Gotti, Mafia Flamboyan yang Dicinta dan Dibenci
Figur bos mafia perlente yang dibenci sekaligus dicinta. “Godfather” kaum papa.
JOHN Gotti Junior (diperankan Spencer Lofranco) mulai gelisah di sebuah ruang tunggu Penjara Federal Springfield, Missouri pada suatu hari tahun 1999. Sebuah kamera DLSR di balik cermin kamuflase sudah siap merekam semua yang ada di ruangan itu.
Sosok yang ditunggu Junior akhirnya tiba. Dikawal tiga sipir, John Gotti (John Travolta) datang dengan tangan dan kaki dibelenggu. Wajahnya sudah semarak oleh kerutan. Kepalanya sudah tak lagi bermahkota rambut. Suaranya pun mulai parau akibat kanker tenggorokan. Tetapi kharisma dan wibawa Gotti tak pernah luntur.
Pada pertemuan itu, Junior mengungkapkan kepada sang ayah bahwa dia ingin mengajukan pernyataan dirinya bersalah atas sejumlah dakwaan pemerintah federal terhadapnya. Selama ini Junior terlibat atas semua dakwaan yang berhubungan dengan aktivitas dunia hitam keluarga mafia Gambino yang pernah dipimpin ayahnya.
Baca juga: Lantai Dansa John Travolta
Gotti mengerti bahwa putra sulungnya itu punya niat untuk melindungi keluarganya. Namun, Gotti berusaha membulatkan hati Junior untuk tidak menundukkan kepala meski hukuman bui belasan tahun mengancamnya. Gotti ingin Junior belajar tentang kekuatan karakter seseorang, sebagaimana Gotti yang selalu berusaha menegakkan kepala, kendati sudah dibui dengan hukuman seumur hidup.
Adegan mengenai hari-hari terakhir Gotti menjelang ajalnya itu jadi pilihan sineas Kevin Connolly untuk membuka biopik tokoh kriminal bertajuk Gotti. Connolly ingin memperlihatkan sosok gembong mafia ternama itu tetap bertahan dengan prinsipnya meski “dunianya” sudah lama tenggelam. Prinsip itu selama ini berperan besar membuat Gotti bisa menjadi “Godfather”.
Alur cerita lalu mundur ke tiga dekade sebelumya. Gotti mulai mendaki tangga “kariernya” di organisasi mafia Gambino sejak 1972. Dia mulai jadi soldato (tukang pukul) yang dimentori underboss Aniello ‘Neil’ Dellacroce (Stacy Keach).
Sejak saat itu hingga di era 1980-an, perlahan tapi pasti Gotti naik kelas dari soldato hingga menjadi caporegime. Selama itu juga Gotti kerap ditangkap, diadili, hingga keluar-masuk penjara. Meski di dalam organisasi selalu jadi sosok yang dingin dan brutal, di luar organisasi Gotti justru jadi sosok yang dicinta. Tidak hanya oleh sang istri Victoria (Kelly Preston) dan anak-anaknya, namun juga warga proletar di area yang dikuasainya.
Kecintaan mereka muncul karena besarnya perhatian Gotti. Ketika sebuah sasana tinju disegel pemerintah karena tak punya uang untuk bayar pajak, Gotti bersedia menanggungnya demi anak-anak muda di lingkungannya jauh dari dunia hitam. Lalu ketika beberapa lansia miskin tak punya biaya untuk ke rumahsakit, Gotti dengan tulus menanggung biaya perawatan mereka.
Namun memasuki 1985, gonjang-ganjing terjadi di dalam tubuh Gambino. Sang boss, Paul Castellano, juga mulai dibenci Gotti karena dianggap sosok pemimpin lemah di antara lima keluarga mafia New York. Yang paling bikin Gotti murka adalah, Castellano ingin merombak internal organisasi, termasuk kelompok yang selama ini dipegang Gotti.
Bersama rekan terdekatnya, Angelo Ruggiero (Pruitt Taylor Vince), Gotti merencanakan penyingkiran Castellano. Neil yang selama ini jadi mentor Gotti, paham keadaannya dan mendukung. Dia bahkan memberitahu apa tindakan selanjutnya jika Gotti ingin mematangkan rencana membunuh Castellano dan siapa saja orang yang harus didekati. Di antaranya adalah mendekati beberapa capo di organisasi mafia Gambino lain, seperti Frank DeCicco (Chris Mulkey) dan Sammy ‘Bull’ Gravano (William DeMeo), serta melakukan pendekatan kepada lima keluarga mafia di Staten Island, Bronx, Brooklyn, Queens, dan Manhattan.
Namun, Neil tak bisa membiarkan Gotti membunuh Castellano selama Neil masih hidup. Sebab, pembunuhan sesama satu organisasi merupakan aib bagi dunia mafia.
Gotti pun terpaksa menuruti dan menunggu hingga tiba hari kematian Neil karena usia tuanya. Gotti kian bertekad membantai Castellano setelah tahu sang bos tertinggi itu tak hadir di prosesi pemakaman Neil. Maka, Castellano pun dibunuh oleh orang-orang suruhan Gotti di depan restoran Sparks Steak House di Manhattan, beberapa hari sebelum perayaan Natal 1985.
Gotti kemudian merayakan tahun baru 1986 sebagai pemimpin Gambino. Tak seperti bos mafia lain, Gotti nan flamboyan justru menikmati sorotan publik. Berbagai media cetak menjulukinya “The Real Godfather”, “The Dapper Don”, atau “The Teflon Don” karena selalu lolos dari jerat hukum berkat pengacara handal.
Ia pun mengajak serta Junior yang baru lulus Akademi Militer New York untuk “dibaptis” sebagai soldato. Sayangnya tak ada yang abadi. Masa kejayaan Gotti yang bergelimang harta dan popularitas itu perlahan tenggelam. Penyebabnya, rekan terdekatnya, Ruggiero, keceplosan bicara banyak tentang aktivitas mafia dan terekam alat penyadap FBI. Gotti pun kembali berurusan dengan hukum. Lebih runyam ketika beberapa mantan anak buahnya “bernyanyi” di muka sidang.
Bagaimana Gotti mencoba menghindari jeratan hukum itu dan apa yang membuat Gotti bertahan dengan prinsipnya dan enggan tunduk meski masa depan pahit sudah siap menyambutnya? Baiknya Anda saksikan sendiri Gotti di aplikasi daring Mola TV.
Sisi Lain Gotti
Gotti dikemas dengan tone film yang cukup apik sepanjang tiga dekade riwayat bos mafia flamboyan itu. Editor Jim Flynn bahkan menyelipkan beberapa footage pemberitaan televisi terhadap sosok Gotti di era 1980-an dan 1990-an, termasuk video pemakaman sang “Godfather” usai menghembuskan nafas terakhirnya pada 10 Juni 2002.
Biopik ini kian “gurih” karena diiringi music scoring yang berwarna. Mulai dari ritme retro untuk mengiringi adegan-adegan Junior dan Gotti di era 1980-an hingga efek scoring yang membangun nuansa ketegangan kala mengiringi adegan-adegan sadis. Hanya saja, Gotti justru gagal meledak di pasaran. Sejumlah kritik, salah satunya dari kritikus Jordan Mintzer, menyasar pada penulisan alur cerita.
“Filmnyanya ditulis dengan buruk, minim scene menegangkan dan sisanya sangat biasa saja. Cerita tentang ayah dan anak sama sekali tak berhasil. Gotti terlalu lama menghabiskan waktu menggambarkan emosi setelah kematian Frank (anak ketiga Gotti). Inti cerita tentang karakter utamanya justru kurang berkesan,” tulis Mintzer di kolom The Hollywood Reporter, 15 Mei 2018.
Baca juga: The Godfather: Part III dan Skandal Vatikan
Connolly sang sutradara beralasan bahwa ia memang sengaja mengemasnya cenderung kepada cerita drama, bukan action kriminal. Ia ingin penonton bisa melihat sisi lain Gotti yang selama ini dikenal publik hanya dari luar via pemberitaan televisi maupun media cetak. Meski tangan Gotti “berlumuran darah” oleh aktivitas pemerasan dan pembunuhan, toh di mata masyarakat kelas menengah-bawah ia justru dianggap pahlawan.
“Ibu dan ayah saya berasal dari kelas pekerja. Ayah saya seorang sopir truk, namun ironisnya selalu ada sesuatu tentang Gotti yang membuatnya terkesan. Gotti seperti tokoh anti-kemapanan yang dipuja masyarakat kelas pekerja. Saya ingat ayah saya senang terhadap sosoknya dengan mengatakan, ‘Lihatlah orang ini, ia mengacungkan hidungnya terhadap pemerintah.’ Jadi, ya, dia semacam pahlawan lokal bagi kelas pekerja,” ujar Connolly, dikutip Men’s Journal.
Di bagian penutup film, Connolly pun menggambarkan Gotti lewat footage komentar beberapa warga tentang Gotti usai ribuan orang meratapi konvoi kereta jenazahnya di pinggir jalan.
“Lingkungan tempat tinggal kami selalu lebih aman ketika Gotti masih berkuasa. Ketika dia dipenjara, tingkat kriminalitas naik drastis karena jalanan mulai dikuasai berandal jalanan,” tutur seorang responden.
Baca juga: Robert De Niro Bicara tentang The Godfather: Part II
Sama seperti Connolly, Travolta yang memerankan Gotti awalnya juga heran mengapa seorang bos mafia justru disanjung masyarakat kelas menengah dan golongan bawah. Padahal saat sedang disorot publik dan media, Gotti senantiasa tampil perlente dengan jas dan mantelnya yang –atas izin keluarga mendiang Gotti juga dipakai Travolta selama syuting– elegan bak kaum elite.
“Mulanya saya tak mengerti karakter Gotti, kenapa dia sangat dicintai dan populer? Jadi saya meriset sendiri dan menemukan bahwa yang dilakukannya: Bisnis ilegal apapun yang dilakoninya, dia akan mengelolanya menjadi dana subsidi (untuk masyarakat) dan mengembalikannya menjadi legal. Jadi dia menjadi sekutu dan nyaris seperti sebuah asuransi keamanan,” ungkap Travolta kepada Phoenix New Times, 15 Juni 2018.
Seperti yang digambarkan dalam film, Gotti perhatian kepada lingkungan tempat tinggalnya dan lingkungan tempatnya berkuasa sejak masih jadi capo hingga menjadi bos besar. Gotti kerap berderma pada masyarakat kelas bawah.
“Dia orang yang murah hati di lingkungannya. Jika dia melihat beberapa petinju potensial tetapi sasananya ditutup, dia akan membuka kembali sasana itu untuk mereka. Bila sebuah keluarga kesulitan biaya medis, dia akan menanggung tagihan rumahsakitnya. Jadi dia orang yang perhatian. Karena saya tak ingat Al Capone, (John) Dillinger, atau bahkan Whitey (Bulger) dicintai banyak orang. Jadi karena itulah Gotti dicintai dan menjadi sangat berkuasa,” sambungnya.
Baca juga: Francis Ford Coppola dan Trilogi The Godfather
Menurut Jeffrey Sussman dalam Big Apple Gangsters: The Rise and Decline of the Mob in New York, popularitas dan kecintaan kelas menengah dan bawah terhadap Gotti merupakan pelampiasan ketidakpuasan mereka terhadap banyak kebijakan pemerintah di era 1980-an yang tidak pro-rakyat. Gotti pun diusung sebagai sosok idola anti-kemapanan, terlepas ia acap nongol di media-media dengan jas mewah seharga dua ribu dolar dan sepatu impor Italia yang banderolnya tak pernah kurang dari 400 dolar.
“Sejak eranya Al Capone, tak pernah ada lagi gangster yang jadi media darling karena semuanya memilih low-profile. Dan John Gotti dan media punya hubungan simbiosis mutualisme dalam hal itu. Dia selalu tampil necis, selalu menegur publik dengan ramah. Saat pejalan kaki menyapa, ‘Hai, John,’ dia akan merespon dengan lambaian tangan dan senyum lebar. Saat makan di restoran pun dia bersedia meladeni permintaan tandatangan fansnya,” tulis Sussman.
Gotti juga selalu menghadapi persidangan dengan kepala tegak. Termasuk ketika dimejahijaukan atas kasus pemerasan dan lima pembunuhan dalam kurun Desember 1990-April 1992. Dalam persidangan itu Gotti tak bisa berkelit lagi karena beberapa eks-anak buahnya berkhianat dengan memberi kesaksian berlawanan.
Selain didenda 250 ribu dolar, Gotti pun divonis hukuman penjara seumur hidup. Vonis itu membuat ratusan fans Gotti mengamuk di luar gedung pengadilan New York.
“Ratusan fans Gotti yang berkumpul di luar gedung pengadilan terhenyak. Mereka merusuh, membalikkan sejumlah mobil, tawuran dengan polisi, dan melantangkan teriakan dukungan kepada Gotti untuk menuntut pembebasannya. Aparat Kepolisian New York sampai harus menurunkan personel dari seluruh polresnya untuk meredam kerusuhan,” tambah Sussman.
Setelah Gotti wafat, jenazahnya tak hanya diiringi rombongan keluarga dan kerabat, namun juga para fans-nya. Justru tak satupun perwakilan organisasi mafia yang ikut mengantar Gotti ke peristirahatan terakhirnya.
“Gotti dikuburkan di St. John’s Cemetery. Sekitar 20 mobil limo ikut iring-iringan jenazahnya, ditambah ratusan mobil penggemarnya bak sedang mengantar seorang bintang film atau pahlawan penakluk. Ketiadaan utusan keluarga mafia lain diinterpretasikan sebagai penghinaan kepada figur yang berani menantang aparat hukum pemerintah. Iring-iringan itu tak hanya jadi salah satu konvoi paling berwarna dalam sejarah gangster di New York, namun juga menandai permulaan tenggelamnya organisasi mafia Gambino,” tandas Sussman.
Data Film:
Judul: Gotti | Sutradara: Kevin Connolly | Produser: Randall Emmett, George Furla, Michael Froch, Marc Fiore | Pemain: John Travolta, Spencer Lofranco, Kelly Preston, Stacy Keach, Pruitt Taylor Vince, Willam DeMeo, Chris Mulkey | Produksi: Highland Film Group, EFO Films, Fiore Films | Distributor: Vertical Entertainment | Genre: Biopik Kriminal | Durasi: 110 menit | Rilis: 15 Mei 2018, Mola TV
Baca juga: Diego Maradona dalam Pangkuan Mafia
Tambahkan komentar
Belum ada komentar