinensis. Semisal Homo modjokertensis yang ditemukan di Djetis dekat Modjokerto yang kira-kira berusia 600 ribu tahun,” lanjut Yamin.
Langkah Yamin dipertegas saat ia melawat ke Belanda pada 1954, setahun setelah ia mulai menjabat menteri Pengadjaran, Pendidikan, dan Kebudajaan. Bersama kepala Djawatan Kebudajaan Soedarsono, Yamin merintis lagi upaya kerjasama dalam rangka pengembalian benda-benda bersejarah Indonesia.
“Sebagai hasilnya, Ministerie von Onderwijs, Kunsten en Wetenschappen (Kementerian Pendidikan, Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan Belanda), menyatakan akan segera menangani masalah tersebut,” tulis Sutrisno Kutoyo dalam biografi Prof. H. Muhammad Yamin, S.H.
Baca juga: Menanti Manusia Jawa Kembali dari Belanda
Setahun kemudian, Djawatan Kebudajaan menginventarisasi koleksi benda purbakala hingga naskah sastra kuno yang tak hanya ada di Belanda tapi juga di Jerman, Denmark, dan Belgia. Langkah lebih jauh dilakukan masyarakat madani Indonesia dengan menggelar Musyawarah Museum Seluruh Indonesia ke-1 di Yogyakarta pada Oktober 1962. Musyawarah itu mengusulkan pemerintah untuk bergabung ke International Council of Museum (ICOM) yang dinaungi badan PBB untuk pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan UNESCO demi mempermudah upaya repatriasinya.
“Sudah tiba bagi kita mengadakan registrasi terhadap harta kebudayaan nasional, agar dengan demikian dapatlah diketahui dengan jelas apa saja daripadanya yang masih kita miliki, yang telah hilang, dan apa ada kemungkinan untuk mendapatkannya kembali,” ujar sekretaris asisten kurator bagian edukasi Museum Pusat (kini Museum Nasional), Ghozali, dikutip majalah Varia edisi 5 Juni 1963.
Namun hingga pemerintahan Presiden Sukarno tumbang pada 1967, tak sekalipun upaya repatriasi yang dirintis Moh. Yamin pada 1950-an itu berujung manis. Tensi politik antara Indonesia-Belanda, yang dipicu soal Irian Barat (kini Papua) dan diperburuk dengan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia, masih jadi batu sandungan.
“Di tahun 1950-an, bisa dibayangkan itu resistensi (Belanda) akan sangat kuat ya. Rasa kecewa karena mereka kehilangan koloni yang mereka sebut sebagai Zamrud Khatulistiwa, bahwa mereka harus melepaskan ini dengan rangkaian kejadian yang mungkin menciptakan suatu trauma. Menjadi kendala juga karena ketika itu ada isu perusahaan-perusahaan Belanda yang akhirnya dinasionalisasi, tentang (isu) pengembalian Irian Barat yang masih diduduki Belanda. Jadi momentumnya memang belum tepat,” sambung Bondan.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar