Seblang Menolak Bala
Ritual lama yang masih bertahan. Masuk dalam agenda Banyuwangi Festival dan menjadi daya tarik wisatawan.
HAMPIR dua bulan, pandemi Covid-19 atau Corona melanda Indonesia. Pemerintah pusat dan daerah berupaya mengatasi penyebarannya. Awal Maret 2020, Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas melakukan penanganan dini. Ini penting dilakukan mengingat Banyuwangi adalah destinasi wisata yang ramai.
Masyarakat Osing, suku asli Banyuwangi, memiliki ritual khusus untuk menghadapi wabah penyakit (pageblug), yakni melalui tarian adat Seblang. Ritual ini ditarikan seorang penari dalam keadaan trance, tak sadarkan diri, sebagai penghubung warga desa dengan leluhur.
Dahulu kala, Seblang digelar setiap tahun untuk tolak bala dan bersih desa setelah panen. Tujuannya agar desa memperoleh ketentraman, keselamatan, kesuburan tanah sehingga hasil panen melimpah. Namun, seperti dilaporkan antropolog Belanda John Scholte dalam Gandroeng van Banjoewangi (1927), Seblang bisa dipanggil kapan saja oleh keluarga sebagai pemenuhan nadar (janji) agar beroleh kesembuhan penyakit. Sebab, masyarakat percaya penyakit disebabkan gangguan atau kemarahan dari roh leluhur atau dhanyang (penjaga desa).
Baca juga: Keindahan yang Terjaga dari Hutan Tua
Pertunjukan Seblang sebagai pelepas nadar kini jarang dilakukan. Kendati demikian, bukan berarti ritual Seblang lantas punah. Masyarakat Bakungan dan Olihsari, dua desa Osing yang berada di wilayah Kecamatan Glagah, masih menjalankan ritual Seblang setiap tahun untuk keperluan bersih desa dan tolak bala.
Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Banyuwangi memberikan dukungan agar khasanah tradisi ini lestari. Salah satu caranya dengan menjadikan Seblang sebagai salah satu agenda Banyuwangi Festival setiap tahun.
Menurut Anas, ini merupakan bagian dari menghidupkan dan mengenalkan potensi desa lebih luas. Agenda festival yang sifatnya tradisi ritual tidak harus ditarik ke kota, namun justru harus dilestarikan di desa tersebut.
“Seblang menjadi salah satu contoh kegiatan Banyuwangi Festival yang muncul dari masyarakat. Pemerintah tidak melakukan intervensi apapun terhadap penyelenggaraan budaya ini, karena ini adalah adat tradisi. Kita cukup mendukung infrastruktur sekitar dan melakukan promosi hingga akhirnya tradisi ini mendapatkan perhatian khalayak yang lebih luas,” ujar Bupati Anas, empat tahun lalu.
Tradisi Tua
Seblang merupakan tradisi suku Osing yang cukup tua sehingga sulit diacak asal-usulnya. Ada yang menyebut Seblang merupakan peninggalan kebudayaan pra-Hindu.
Menurut Sal M. Murgiyanto dan A.M. Munardi dalam Seblang dan Gandrung, tari Seblang mirip dengan tari sang hyang di Bali, yang di masa lalu ditemui juga di Banyuwangi dengan sebutan tari sanyang. Nyanyian, tatabusana, hingga gerakan dan pose dasar dalam seblang mirip seperti dalam pertunjukan sanyang.
Awalnya Seblang dibawakan seorang lelaki dan dalam keadaan trance. “Tari Seblang itu mesti kesurupan, tapi pembawaan-gerakannya dan iramanya menyenangkan serta mantap,” tulis Gunawan Suroto dalam “Dolan Menyang Blambangan”, dimuat majalah Kunthi, Juni 1973.
Di masa lalu ritual Seblang digelar pada tanggal 1 Sura, hari pertama dalam perhitungan tahun baru penanggalan Jawa. Sekarang disesuaikan dengan kalender Islam. Perayaan di Olehsari berlangsung seminggu setelah Hari Raya Idul Fitri, sementara di Bakungan seminggu setelah Hari Raya Idul Adha.
Baca juga: Selera Naga Sejuta Rasa
Menurut Robert Wessing dalam artikel “A Dance of Life”, termuat di BKI No. 4 tahun 1999, meski ada penyesuaian dengan adanya pengaruh Islam, tujuan utama pertunjukan Seblang tak berubah. Yakni, “untuk memperkuat hubungan antara desa dan dunia roh,” tulis Wessing.
Agama juga tak meminggirkan kepercayaan pada leluhur. Bahkan, menurut Wessing, Seblang menggabungkan semuanya; leluhur, dhanyang, Dewi Sri, dan bahkan Tuhan bergabung menjadi satu sumber vitalitas manusia. “Tarian itu kemudian menghidupkan kembali bukan hanya hubungan dengan dunia roh tapi seluruh kehidupan spiritual desa-desa ini.”
Pengaruh Islam tampaknya juga mengubah orang yang menarikan Seblang. Penari perempuan mulai menggantikan penari lelaki. Kendati demikian, cerita tutur lokal menyebut perubahan itu terjadi pada 1895 dan dikaitkan dengan sosok bernama Semi, salah seorang putri Mak Midah.
Suatu ketika Semi yang masih berusia 10 tahun sakit parah. Mungkin karena hidup pas-pasan, Mak Midah tak berani bernadar dengan mengundang Seblang dari Bakungan. Tapi dia sering melihat dan boleh jadi sering terlibat dalam pertunjukan Seblang. Maka, ketika hampir putus asa, dia pun benadar: “Kalau engkau sembuh, kujadikan engkau penari Seblang.”
Baca juga: Sajian dari Beragam Pasar Kuliner
Semi mendapatkan kembali kesehatannya. Mak Midah pun memenuhi kaul dan mengajar Semi menjadi penari Seblang.
Menentukan siapa penari Seblang pertama memang agak repot. Para penari dipilih secara supranatural oleh dukun setempat, dan biasanya keturunan penari Seblang sebelumnya. Wessing menyebut ketidakjelasan data itu untuk Bakungan. Ada beberapa nama disebut, kendati Wessing berpendapat Mbah Kantok dan Mbah Suwitri adalah keturunan dari penari pertama. Sementara di Olehsari, Mak Milah dianggap penari pertama dan dilanjutkan keturunannya yang perempuan. Ada beberapa pengecualian di mana lima dari penari Olehsari muncul dari garis laki-laki.
“Singkatnya, para penari di kedua desa cenderung keturunan dari garis perempuan yang idealnya kembali ke pendiri desa. Penari adalah ujung vitalitas dan kekuatan spiritual pendiri yang sangat penting bagi kesejahteraan dan kemakmuran desa,” tulis Wessing.
Menghidupkan Tradisi
Tari Seblang masih bertahan dan dipertunjukkan di Bakungan dan Olihsari. Selain waktu pelaksanaannya, ada perbedaan usia penari, alat musik, dan busana di dua desa tersebut.
Di Bakungan, tari Seblang dibawakan perempuan berusia 50 tahun ke atas yang telah menopause dan digelar seminggu setelah Hari Raya Idul Adha selama semalam suntuk. Di Olehsari dibawakan perempuan yang belum akil baliq dan dilaksanakan selama tujuh hari berturut-turut setelah hari Raya Idul Fitri.
Alat musik yang mengiringi tarian Seblang di Desa Bakungan terdiri dari satu kendang, satu kempul atau gong dan dua sarong. Sedangkan di desa Olehsari ditambah dengan biola sebagai penambah efek musikal. Di Bakungan, seseorang dapat memilih di antara sekitar 50 lagu, yang tidak tunduk pada urutan tertentu seperti dalam tradisi Olehsari.
Dari segi busana, omprok atau mahkota penari di Bakungan biasanya dihiasi bunga warna warni, sementara di Olehsari berhias untaian dari daun pisang muda.
Tata urutan ritual Seblang di Bakungan dan Olehsari hampir sama. Sebelum pertunjukan dimulai, dilakukan ziarah ke leluhur desa. Keesokan harinya, setelah matahari terbenam, ritual dilanjutkan dengan selametan. Lalu, aliran listrik di desa Bakungan dipadamkan dan diadakan pawai obor keliling desa yang dinamakan ider bumi. Di setiap pojok desa, mereka berhenti sambil melafalkan doa-doa keselamatan dari ayat ayat suci Alquran. Ritual ini dimaksudkan agar tidak ada roh jahat yang akan mengganggu desa.
Usai persiapan semua, penari pun bersiap. Wajah dan bagian tubuhnya diolesi atal, sejenis tepung dari batu halus yang berwarna kuning dan dicampur air. Dia memakai omprok. Penari membawa nyiru atau tampah berbentuk bundar dari anyaman bambu dengan tangannya. Jika si penari sudah kesurupan, nyiru akan jatuh dengan sendirinya. Proses pemanggilan roh diiringi lagu Sêblang Lukinto.
Baca juga: Tarian yang Mempesona
Dalam keadaan trance, penari akan menari dengan iringan gending dengan gerakan yang sederhana dan monoton. Dia berputar berlawanan arah jarum jam, bergerak melingkar seturut bentuk panggung. Lalu dia melemparkan sampur atau selendang kepada seorang penonton dan turut menari.
Puncak tarian Seblang berakhir saat pengiring lagu memainkan gending brang brang. Gending itu dimainkan dengan tempo yang cepat. Sang penari juga berputar dengan cepat, lalu penari jatuh tergeletak dengan posisi menelungkup.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, Seblang dari Bakungan maupun Olehsari masuk dalam gelaran Banyuwangi Festival 2020.
“Ini adalah salah satu bentuk komitmen Pemkab menjaga keberlangsungan tradisi dan adat warga lokal Banyuwangi. Kami tidak ingin, adat dan tradisi yang telah hidup sejak puluhan tahun silam menghilang seiring perkembangan zaman. Untuk itu, kami pentaskan dan kami gelar secara rutin sebagai upaya menghidupkan tradisi ini di generasi mendatang,” kata Bupati Anas.
Seblang Olehsari dijadwalkan pada 28-31 Mei, sedangkan Seblang Bakungan pada 9 Agustus. Namun, di tengah pandemi Corona, apakah Seblang akan tetap digelar? Mengingat, menjaga jarak adalah salah satu prasyarat menghindari penyebaran Corona.
Berdoa saja badai segera berlalu sehingga sajian tradisi dan ritual tua dari Banyuwangi tetap berjalan.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar