Kota Seribu Kopi
Bukan hanya penghasil kopi berkualitas ekspor. Banyuwangi menawarkan kenikmatan dan kekhasan kopinya dalam event yang ditunggu para penikmat kopi.
JANGAN mengaku penikmat kopi sejati kalau belum mencecap kopi Banyuwangi yang nikmat. Bukan hanya hitam pekat. Tapi juga kebersamaan dan persaudaraan. Suasana itulah yang mendorong para pengunjung, dari dalam maupun luar negeri, datang ke desa adat Kemiren. Tujuan mereka hanya satu: ngopi.
Setiap tahun, Banyuwangi menggelar Festival Ngopi Sepuluh Ewu yang ditunggu-tunggu para penikmat kopi. Beberapa tenda dengan mini bar yang menyediakan kopi gratis bagi pengunjung berdiri di beberapa titik Desa Kemiren.
Selain itu, seluruh teras rumah warga Kemiren disulap menjadi ruang tamu. Setiap orang bisa duduk di halaman rumah siapa saja. Sang empunya akan menyambut serta menyuguhkan kopi dan jajanan tradisional. Uniknya, cangkir yang dipakai merupakan warisan turun-temurun dengan bentuk dan corak nyaris seragam.
Obrolan ringan pun mengalir. Suasananya begitu hangat.
Festival Ngopi Sepuluh Ewu sudah memasuki tahun ketujuh dan menjadi “hari raya”-nya pemuja kopi. Selain menikmati kopi khas Banyuwangi, pengunjung bisa bersilaturahmi sekaligus mengenal keunikan desa adat Kemiren.
“Acara ini menjadi cara untuk mengundang orang datang ke sini. Sebagai desa wisata, kedatangan orang ke Kemiren menjadi sesuatu yang penting untuk menggerakkan sektor ekonomi kreatif yang sedang tumbuh di sini. Seperti kuliner, batik, seni pertunjukan hingga penginapan,” ujar Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas dalam Festival Ngopi Sepuluh Ewu pada medio Oktober 2019.
Kualitas Ekspor
Blambangan, nama lama Banyuwangi, mengenal tanaman kopi pada abad ke-18. Perkebunan kopi pertama terdapat di daerah Sukaraja –kini, masuk wilayah Kecamatan Giri. Sukaraja terletak di lereng Gunung Ijen. Dengan lahan yang luas dan subur, Residen Clement de Harritz memulai budidaya kopi di Sukaraja pada 1788.
Namun, upaya itu belum membuahkan hasil karena kesulitan tenaga kerja. Bahkan perkebunan kopi Sukaraja sempat terbengkalai. Pada 1818, pemerintah mencoba kembali dengan mendatangkan tahanan dan pekerja dari luar Banyuwangi. Dampaknya, “Banyuwangi menjadi salah satu tempat baru daerah penghasil kopi di Pulau Jawa,” tulis Fachri Zulfikar dan Purnawan Basundoro dalam “Perkebunan Kopi di Banyuwangi tahun 1818-1865”, dimuat jurnal Verleden, Vol. 11 No. 2, Desember 2017.
Sistem Tanam Paksa kemudian diperkenalkan tahun 1830. Sistem ini mewajibkan pemilik lahan untuk menanam tanaman ekspor, termasuk kopi. Banyak sawah dan kebun beralih pun fungsi jadi perkebunan kopi.
Baca juga: Sajian dari Beragam Pasar Kuliner
Dengan Sistem Tanam Paksa, produksi kopi meningkat pesat. Tahun 1829 hingga 1840 menjadi masa keemasan. Setelah itu produksi menurun akibat penyelewengan laporan hasil perkebunan. Akhirnya, pada 1865, perkebunan kopi milik pemerintah ini resmi ditutup.
Di wilayah lain, perkebunan kopi tetap berjalan. Namun secara perlahan pemerintah menghapus Sistem Tanam Paksa dan menarik diri dari pengelolaan kopi. Budidaya dan bisnis kopi diserahkan kepada swasta.
Di Banyuwangi, beberapa pengusaha Tionghoa mencoba peruntungan bisnis budidaya kopi. Menurut harian Nieuwe Surabaya Courant, September 1924, di Kalibaru (Banyuwangi) sejumlah tukang kayu Tionghoa beralih menjadi pengelola kebun kopi dengan menyewa lahan seluas sekitar 10 hektar. Enam di antaranya membentuk kongsi, dengan lima orang sebagai pengelola kebun dan satu orang sebagai agen di Surabaya. Pemilik perkebunan kopi yang terkenal adalah Kan Pian Genteng, Jap Gwan Tjay (Soen Hap Kongsie), dan Ming Sing & Co.
Baca juga: Selera Naga Sejuta Rasa
Tapi dengan modal yang jauh lebih besar, pengusaha Eropa, terutama Belanda, jelas lebih menguasai budidaya kopi di Banyuwangi. Sebut saja NGS Schoenholzer, NV Cult Mij Lidjen Dordrecht, NV Cult Mij Pacuoda Den Haag, NV Cult Mij Pasewaran Amsterdam, Societe de Culture der Pacuoda Paris, dan NV Cult Mij Sriwulung NV Banyuwangi.
Tak semua perusahaan perkebunan itu mampu bertahan melewati wabah penyakit tanaman, krisis ekonomi, perang, pendudukan Jepang, hingga ketidakpastian usaha setelah Indonesia merdeka. Pada 1959 dan 1960, perusahaan perkebunan milik Belanda dinasionalisasi seperti Patimoean, Kendeng Lemboe, Soember Langsep, Wadoeng West, dan Pandan. Mereka dimasukkan dalam satu wadah dan kini menjadi PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XII.
PTPN XII mengelola areal perkebunan seluas 80.000 hektar dan tersebar di seluruh wilayah Jawa Timur. Ia terbagi menjadi 3 wilayah dan 34 unit kebun. Termasuk di antaranya beberapa kebun di Kabupaten Banyuwangi.
“PTPN XII merupakan penghasil kopi Robusta dan kopi Arabika (Java Coffee) terbesar di Indonesia.,” tulis Latifatul Izzah dalam Dataran Tinggi Dieng: Potongan Tanah Surga untuk Java Coffee.
Baca juga: Keindahan yang Terjaga dari Hutan Tua
Awal Desember tahun lalu, perkebunan Selogiri Banyuwangi mengekspor kopi ke Italia dan Inggris. Pada akhir Desember, giliran perkebunan Malangsari, Kalibaru, mengekspor kopi robusta ke Italia. Selain itu, kopi itu bakal diekspor ke Inggris, Swiss, Jerman, Australia dan Jepang.
“Kami bersyukur Banyuwangi kembali melakukan ekspor kopi di tengah tren turunnya pertumbuhan ekonomi dunia. Kopi Banyuwangi meneguhkan eksistensinya sebagai produk unggulan berkualitas ekspor,” ujar Bupati Anas.
“Kami optimis ekspor kopi dari Banyuwangi terus akan semakin meningkat seiring dengan tren gaya hidup ngopi global.”
Selain PTPN XII, Banyuwangi memiliki perkebunan kopi berbasis perkebunan rakyat. Bahkan beberapa halaman rumah warga terdapat pohon kopi yang dipelihara turun-temurun. Sebuah potensi untuk memajukan perekonomian lokal dan bisa dijadikan destinasi wisata.
Kota Kopi
Kendati memiliki kopi berkualitas ekspor, kopi Banyuwangi kurang dikenal di tingkat nasional. Tidak seperti kopi Gayo atau Toraja. “Kami ingin kopi Banyuwangi juga dikenal di tingkat nasional bahkan global,” ujar Anas dalam bukunya Anti-Mainstream Marketing.
Maka, demi memperkenalkan Banyuwangi sebagai kota kopi, Anas menggerakkan berbagai elemen masyarakat. Salah satunya seorang pengusaha dan peracik kopi di Desa Kemiren, Setiawan Subekti atau biasa dipanggil Pak Iwan.
Selain memiliki kebun kopi, Pak Iwan mengembangkan produk kopi dengan merek Kopai Osing. Dia menjadikan rumahnya, Sanggar Genjah Arum, sebagai tempat belajar bagi warga Banyuwangi untuk menyangrai kopi. Dia juga sering menggagas acara berkaitan dengan kopi seperti Festival Sangrai Tradisional (2011), Miss Coffee (2012), dan Festival Ngopi Seribu Cangkir (2013) yang setahun kemudian ditingkatkan jadi Festival Ngopi Sepuluh Ewu.
Baca juga: Tarian yang Mempesona
Agar Festival Ngopi Sepuluh Ewu punya pijakan kuat, identitas kultural suku Osing terkait kopi pun dilacak. Pada akhirnya, diambillah konsep persaudaraan yang lekat pada praktik keseharian orang Using.
“Kopi bagi Wong Using lekat dengan semangat kebersamaan dan keramahan serta menjadi karakter sosial. Hal ini tampak pada bagaimana seorang tamu mendapat penghormatan ketika bertandang ke rumah Wong Using,” tulis Hery Prasetyo dalam “Absorpsi Kultural: Fetishisasi Komoditas Kopi”, dimuat jurnal Literasi, Vol. 4 No. 2, Desember 2014.
Wong Using memiliki ungkapan “Lungguh, Gupuh, dan Suguh”. Lungguh artinya tamu merupakan orang yang harus dihormati. Sebagai bentuk penghormatan, tuan rumah mencarikan suguhan. Hal ini diterjemahkan menjadi kata Gupuh. Sementara Suguh adalah cara menghormati tamu dengan suguhan.
“Filosofinya adalah sak corot dadi sedu luran, yang berarti sekali seduh kita menjadi bersaudara; dengan meminum kopi bersama, kita bersilaturahmi,” ujar Anas.
Selain Kemiren, desa-desa lain memperkenalkan potensi kopi yang dimilikinya. Desa Telemung, Kecamatan Kalipuro, memiliki Omah Kopi sebagai sentra pembuatan kopi rakyat. Desa Gombengsari, juga di Kecamatan Kalipuro, mengembangkan wisata Kopi Lego (Kampong Kopi Lerek Gombengsari), Festival Kembang Kopi, dan Festival Petik Kopi. Para pengunjung bisa menyaksikan produksi kopi, dari panen hingga disangrai secara tradisional.
Baca juga: Seblang Menolak Bala
Industri kopi rakyat juga bermunculan di Banyuwangi. Sejumlah petani menjual kopi dalam bentuk siap seduh. Sebut saja kopi merek Manjehe, Lego, Omah Kopi, Kopi Jaran Goyang, Wisata Kopi, hingga Kopi Gandrung. Berbagai produk olahan itu dipamerkan dan bisa dinikmati dalam acara Ngopi Sepuluh Ewu.
Acara Ngopi Sepuluh Ewu sudah jadi agenda wisata tahunan dan masuk dalam Banyuwangi Festival. Untuk tahun 2020, Festival ini bakal digelar 3 Oktober. Sehari sebelumnya, ada atraksi baru yang ditawarkan Banyuwangi Festival 2020, yakni Malangsari Coffee Festival.
Malangsari Coffee Festival digelar di sentra penghasil kopi di Perkebunan Kalibaru. Di sini pengunjung bisa menikmati dan membeli kopi premium berkualitas dunia yang biasa diekspor ke Italia. Tetunya akan sensasional meneguk kopi di tengah nuansa perkebunan dan diiringi kesenian gambus masyarakat sekitar.
Berharaplah pandemi Corona segera berakhir. Agar kita bisa melampiaskan kegembiraan dengan berwisata sekaligus ngopi asyik di Banyuwangi.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar